Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Riset untuk pembangunan

Riset pesanan departemen kepada perguruan tinggi hasilnya biasanya dangkal. riset yang menyangkut masalah jangka panjang memang tak diprioritaskan oleh departemen. riset ilmiah belum membudaya.

26 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RISET (penelitian, research) adalah kegiatan yang dilakukan secara luas dalam Pelita III. Hampir setiap departemen atau instansi pemerintah, mempunyai suatu direktorat atau bagian yang khusus melakukan tugas penelitian dan pengembangan. Anggaran belanja pemerintah, dalam bentuk DIP, yang digunakan untuk membiayai riset ini, berjumlah puluhan, bahkan mungkin ratusan milyar rupiah setahun. Semua riset ini, baik oleh departemen maupun yang dikontrakkan kepada universitas dan badan riset lain, bermaksud menunjang pembangunan. Dalam Repelita IV kiranya kegiatan riset ini tidak akan berkurang. Seperti halnya program-program pemerataan, program riset masih akan dirangsang dan akan diteruskan, karena paling tidak, kegiatan riset juga ada segi pemerataannya. Dengan anggaran belanja riset yang cukup besar, masyarakat universitas dan dunia ilmiah dapat dilibatkan dalam proses pembangunan, "berpartisipasi." Yang terlibat dalam riset ini bukan unsur ibu kota saja, namun juga unsur daerah, misalnya universitas di provinsi. Motivasi politik untuk menggairahkan riset ini dapat didukung, karena diharapkan hasil riset dapat dipakai untuk menyempumakan perumusan kebijaksanaan pemerintah, sehingga pembangunan dapat dilaksanakan dengan efisien lebih besar. Kalau para dosen dan mahasiswa banyak melakukan riset yang ada hubungan dengan masalah pembangunan, maka pengetahuan yang diajarkan di universitas, terutama ilmu-ilmu sosial, menjadi lebih relevan dan lebih mencerminkan dunia yang nyata. Tetapi setiap kebijaksanaan baru yang jangkauannya luas, setiap program pemerintah baru yang meluas dengan sangat cepatnya membawa permasalahan baru. Tidak semua menteri, pejabat eselon pertama dan di bawahnya, cepat dan siap untuk menentukan sasaran riset yang relevan dan urgen. Riset itu merupakan keharusan administratif baru yang belum ada dalam Pelita yang lalu. Prosedur pengajuan proyek riset alokasi dana lewat DIP, dan pengawasan pelaksanaannya, semua itu menumbuhkan birokrasi baru yang bisa menimbulkan distorsi kepada maksud riset semula. Karena banyaknya anggaran belanja riset ini, maka kontrak-kontrak riset menjadi sumber tambahan penghasilan bagi para ilmuwan di universitas yang gajinya tidak tinggi. Selama Pelita III ini mungkin dapat dikatakan, banyak sekali tenaga universitas mendapat tambahan pendapatan yang lumayan dari kegiatan riset, survei dan pengembangan ini. Kecenderungan ini menimbulkan kegiatan riset di universitas yang terlalu berorientasikan kepada suatu kontrak dengan departemen. Pada umumnya riset atau survei demikian mudah dalam metodologi dan pelaksanaan, dapat diselesaikan secara cukup cepat, dan kualitasnya sering dapat disebut "dangkal". Riset yang menyangkut suatu masalah makro atau strukturral, atau jangka panjang, dan yang memerlukan masukan analisa dan teori yang lebih banyak, sering tidak menjadi prioritas kontrak-kontrak itu, karena departemen pada umumnya kurang merasa berkepentingan akan perlunya riset dasar (basic research). Hasil yang sophisticated mungkin juga tidak akan mudah terbaca atau dimengerti oleh pejabat-pejabat yang pekerjaannya sibuk sekali. Akibat dari semua ini: kemampuan dan perkembangan ilmiah di fakultas kurang mendapat dorongan dari sifat riset pekerjaan kontrakan tersebut. Riset kontrakan ini hasilnya menjadi milik departemen atau instansi yang memesannya. Akibatnya, hasil riset ini tidak menjadi milik umum, tidak masuk perpustakaan untuk umum. Hasil riset demikian tidak diketahui oleh banyak orang, dan tidak menjadi bahan bahasan serta kritikan teman seprofesi. Kurangnya interaksi ini tidak merangsang perkembangan kualitas. Memang banyak keluhan bahwa riset yang dibiayai oleh DIP kurang kualitas ilmiahnya, dan mungkin belum memadai untuk disiarkan dalam majalah ilmiah. Sebaliknya, cukup disadari juga, program riset lewat DIP tidak dimaksudkan untuk mendapat hasil riset yang kualitasnya selalu harus baik. Kemampuan riset secara nasional belum merata. Maka uang DIP juga bermaksud untuk membangun kemampuan riset ini, untuk Institution Building.' Sebaliknya, dunia universitas juga sering mengeluh, hasil risetnya hanya menumpuk di lemari-lemari departemen, menjadi tempat pengumpul debu. Riset menjadi sasaran mesin administrasi pemerintah: ada DIP yang harus dihabiskan, dan ada pekerjaan yang harus diterima. Untuk membaca laporan yang tebal sering tidak ada waktu, dan staf menteri atau dirjen jumlahnya kurang sekali untuk mencemakan dan memanfaatkan semua hasil pikiran dan penelitian para cendekiawan itu. Sering, waktu yang berlalu antara saat pengajuan pertama usulan riset dan penyampaian hasil laporannya meliputi dua tahun atau lebih, sehingga pejabat yang dahulu memesan riset itu sudah "lupa" akan persoalan yang melahirkan DIP riset itu. *** Para dosen-peneliti, yang sudah menghabiskan banyak waktu untuk suatu riset, yang harapannya dapat mempengaruhi pengambilan kebijaksanaan pemerintah, sering mengalami frustrasi, karena tidak segera dapat melihat dampak dari buah pikirannya. Sering dialog antara ilmiawan dan (pejabat) pemerintah mengenai penggunaan hasil riset hanya menambah frustrasinya. "Gelombang" (wavelength) dalam komunikasi ini tidak sama antara kedua pihak. Si cendekiawan hanya ingin "teorinya" diakui dan dipakai. Si pejabat dalam perumusan kebijaksanaan harus memperhitungkan seribu macam pertimbangan, yang ilmiah, yang politis, yang administratif, dan sebagainya, dan hasilnya merupakan suatu kompromis yang unsur ilmiahnya tidak menonjol lagi, atau bahasa (ilmiahnya) sudah diterjemahkan sehingga tak terkenalkan lagi. Komunikasi antara ilmuwan-peneliti dan pejabat pemerintah merupakan suatu seni dan budaya yang harus cukup dihayati oleh kedua belah pihak, tetapi terutama oleh si ilmuwan-riset, kalau ia menginginkan suatu dialog yang produktif. *** Ada kalanya, sengaja atau tanpa sengaja, hasil dan rekomendasi riset atau survei tidak obyektif, dan "memihak". Riset ilmu sosial itu tidak seperti matematika, dan hasil riset ilmu sosial sering tidak bebas dari sesuatu "value judgement" (penilaian yang subyektif, ataupun suatu kecenderungan ideologis. Ini bisa terjadi pada riset yang dilakukan oleh "NGO" (Non-governmental organization), yang mempunyai sesuatu komitmen idiil (misalnya "pro-si-miskin"). Kalau NGO demikian mendapat kontrak riset dari sesuatu instansi pemerintah, dan hasil rekomendasinya adalah kritis terhadap kebijaksanaan pemerintah, maka dialog dapat menjadi sukar. Instansi resmi yang memberikan kontrak riset demikian ingin suatu hasil yang dapat membantu secara operasional dalam pemecahan persoalarmya. Kalau jawabannya "pemerintah salah kaprah," maka bagi instansi itu hasil riset tak banyak faedahnya, karena ia toh tidak dapat mengubah kebijaksanaan umum pemerintah. Hubungan pemerintah dengan organisasi-organisasi nonpemerintah ini tetap penting, karena merupakan bagian dari proses demokrasi, dan dialog sosial. Tapi bahasa dalam dialog ini harus dimufakati, agar hasilnya dapat produktif, artinya pihak yang satu masih dapat mempengaruhi (walaupun mungkin hanya sedikit) pihak yang lain. * * * * Dalam Repelita IV riset masih akan penting, dan kaum ilmuwan masih harus dilibatkan dalam proses pembangunan. Banyak uang anggaran belanja tetap akan disediakan untuk keperluan riset ini. Maka setelah empat tahun Pelita III, datang waktunya untuk menilai pengalaman selama ini: sampai berapa jauh ciri-ciri sistem riset dengan DIP masih dapat diperbaiki, sehingga lebih banyak sasaran dapat tercapai, dan pemborosan uang anggaran dapat berkurang. Riset ilmiah mungkin belum betul-betul membudaya dalam masyarakat kita, sehingga tata-mainannya sewaktu-waktu masih harus ditinjau. Mungkin LIPI dapat memprakarsai suatu seminar yang bisa membicarakan segala aspek persoalan riset ini, dan suatu usulan kebijaksanaan baru dapat dirumuskan untuk Repelita IV.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus