Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eep Saefulloh Fatah *)
*) Pemerhati politik dari Universitas Indonesia
DI tengah hiruk-pikuk pemakaman Wahyu Sulaiman Rendra, 7 Agustus lampau, di Kampus Bengkel Teater Rendra, Cipayung, Depok, saya tercenung. Mengapa pentakziah tak semembeludak khalayak yang datang pada pemakaman Mbah Surip beberapa hari sebelumnya di tempat sama?
Tapi, segera saya menemukan jawabannya: Mbah Surip meninggal sebagai seorang selebritas, sementara Rendra sebagai orang besar. Selebritas menjadi terkemuka karena namanya. Orang besar terpandang karena jejaknya pada zaman.
”Selebritas,” tulis sejarawan pemenang hadiah Pulitzer, Daniel J. Boorstin (The Image, 1992), ”adalah seseorang yang dikenal karena keterkenalannya. Pahlawan dikenali karena prestasi atau pencapaiannya, sementara selebritas karena citra atau merek dagangnya. Pahlawan membentuk dirinya, selebritas dibentuk oleh media. Pahlawan adalah orang besar, selebritas adalah sebuah nama besar.”
Tentu saja saya tak ingin mengecilkan Mbah Surip dan membesarkan Rendra dalam sebuah perbandingan hitam-putih. Namun, pada sosok Rendra, aspek kepahlawanan lebih menonjol ketimbang selebritas.
Maka, sekalipun tak semembeludak khalayak pemakaman Mbah Surip, pemakaman Rendra dihadiri beragam kalangan: dari orang awam kesusastraan hingga pujangga-pujangga terbaik di Republik, dari orang biasa hingga segelintir orang yang membawa serta atribut kekuasaannya yang mentereng.
Rendra dilepas oleh mereka yang takzim. Mbah Surip dilepas oleh para penggemarnya.
Sebagai orang besar Rendra memang meninggalkan jejak yang tegas pada zaman kita. Ia berhasil mewakili daya hidup seorang pelaku kesenian dan kebudayaan yang tak pernah mati, terus bergumul dengan liat melawan segala cobaan zamannya.
Sebagai orang yang bergaul rapat dengannya sejak awal Reformasi, saya beruntung menjadi saksi pergumulan itu. Hasilnya, di mata saya, Rendra tampil sebagai pemenang. Ia senantiasa berdiri tegak di tempatnya: sebagai seorang yang penuh keyakinan akan kebenaran yang dibelanya, tanpa lelah memperjuangkan keyakinan itu, dan menolak menjadi pecundang.
Nama besar pun tersemat pada sosok Rendra. Beberapa kali saya saksikan, alih-alih menjadi selebritas, Rendra lebih membawa serta nama besarnya. Di beberapa tempat, orang-orang tak mengenali wajahnya. Namun, segera setelah diberi tahu bahwa yang sedang mereka temui adalah Rendra, dengan serta-merta mereka menjadi hormat penuh takzim. Rendra dihormati karena jejaknya pada hidup dan zaman kita—bukan lantaran wajahnya terpampang setiap hari di televisi.
Dalam konteks itu, izinkan saya mengusulkan kepada khalayak pembaca untuk menjadikan ”rendra” sebagai kosakata baru dalam bahasa Indonesia. Sebagai kata sifat, ”rendra” bermakna sebagai seseorang atau sekelompok orang yang punya keyakinan teguh akan kebenaran yang ia atau mereka perjuangkan serta pandai menjaganya lantaran menolak menjadi pecundang.
Maka, dalam pemaknaan itu, suatu ketika kita bisa menulis, ”Almarhum Baharuddin Lopa adalah seorang rendra” atau ”Dengan sikap rendranya Dr Utami Roesli bergeming menolak konsumsi susu formula untuk bayi.”
”Rendra” juga bisa diberi imbuhan tertentu untuk kemudian menjadi kata kerja, dengan makna serupa: merendra, direndrakan, direndrai, merendrakan. Maka, kita bisa menulis kelak, ”Suciwati dan Usman Hamid adalah seorang pembela hak-hak asasi manusia yang semakin matang dan merendra.”
Selain Rendra, almarhum Munir adalah tokoh yang namanya layak dipinjam untuk memperkaya bahasa Indonesia.
Kata ”munir” saya usulkan kepada khalayak pembaca untuk dimaknai sebagai ”seseorang atau sekelompok orang yang tak punya rasa takut karena yakin berada di jalan yang benar”. Manakala diberi imbuhan tertentu, ”munir” menjadi kata kerja (memunir, dimunirkan, dimuniri, atau memunirkan) dengan pemaknaan sama.
Itulah antara lain yang berkelebat dalam pikiran saya di tengah larut duka pemakaman Rendra tempo hari. Maka, harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, Rendra dan Munir pergi meninggalkan bahasa Indonesia yang semakin kaya.
Tapi, boleh jadi ada di antara pembaca yang bertanya, mengapa saya meminta khalayak untuk bersepakat menambahkan dua kosakata baru itu. Mengapa saya tak meminta Pusat Bahasa?
Bahasa, dalam pikiran saya, senantiasa merupakan hasil konsensus para penggunanya. Maka kelahiran kosakata baru selayaknya lahir dari rahim para pengguna bahasa itu. Adapun Pusat Bahasa ”sekadar” bidan yang membantu persalinan hingga selamat. Tak lebih dan tak kurang.
Walhasil, Pusat Bahasa dibutuhkan sebagai pelayan konsensus kebahasaan. Pusat Bahasa bukanlah lembaga birokrasi yang bertugas menjauhkan bahasa dari publik sebagai ibu kandungnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo