Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak cuma itu. Juwono juga hendak mengumumkan daftar hitam berbagai penyelenggara pendidikan tinggi swasta yang tetap membandel. Bahkan bila perlu, katanya, rapor buruk itu diumumkan melalui media massa.
Entah bagaimana duduk perkaranya, "tembakan" Juwono ternyata menyerempet harga diri para penyelenggara Jakarta Institute of Management Studies (JIMS) di Jakarta. Sebetulnya, JIMS merupakan reinkarnasi dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Institut Pengembangan Wiraswasta Indonesia (IPWI). Karena IPWI berafiliasi dengan perguruan tinggi asing, yakni De La Sale University, San Beda College, dan Manila Centre University--ketiganya dari Filipina--serta University of New Brunswick (Kanada), jadilah wadah baru bernama JIMS.
Di JIMS, menunya memang mengasyikkan. Orang bisa menggondol beberapa gelar asing dengan biaya tak mahal dan materi kuliah yang tidak memusingkan. Dengan tarif Rp 10 juta, mahasiswa bisa mendapat tiga gelar sekaligus: Magister Management (MM), Master of Business Administration (MBA), dan Philosophical Doctor (PhD). Kalau mau satu gelar, biayanya sekitar Rp 3 juta saja.
Waktu kuliahnya pun tidak ketat, hanya dua kali dalam sepekan. Dan beberapa bulan kemudian, sang mahasiwa bisa menggondol gelar asing dari mancanegara. Ini tentu saja setelah mereka diwisuda di kampus IPWI di gedung PT Surveyor Indonesia di Jakarta.
Tak mengherankan bila peminat JIMS merebak. Banyak pejabat atau mantan pejabat yang bersekolah di situ. Mantan Sekretaris Wakil Presiden, Mayor Jenderal R. Soedjoko, misalnya, termasuk alumni JIMS, sedangkan Kapolri Jenderal Roesmanhadi masih tercatat sebagai mahasiswa JIMS.
Ternyata, kemudahan meraih gelar asing sekaligus membesarnya jumlah peminat JIMS kini dipersoalkan pemerintah. Pertama-tama yang disorot adalah faktor kelayakan kampus. Sebab, kampus JIMS berlokasi di gedung PT Surveyor Indonesia.
Lantas, kelayakan program pendidikannya diungkit. Sesuai dengan ketentuan pemerintah, pendidikan tinggi untuk strata S2 bidang ekonomi, dengan gelar MM atau MBA--apalagi PhD--harus diuji dulu oleh pakar ekonomi di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Rupanya, "lampu kuning" dari pemerintah tak begitu ditanggapi JIMS, sampai-sampai Menteri Juwono hendak membuat daftar hitam perguruan tinggi swasta yang menyimpang dari ketentuan pemerintah. Juwono juga memperingatkan bahwa legalitas ijazah JIMS tak diakui. Setidaknya, ijazah itu tak akan diperhitungkan dalam kenaikan pangkat pegawai negeri.
Pernyataan Juwono segera mengundang reaksi. Para mahasiswa JIMS dan IPWI berdemonstrasi ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Mereka menuntut agar Menteri P & K mencabut pernyataannya. Menurut koordinator aksi unjuk rasa, Nur Hamid, seharusnya Menteri Juwono berterima kasih kepada JIMS yang menyediakan fasilitas pendidikan profesional.
Protes serupa juga muncul dari Bambang Tri Chayono, Direktur JIMS. Kata Bambang, JIMS tergolong lembaga kursus yang mendapat akreditasi dari empat perguruan tinggi asing. Status JIMS tak beda dengan program MM ataupun program extension (perluasan--acap disebut kelas sore) di perguruan tinggi negeri.
Karena itu, yang memberi gelar adalah lembaga pendidikan induknya. Untuk JIMS, gelar diberikan oleh empat perguruan tinggi asing tadi. Jadi, "Program JIMS tak perlu izin dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Apakah program MM di Universitas Gajah Mada, misalnya, juga punya izin?" kata Bambang.
Yang lebih membuat Bambang berang adalah pernyataan Menteri yang memojokkan IPWI sebagai kampus tak berizin. Padahal, IPWI sudah mengantongi akreditasi dari pemerintah sejak berdiri pada 1993.
Akankah gebrakan Menteri Juwono berlanjut? Ketua Komisi VII di DPR, Ny. Oelfah A.S. Harmanto, berharap agar pemerintah lebih arif terhadap masalah perguruan tinggi swasta. Sebab, kesalahan yang terjadi sekarang tak bisa cuma ditimpakan pada penyelenggara pendidikan tinggi swasta.
"Dulu pemerintah membiarkan saja, sekarang mempermasalahkan," ucap Ny. Oelfah. Dia sendiri mengakui bahwa beberapa perguruan tinggi swasta terhitung nakal. Sebab, hanya dua bulan menjadi mahasiswa, lantas bisa diberi gelar MBA. Dan, alangkah ganjilnya bahwa kasus seperti ini sejak dulu tidak terpantau oleh aparat P & K.
Di sisi lain, suburnya pendidikan tinggi swasta tentu tak lepas dari besarnya permintaan masyarakat. Rupanya, sebagian masyarakat memang gemar berburu gelar--apalagi gelar mentereng dari mancanegara. Kebetulan, untuk gelar Magister Manajemen, lembaga pendidikan swasta waktu itu tidak terikat pada ketentuan apa pun dari pemerintah. Celah inilah--kalau bisa disebut demikian--yang dimanfaatkan oleh JIMS dan lain-lain sejenisnya.
Untuk mengimbangi kelemahan ini, pemerintah sebaiknya menetapkan kebijakan tertentu yang tidak sampai mengorbankan hak hidup sebuah lembaga pendidikan swasta. Intinya, janganlah terlalu cepat melarang ini dan itu, tanpa memberikan jalan keluar yang konstruktif.
Ma?ruf Samudra, Agus Riyanto, Dewi Rina Cahyani, dan Arif A. Kuswardono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo