RISET (penelitian, research) adalah kegiatan yang dilakukan
secara luas dalam Pelita III. Hampir setiap departemen atau
instansi pemerintah, mempunyai suatu direktorat atau bagian yang
khusus melakukan tugas penelitian dan pengembangan. Anggaran
belanja pemerintah, dalam bentuk DIP, yang digunakan untuk
membiayai riset ini, berjumlah puluhan, bahkan mungkin ratusan
milyar rupiah setahun.
Semua riset ini, baik oleh departemen maupun yang dikontrakkan
kepada universitas dan badan riset lain, bermaksud menunjang
pembangunan.
Dalam Repelita IV kiranya kegiatan riset ini tidak akan
berkurang. Seperti halnya program-program pemerataan, program
riset masih akan dirangsang dan akan diteruskan, karena paling
tidak, kegiatan riset juga ada segi pemerataannya. Dengan
anggaran belanja riset yang cukup besar, masyarakat universitas
dan dunia ilmiah dapat dilibatkan dalam proses pembangunan,
"berpartisipasi." Yang terlibat dalam riset ini bukan unsur ibu
kota saja, namun juga unsur daerah, misalnya universitas di
provinsi.
Motivasi politik untuk menggairahkan riset ini dapat didukung,
karena diharapkan hasil riset dapat dipakai untuk menyempumakan
perumusan kebijaksanaan pemerintah, sehingga pembangunan dapat
dilaksanakan dengan efisien lebih besar.
Kalau para dosen dan mahasiswa banyak melakukan riset yang ada
hubungan dengan masalah pembangunan, maka pengetahuan yang
diajarkan di universitas, terutama ilmu-ilmu sosial, menjadi
lebih relevan dan lebih mencerminkan dunia yang nyata.
Tetapi setiap kebijaksanaan baru yang jangkauannya luas, setiap
program pemerintah baru yang meluas dengan sangat cepatnya
membawa permasalahan baru.
Tidak semua menteri, pejabat eselon pertama dan di bawahnya,
cepat dan siap untuk menentukan sasaran riset yang relevan dan
urgen. Riset itu merupakan keharusan administratif baru yang
belum ada dalam Pelita yang lalu. Prosedur pengajuan proyek
riset alokasi dana lewat DIP, dan pengawasan pelaksanaannya,
semua itu menumbuhkan birokrasi baru yang bisa menimbulkan
distorsi kepada maksud riset semula.
Karena banyaknya anggaran belanja riset ini, maka
kontrak-kontrak riset menjadi sumber tambahan penghasilan bagi
para ilmuwan di universitas yang gajinya tidak tinggi. Selama
Pelita III ini mungkin dapat dikatakan, banyak sekali tenaga
universitas mendapat tambahan pendapatan yang lumayan dari
kegiatan riset, survei dan pengembangan ini.
Kecenderungan ini menimbulkan kegiatan riset di universitas yang
terlalu berorientasikan kepada suatu kontrak dengan departemen.
Pada umumnya riset atau survei demikian mudah dalam metodologi
dan pelaksanaan, dapat diselesaikan secara cukup cepat, dan
kualitasnya sering dapat disebut "dangkal".
Riset yang menyangkut suatu masalah makro atau strukturral, atau
jangka panjang, dan yang memerlukan masukan analisa dan teori
yang lebih banyak, sering tidak menjadi prioritas
kontrak-kontrak itu, karena departemen pada umumnya kurang
merasa berkepentingan akan perlunya riset dasar (basic
research). Hasil yang sophisticated mungkin juga tidak akan
mudah terbaca atau dimengerti oleh pejabat-pejabat yang
pekerjaannya sibuk sekali.
Akibat dari semua ini: kemampuan dan perkembangan ilmiah di
fakultas kurang mendapat dorongan dari sifat riset pekerjaan
kontrakan tersebut. Riset kontrakan ini hasilnya menjadi milik
departemen atau instansi yang memesannya. Akibatnya, hasil riset
ini tidak menjadi milik umum, tidak masuk perpustakaan untuk
umum. Hasil riset demikian tidak diketahui oleh banyak orang,
dan tidak menjadi bahan bahasan serta kritikan teman seprofesi.
Kurangnya interaksi ini tidak merangsang perkembangan kualitas.
Memang banyak keluhan bahwa riset yang dibiayai oleh DIP kurang
kualitas ilmiahnya, dan mungkin belum memadai untuk disiarkan
dalam majalah ilmiah. Sebaliknya, cukup disadari juga, program
riset lewat DIP tidak dimaksudkan untuk mendapat hasil riset
yang kualitasnya selalu harus baik. Kemampuan riset secara
nasional belum merata. Maka uang DIP juga bermaksud untuk
membangun kemampuan riset ini, untuk Institution Building.'
Sebaliknya, dunia universitas juga sering mengeluh, hasil
risetnya hanya menumpuk di lemari-lemari departemen, menjadi
tempat pengumpul debu. Riset menjadi sasaran mesin administrasi
pemerintah: ada DIP yang harus dihabiskan, dan ada pekerjaan
yang harus diterima.
Untuk membaca laporan yang tebal sering tidak ada waktu, dan
staf menteri atau dirjen jumlahnya kurang sekali untuk
mencemakan dan memanfaatkan semua hasil pikiran dan penelitian
para cendekiawan itu. Sering, waktu yang berlalu antara saat
pengajuan pertama usulan riset dan penyampaian hasil laporannya
meliputi dua tahun atau lebih, sehingga pejabat yang dahulu
memesan riset itu sudah "lupa" akan persoalan yang melahirkan
DIP riset itu.
***
Para dosen-peneliti, yang sudah menghabiskan banyak waktu untuk
suatu riset, yang harapannya dapat mempengaruhi pengambilan
kebijaksanaan pemerintah, sering mengalami frustrasi, karena
tidak segera dapat melihat dampak dari buah pikirannya.
Sering dialog antara ilmiawan dan (pejabat) pemerintah mengenai
penggunaan hasil riset hanya menambah frustrasinya. "Gelombang"
(wavelength) dalam komunikasi ini tidak sama antara kedua pihak.
Si cendekiawan hanya ingin "teorinya" diakui dan dipakai. Si
pejabat dalam perumusan kebijaksanaan harus memperhitungkan
seribu macam pertimbangan, yang ilmiah, yang politis, yang
administratif, dan sebagainya, dan hasilnya merupakan suatu
kompromis yang unsur ilmiahnya tidak menonjol lagi, atau bahasa
(ilmiahnya) sudah diterjemahkan sehingga tak terkenalkan lagi.
Komunikasi antara ilmuwan-peneliti dan pejabat pemerintah
merupakan suatu seni dan budaya yang harus cukup dihayati oleh
kedua belah pihak, tetapi terutama oleh si ilmuwan-riset, kalau
ia menginginkan suatu dialog yang produktif.
***
Ada kalanya, sengaja atau tanpa sengaja, hasil dan rekomendasi
riset atau survei tidak obyektif, dan "memihak". Riset ilmu
sosial itu tidak seperti matematika, dan hasil riset ilmu sosial
sering tidak bebas dari sesuatu "value judgement" (penilaian
yang subyektif, ataupun suatu kecenderungan ideologis. Ini bisa
terjadi pada riset yang dilakukan oleh "NGO" (Non-governmental
organization), yang mempunyai sesuatu komitmen idiil (misalnya
"pro-si-miskin").
Kalau NGO demikian mendapat kontrak riset dari sesuatu instansi
pemerintah, dan hasil rekomendasinya adalah kritis terhadap
kebijaksanaan pemerintah, maka dialog dapat menjadi sukar.
Instansi resmi yang memberikan kontrak riset demikian ingin
suatu hasil yang dapat membantu secara operasional dalam
pemecahan persoalarmya. Kalau jawabannya "pemerintah salah
kaprah," maka bagi instansi itu hasil riset tak banyak
faedahnya, karena ia toh tidak dapat mengubah kebijaksanaan umum
pemerintah.
Hubungan pemerintah dengan organisasi-organisasi nonpemerintah
ini tetap penting, karena merupakan bagian dari proses
demokrasi, dan dialog sosial. Tapi bahasa dalam dialog ini harus
dimufakati, agar hasilnya dapat produktif, artinya pihak yang
satu masih dapat mempengaruhi (walaupun mungkin hanya sedikit)
pihak yang lain.
* * * *
Dalam Repelita IV riset masih akan penting, dan kaum ilmuwan
masih harus dilibatkan dalam proses pembangunan. Banyak uang
anggaran belanja tetap akan disediakan untuk keperluan riset
ini. Maka setelah empat tahun Pelita III, datang waktunya untuk
menilai pengalaman selama ini: sampai berapa jauh ciri-ciri
sistem riset dengan DIP masih dapat diperbaiki, sehingga lebih
banyak sasaran dapat tercapai, dan pemborosan uang anggaran
dapat berkurang.
Riset ilmiah mungkin belum betul-betul membudaya dalam
masyarakat kita, sehingga tata-mainannya sewaktu-waktu masih
harus ditinjau. Mungkin LIPI dapat memprakarsai suatu seminar
yang bisa membicarakan segala aspek persoalan riset ini, dan
suatu usulan kebijaksanaan baru dapat dirumuskan untuk Repelita
IV.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini