Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Eriyanto
Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia dan anggota Ad Hoc Ombudsman Tempo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ada yang mempertanyakan mengapa media di bawah Group Tempo Media (majalah Tempo, Koran Tempo, dan Tempo.co) tidak banyak memuat berita mengenai "Reuni 212"demonstrasi umat Islam yang dimulai pada 2 Desember 2016 menuntut Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, mundur karena dianggap menodai agama Islam. Menurut mereka yang bertanya, Reuni 212 pada 2 Desember 2018 itu punya semua unsur nilai berita, yakni kedekatan, aktual, jumlah orang yang terlibat besar, dampak, kemanusiaan, dan langka. Salahkah pilihan yang diambil Tempo?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Tidak tepat jika kita melihat Reuni 212 semata dari kacamata nilai berita. Kita harus meneropongnya lebih luas dari itu, yakni perspektif agenda media. Reuni 212 jelas punya nilai berita, tapi media yang mengangkat topik lain juga sah karena peristiwa lain juga punya nilai berita. Peristiwa Reuni 212 memperlihatkan media punya agenda yang berbeda-beda. Dugaan ini tidak saja terlihat dari jumlah liputan yang berbeda, tapi juga topik yang berbeda antara satu media dan media lain.
Dengan metode analisis isi, saya mencoba meneliti berita-berita seputar peristiwa itu selama tiga pekan, 20 November-10 Desember 2018, di enam media: Republika.com, Republika cetak, Kompas cetak, Kompas.com, Koran Tempo, Tempo.co, dan Detik.com. Detik.com paling banyak memberitakan peristiwa ini dengan memuat 403 berita, disusul Republika.com (244), Tempo.co (83), lalu Kompas.com (78), Republika cetak (22), Kompas cetak (9), dan Koran Tempo (4).
Dari semua berita tersebut, saya mengidentifikasi ada 13 topik pemberitaan. Saya menyusun ranking topik-topik berita tersebut, dari yang paling penting (banyak diangkat) sampai paling tidak penting. Data ini saya korelasikan antarmedia (dengan uji statistik korelasional) untuk melihat kesamaan topik. Hasilnya, kesamaan topik hanya terjadi di antara media dalam satu kelompok, misalnya antara Republika cetak dan online atau antara Kompas untuk online dan cetak. Namun, jika dibandingkan dengan media dari kelompok lain, topik yang diangkat berbeda.
Fragmentasi liputan media itu tidak bisa dilepaskan dari kemunculan Internet dan media sosial. Sebelum era Internet, topik yang diangkat media relatif seragam. Hingga 2000-an, hasil studi di Amerika Serikat memperlihatkan, meski media punya kebebasan memilih topik liputan, antarmedia nyaris menampilkan topik yang mirip (Chaffee & Metzger, 2001). Kemiripan ini terjadi karena media bersaing meliput sebuah peristiwa. Ketika media A mengangkat suatu isu, media lain tidak ingin ketinggalan mengangkat isu yang sama.
Internet dan media sosial mengubah peta persaingan media. Khalayak juga menjadi terfragmentasi ke dalam banyak segmen yang membutuhkan berita berbeda-beda. Sebelum era Internet, yang berlaku adalah "apa yang dilakukan media kepada khalayak". Setelah era Internet, berubah menjadi "apa yang dilakukan khalayak kepada media". Internet melahirkan khalayak otonom yang bisa memilih isu apa yang penting bagi mereka. Jika sebelumnya media memilihkan isu kepada pembaca, di era Internet khalayak menentukan sendiri isu yang mereka anggap penting. Khalayak kemudian memilih media sesuai dengan isu yang mereka butuhkan. Konsekuensinya, isi media menjadi terfragmentasi pula.
Maka tak heran jika Reuni 212 diberitakan secara beragam oleh banyak media. Fragmentasi ini tak khas Indonesia. Di banyak negara hal ini juga terjadi. Dampaknya, media menjadi tidak berkewajiban meliput semua peristiwa karena publik punya beragam sumber informasi. Jika media tidak memberitakan suatu peristiwa, khalayak tidak lagi dirugikan, karena mereka bisa mencari informasi di media lain yang tertarik meliput peristiwa tersebut. Jika mereka menganggap media konvensional kurang memberitakan Reuni 212, mereka bisa mencarinya lewat media sosial yang jumlahnya sangat banyak. Jika masih belum cukup, mereka bahkan bisa meliput sendiri peristiwa itu dan menyebarkannya melalui media sosial.
Di tengah banjir informasi dan fragmentasi khalayak itu, fungsi agenda media justru makin penting. Para pengelola media tidak boleh menganggap diri sebagai satu-satunya sumber informasi dan bisa meliput semua hal. Media justru harus memilih isu dengan pertimbangan yang kuat untuk kepentingan publik. Pertanyaannya bukan pada apakah media meliput atau tidak meliput Reuni 212, melainkan apa pertimbangan redaksi meliput isu ini. Apakah pertimbangan mereka cukup kuat dan etis (misalnya untuk pendidikan publik) ataukah tidak etis (seperti mengikuti perintah pengiklan atau pemilik saham)?
Di titik ini, saya berpendapat apa yang dilakukan oleh Tempo dengan memberi porsi kecil pemberitaan mengenai Reuni 212 bisa diterima. Tidak ada intervensi dari pengiklan dan pemegang saham. Pertimbangan untuk tidak banyak meliput Reuni 212 karena tidak ingin Pemilu 2019 diwarnai oleh isu agama (seperti pada pilkada DKI 2016), secara etis kuat dan bisa diterima. Meski demikian, ada kekurangan pada liputan Tempo. Pilihan untuk tidak menampilkan isu agama dalam pemilu tidak secara konsisten mewarnai semua liputan. Topik mengenai konsolidasi kekuatan di balik Reuni 212 tidak secara konsisten diangkat oleh Tempo. Padahal, jika topik ini banyak diangkat, akan makin memperkuat fungsi agenda media Tempo.