PANGGUNG sejarah belum tertutup samasekali untuk Norodom
Sihanouk. Setelah empat tahun yang penuh kegetiran mengikuti
perkembangan negaranya di bawah suatu rejim yang paling radikal,
Sihanouk akhirnya mendapatkan kembali peranannya yang lama yang
disenanginya. Seperti pada awal tabun 1970-an, Sihanouk sekarang
adalah pemimpin Kamboja dalam pengasingan. Dulu melawan rejim
Lon Nol, sekarang melawan rejim Heng Samrin yang didukung
Vietnam.
Orang memang tidak mudah lupa pada pangeran menarik yang selama
pemerintahannya membuat Phnom Penh penuh gelak ketawa. Dengan
senyumnya yang murah, pangeran yang mengagumi sekaligus Charles
de Gaulle, Mao Tse-tung dan Sukarno itu, sangat cepat menarik
simpati.
Dendam Pribadi
Tapi, sejak Maret 1970 Sihanouk jarang sekali tersenyum. Dalam
mobil yang membawanya ke lapangan terbang Moskow -- untuk
penerbangan ke Peking -- Sihanouk diberitahu oleh PM Uni Soviet
Kosygin tentang terjadinya kudeta di Kamboja. Orang
kepercayaannya, Lon Nol, menusuknya dari belakang dan mengambil
alih pemerintahan. Sejak itu, Sihanouk diliputi oleh keinginan
yang meluap akan suatu vendetta pribadi terhadap Lon Nol.
Di Peking, sudah siap menunggu Chou En Lai, yang menyambutnya
sebagai seorang Kepala Negara dan tawaran untuk memimpin
perlawanan dari pengasingan. Untuk memenuhi ego yang besar dari
Sihanouk, Mao Tse-tung menyediakan sebuah gedung besar, lengkap
dengan mobil dan fasilitas lainnya. Berkali-kali Mao
mengingatkan Sihanouk bahwa "semua fasilitas untuknya adalah
suatu pinjaman yang bisa dibayar kembali jika revolusi Kamboja
sudah menang."
Pada waktu itu, ada juga tawaran dari Perancis agar Sihanouk
tinggal saja di Paris dengan fasilitas yang terjamin. Sihanouk
menolak karena teringat pengalamannya waktu berjalan-jalan di
pantai Riveira. Ia mendengar dua orang kaya Perancis yang sedang
melancong berbicara sesamanya sambil menoleh pada Sihanouk,
"Lihat orang yang gendut dan pesolek itu. Dialah bekas kaisar
Bao Dai dari Vietnam yang hidup enak dari uang pajak yang kita
bayar." Pengalaman itu membuat Sihanouk kehilangan selera untuk
tinggal di Paris, walaupun isterinya yang keturunan Italia lebih
senang kota itu ketimbang Peking.
Dengan tinggal di Peking, Sihanouk memberikan suatu pengakuan
internasional terhadap perjuangan gerilya dari Pol Pot dan
Khieu-Samphan dan kawan-kawannya. Mereka ini sebenarnya pernah
jadi buronannya pemerintahan Sihanouk, karena menginginkan
perubahan sosial yang drastis di Kamboja. Terjadinya aliansi
melawan Lon Nol: antara Sihanouk yang tidak punya organisasi dan
isi ideologi tapi memiliki reputasi internasional, dengan grup
Pol Pot - Khieu Samphan yang punya basis gerilya dan massa serta
ideologi yang konsisten. Sihanouk pada masa itu hanyalah
didorong oleh keinginannya akan suatu Kamboja yang netral dan
utuh serta oleh dendam pribadinya terhadap Lon Nol.
Sekali:ekali Sihanouk pergi ke Kamboja dan berpotret dalam
ser.Igam piyama hitam, dengan syal di leher, mencoba menjadi
seorang revolusioner, yang tidak pernah disenanginya.
Ideologi
Ketika rejim Pol Pot - Khieu Samphan berkuasa pada tahun 1975,
nasib Sihanouk sebenarnya sudah jelas. Pengikut-pengikutnya
sebagian besar sudah memilih tinggal di Prancis. Yang tetap
menemaninya hanyalah bekas PM Penn Nouth, tangan kanannya yang
setia. Bagi Sihanouk, dendam pribadinya sudah tercapai dengan
tergulingnya rejim Lon Nol. Walaupun hatinya kecewa melihat
cara-cara pemerintahan Pol Pot -- yang juga merenggut dua
anaknya ke brigade produksi tanpa alamat -- Sihanouk tidak bisa
berbuat apa-apa. Ia telah menjadi tawanan dari dendam
pribadinya, dan juga dari rejim Pol Pot.
Dengan meniadakan peranan Sihanouk, rejim Pol Pot telah menambah
rasa tidak senang Vietnam. Sihanouk adalah sahabat pribadi dari
anak seorang bekas Menteri Kerajaan Vietnam yang sekarang
menjadi Perdana Menteri negara tersebut, Pham Van Dong.
Bersama-sama dengan Presiden Lao, Pangeran Souphanavong,
Sihanouk oleh Vietnam dianggap sebagai contoh dari kaum
bangsawan yang "patriotik dan revolusioner". Pada tahun 1971
Sihanouk bahkan mengorganisir suatu konperensi pemimpin-pemimpin
Indocina di daerah perbatasan Laos, Vietnam dan RRC. Sihanouk
juga merupakan satu-satunya Kepala Negara asing yang menghadiri
pemakaman Ho Chi Minh pada tahun 1969. Di hlti Hanoi, Sihanouk
merupakan seorang sahabat.
Dalam sengketa dengan Vietnam, Sihanouk bagaimanapun tetaplah
seorang nasionalis Kamboja, yang sebagian wilayahnya pada
abad-abad ke-15 dan 16 diambil Vietnam sampai sekarang, ada
sekitar satu juta penduduk keturuun Khmer yang tinggal di
Vietnam bagian selatan. Mereka inilah yang sering dipakai
pemerintahan Vietnam untuk menentang pemerintahan di Phnom Penh,
apakah itu Sihanouk, Lon Nol maupun Pol Pot.
Mengenai sengketa dengan Vietnam ini, Sihanouk pernah berkata:
"Apapun ideologinya -- merah, biru ataukah hijau -- Kamboja
akan tetap bermusuhan dengan tetangganya itu. Ucapannya itu
sekarang terbukti benar. Setelah merelakan dirinya untuk hidup
sebagai warganegara biasa selama empat tahun, Sihanouk tiba-tiba
ditolong oleh suatu keadaan untuh sekarang memimpin suatu
pemerintahan pengasingan, sekali lagi dari Peking. Ironisnya, ia
ditolong oleh sahabat lamanya Vietnam, yang dengan bantuannya
dalam menggulingkan Pol Pot, sekarang justru menjadi musuhnya
yang utama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini