Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GEMPA di Jawa Barat, yang juga menggoyang Jakarta pada awal September lalu, berbuah pekerjaan ekstra bagi Panji Puspoyono. Praktisi konstruksi dari kantor Ketira Engineering Consultants itu mendapat pesanan dari sejumlah pemilik gedung tinggi di Jakarta untuk memeriksa potensi kerusakan gedung yang dibuatnya.
Setiap hari dia memelototi satu per satu bangunan pencakar langit itu—rata-rata 25 lantai. Panji tak menemukan kerusakan struktur pada kerangka bangunan. ”Kolom, balok beton, utuh. Sebagian gedung hanya retak-retak pada dinding,” katanya. ”Itu non-struktural, tidak berbahaya.”
Pesanan serupa juga diterima kantor konsultan Wiratman and Associates. Hasilnya sama. ”Ah, umumnya retak-retak kecil saja, tidak berisiko runtuh,” kata pakar struktur bangunan Wiratman Wangsadinata.
Benarkah? Menurut Wiratman, pada umumnya gedung tinggi itu sudah dirancang kuat menahan gempa berkekuatan hingga 8,5 skala Richter dengan jarak dari pusat gempa sekitar 200 kilometer. Ukuran yang dipakai adalah intensitas gempa yang terasa atau Modified Mercalli Intensity (MMI). Gempa maksimal itu setara sekitar 8 MMI. ”Yang kemarin baru setengahnya,” katanya. Gempa awal September itu berkekuatan 7,3 skala Richter atau sekitar 4 MMI.
Peluang datangnya gempa maksimal itu dihitung setiap 500 tahun sekali. Sedangkan menurut Ketua Kehormatan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Budi Adelar Sukada, bangunan bertingkat di Indonesia dirancang berumur 50 tahun, dan harus diremajakan sesudahnya. ”Di atas kertas aman,” kata pengajar di Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia itu.
Pembangunan gedung tinggi harus memenuhi ketentuan SNI 03-1726-2002 tentang Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung. Pengerjaannya harus melalui pemeriksaan dan pengawasan ketat oleh otoritas dari Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan hingga Dinas Tata Ruang. Pemeriksaan kelaikan itu juga menyertakan opini kedua dari konsultan pembangunan independen.
Intinya, struktur bangunan dirancang tahan gempa dengan memadukan kerangka pokok bangunan, yakni kolom (tiang), dinding, dan balok sebagai penghubung keduanya. Balok dirancang lebih lentur. Jika terjadi gempa kuat yang mengakibatkan struktur gedung menyimpang, baloklah yang fleksibel membentuk sendi plastis, sehingga kolom serta dinding tetap utuh. ”Makanya sistem struktur lantai dengan balok (flat slab) wajib bagi gedung tinggi,” tutur Wiratman.
Fleksibilitas balok sangat penting guna menyerap (desipasi) energi gempa. Dengan banyaknya balok, respons struktur terhadap gempa akan berkurang. Struktur demikian dikatakan memiliki daktilitas. Makin tinggi tingkat daktilitas, makin banyak energi gempa yang dapat diserap.
Kerangka bangunan itu makin kuat dengan berdirinya tiang utama penyangga bangunan (inner core), yang biasanya ditanam di tengah setinggi bangunan. Tiang utama ini ibarat tulang punggung pada tubuh manusia. Core ini berupa beton silinder besar, masif, dengan rongga di dalamnya. Ukurannya tergantung luas bangunan. Lingkaran beton core itu rata-rata 15 persen dari luas keseluruhan lantai dalam bangunan.
Arsitek Zachri Zunaid menyebut core sebagai ”tabung di dalam tabung”. Tabung yang di luar adalah bangunan yang tampak dari luar membentuk bagian dalamnya menjadi ruangan inti. ”Core sebagai tabung dalam biasanya dimanfaatkan untuk lift, beragam instalasi, atau toilet,” kata Direktur Utama kantor arsitek Arkitek Team Empat itu. Karena itu, dinding core umumnya bisa dilihat dari dalam lift yang transparan. Bagian dalam core juga kerap dimanfaatkan sebagai ruang tangga darurat.
Core, sebagai bagian struktur bangunan yang kuat, sangat vital perannya untuk menahan guncangan. ”Tanpa itu, kerangka bangunan bisa bergeser kalau mendapat beban berat,” Zachri menjelaskan. Sederhananya, core ini menjadi pegangan bagi kerangka bangunan. Dengan kekuatannya, dia menyerap gaya geser akibat gempa.
Ketahanan struktur bangunan tahan gempa ini tentu juga memperhitungkan kondisi daerah seperti daya dukung tanah. Agar tahan gempa, fondasi bangunan harus ditanam sampai tanah keras. Di Jakarta, misalnya, kedalaman tanah keras ini bervariasi dari 12 hingga 40 meter.
Yang tak kalah penting adalah memilih bahan bangunan yang tidak mudah jatuh. Menurut arsitek Achmad Noerzaman, perlu ada pegangan-pegangan yang mengikuti goyangan gempa berupa bantalan karet pada semua sambungan. Pada kaca, misalnya, umumnya dibuat bingkai fleksibel dengan film perekat di tengah sehingga tidak ada pecahan yang jatuh. Sistem itu juga berlaku pada pemasangan panel batu alam, aluminium, misalnya.
Teknologi ”menjinakkan” gempa yang diterapkan di gedung pencakar langit makin canggih. Selain yang sudah umum dipraktekkan di Indonesia tadi, kini berkembang juga sistem lain, seperti pemasangan alat peredam. Di Taipei 101 di Taiwan, salah satu tower tertinggi di dunia, misalnya, telah dipasang bandul di bagian atas bangunan untuk melawan simpangan akibat gempa.
Cara lain adalah dengan memasang isolator alas (base isolator) pada kaki kolom fondasi gedung. Isolator yang terbuat dari bahan karet ini berfungsi sebagai tumpuan sehingga mampu meredam getaran tanah, agar dampak gempa tak terlalu berat bagi struktur gedung. Tapi, baik bandul maupun karet peredam itu belum digunakan di Indonesia, karena belum ada gedung yang sangat tinggi. ”Di sini paling tinggi 50 lantai,” kata Wiratman.
Sejauh ini gedung tinggi di Indonesia masih mengandalkan sistem tiang utama dan kerangka untuk menahan guncangan. Yang menggunakan core pun umumnya hanya bangunan kelas A yang memiliki minimal delapan lantai. Untuk bangunan kelas B atau madya, dengan 4 atau 5 lantai, apalagi hanya bangunan kelas C dengan 1-3 lantai, kerangka bangunan yang strukturnya melalui perhitungan matang sudah cukup menahan gempa.
Dengan kondisi sekarang saja, sebagian warga sudah yakin akan keamanan gedung jangkung. Frans Satyaki Sunito, contohnya. Pada saat gempa, dia yang tengah mengikuti seminar di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat—hotel bintang lima berlantai 19—tak ikut arus orang-orang berlarian keluar. Direktur Utama PT Jasa Marga itu memilih diam bersandar di tiang. ”Agar tidak kejatuhan lampu, plafon, atau aksesori saja. Tidak akan runtuh, kok,” katanya tenang.
Sayang, tak semua bangunan di Jakarta dirancang melalui konsultasi dan perencanaan matang tahan gempa. Dari sisi pengerjaannya, ada dua tipe bangunan di Jakarta: engineer building (EB) dan non-engineer building. Yang pertama adalah bangunan yang dikerjakan pemborong dengan pengawasan konsultan dan pemegang otoritas. Gedung pencakar langit masuk tipe ini. Konstruksinya dihitung agar tahan gempa.
Adapun bangunan tipe non-engineer building dibangun masyarakat umum tanpa konsultasi ke pihak yang memiliki otoritas dan konsultan. Masuk tipe ini adalah rumah penduduk di permukiman, toko, atau tempat ibadah skala kecil. Bangunan semacam ini tentu memiliki risiko lebih besar roboh diguncang gempa. Struktur bangunannya tidak mendukung potensi beban, termasuk gempa. Pengerjaan konstruksi di kelas inilah yang harus lebih mendapat edukasi sadar gempa.
Harun Mahbub
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo