Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Patriot yang merakyat

Pengarang: frans m. parera jakarta: gramedia, 1982. (bk)

26 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUNG TOMO Pengantar: Taufik Abdullah Penyunting: Frans M. Parera Gramedia, Jakarta 1982, 448 halaman. TAUFIK Abdullah, yang mengantar buku ini, berusaha meletakkan dasar-dasar pemahaman kita tentang tindak dan sikap Bung Tomo. Sementara Parera, sang penyunting, melakukan tugasnya dengan baik. Meski demikian banyak bagian ilustrasi yang tampaknya lebih baik dijadikan catatan kaki, agar tidak terlalu bertele-tele. Buku ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama, terdiri dari tiga bab, mengungkapkan proses sosialisasi revolusi ke dalam diri Bung Tomo, dan keterlibatannya dalam perang fisik. Bagian kedua mengisahkan sepak-terjang Bung Tomo dalam alam demokrasi (terpimpin). Bagian ketiga oleh penyunting diberi judul 'Masa Awal Orde Baru' -- judul yang agak mengganjal, karena Bung Tomo, selain menulis surat untuk Mao dan Chiang Kai Shek, hanya melukiskan pengalamannya dengan PKI. Proklamasi kemerdekaan menyentak Sutomo muda. Bergegas meninggalkan kantor berita Domei, wartawan (dan bekas loper koran) ini pulang ke rumah. Di kampung tempat tinggalnya, masyarakat sedang bergembira. Pekik kemerdekaan terdengar di hampir semua pelosok Kota Surabaya. Tapi apa yang harus diperbuat setelah itu? Terutama tentang pemindahan kekuasaan, seperti yang disebut dalam teks Proklamasi? Anak-anak Surabaya punya jawaban sendiri. Tanpa menunggu instruksi dan izin Pusat, mereka bergerak mulai dari penaikan bendera merah putih dan penurunan bendera tri-warna Belanda sampai inisiatif pelucutan senjata terhadap Jepang. Proses penaikan bendera -- terutama yang sangat dramatis di Hotel Yamato, 19 September 1945 -- dan pelucutan senjata ini merupakan sesuatu yang crucial. Tanpa itu rakyat di kota-kota lain tak punya model untuk melakukan gerakan yang sama. Bung Tomo dalam pelucutan itu bertindak sebagai juru bahasa antara masyarakat dan tentara Jepang. Keberhasilan, dan kepercayaan masyarakat terhadap Bung Tomo sebagai juru bicara, mendorongnya terlibat lebih dalam. Ia melepaskan pekerjaannya dan mulai memusatkan kegiatan dalam perjuangan. Sepulang dari Jakarta -- kota yang menurut Bung Tomo sangat berbeda dengan Surabaya. karena bendera dan orang-orang asing masih berkuasa -- ia membentuk organisasi pemberontakan. Dan bersama tujuh orang lainnya memimpin organisasi 'ekstrimis' itu. Usul dia tentang perlunya Radio Pemberontakan, guna membangkitkan perlawanan rakyat, diterima Jakarta. Sejak itu suara Bung Tomo meledak-ledak didengar seluruh rakyat. Lewat radio itulah kesatuan gerak dan kerjasama masyarakat Surabaya bisa dilaksanakan. Tidak berlebihan bila Surabaya disebut kota dinamisator, kota penggerak. Bukan hanya karena ia kota pertama yang melakukan pelucutan senjata atau mengomando perjuangan lewat Radio Pemberontakan. Pada 10 November 1945, Surabayalah yang digempur Inggris -- setelah Mallaby, jenderal Inggris (tanpa diketahui siapa pembunuhnya) tewas di Jembatan Merah. Perang selesai. Karir Bung Tomo menanjak ia menjadi penasihat militer Jenderal Sudirman dan koordinator Angkatan Darat, Laut dan Udara. Dengan jabatan itu, jenderal ini dihadapkan pada berbagai masalah dari alokasi dana dan peralatan angkatan sampai pada friksi dalam tubuh angkatan perang. Rasionalisasi jumlah tentara yang dilaksanakan Amir Syarifudin, PM dan Menhankam waktu itu, menimbulkan kesulitan tersendiri. Di samping mekarnya semangat golongan, anggota-anggota KNIL, kesatuan Be]anda yang turut berperang di pihak Indonesia, mendapat tempat tersendiri -- karena dianggap lebih profesional -- dalam TNI. Sementara sebagian besar tentara rakyat yang tidak terdidik kurang terakomodasikan keadaan itu mengancam keutuhan angkatan perang yang baru terbentuk dan masih harus melawan penjajah. Tidak hanya itu. Kelompok-kelompok bersenjata, yang terkena rasionalisasi, serentak berkembang menjadi -- seakan-akan -- "gerombolan bersenjata." Pertumbuhannya seiring dengan munculnya orang-orang kaya baru (OKB), kemiskinan dan kelaparan, serta agitasi PKI. Ini melahirkan apa yang disebut Koentjaraningrat "mental terobosan" setelah revolusi. Banyak orang yang tiba-tiba menjadi OKB, dan karena OKB, cepat pula menjadi miskin kembali. Pengaruhnya pada tindak kriminal dan rendahnya semangat kerja sangat besar. Bung Tomo dalam bagian itu panjang lebar menguraikan masalah dan jalan pemecahannya. Ia mengecam tokoh-tokoh pemberontakan, terkadang kawannya sendiri, yang mengeksploitasi anak buah. Juga mengecam agitasi yang merangsang ketidakpuasan rakyat atas rasionalisasi (KNIL di Indonesia Bagian Timur hampir sebagian besar terkena rasionalisasi). Di sini terlihat sikap Bung Tomo yang memihak Republik dan menomorsatukan kesatuan. Dan patriotisme ini tetap dipegang setelah kemerdekaan. Konsistensinya terlihat pula ketika ia diangkat sebagai mayor jenderal -- dan didatangi utusan Menhankam yang menawarkan beberapa fasilitas mewah. Ia menolak. Dan ketika menjadi menteri sosial, 1955-1956 (perannya cukup besar dalam membatalkan hasil KMB yang sangat menghina bangsa Indonesia itu) ia tetap memakai Fiat buruk yang doyan mogok. Sebagai bekas menteri, ditolaknya tawaran mcndapat "devisa" untuk membeli Mercedes Benz 220. Alasannya: rakyat Indonesia masih melarat. TAPI ketika ia memimpin Partai Rakyat Indonesia, ia tidak menolak untuk menggugat Soekarno karena dianggap telah menyimpang dari UUD 1945. Soekarno, dengan alasan Parlemen tidak bisa bekerja sama dengan Pemerintah membubarkan DPR pilihan rakyat. Alasan ini tidak diterima. Sebab parlemen bukan tidak bisa bekerja sama, melainkan lebih menekankan kepentingan rakyat: RAPBN yang diajukan terlalu menekan rakyat, karena itu tidak disetujui Parlemen. Dan Bung Tomo secara berani mengatakan: "Kita semua melihat, bagaimana seenaknya saja Kabinet yang dipimpin Ir. Dr. Soekarno itu telah membubarkan DPR hasil pilihan rakyat." Gugatan itu terjadi 24 Agustus 1960 di muka sidang Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta -- peristiwa yang pertama dan terakhir kalinya di Indonesia, sampai saat ini. Bagi Bung Tomo, revolusi bukan di masa silam. Tapi di sini dan sekarang. Atau, seperti antaran Taufik Abdullah "Revolusi tidak sekadar situasi real, tetapi juga suasana pikiran dan hati. Dengan latar belakang situasi inilah kumpulan tulisan Bung Tomo, dan terutama kehadirannya dalam sejarah perjuangan bangsa, dilihat." Taufik Abdullah telah menghantarkan pembaca untuk memahami gejolak diri (juga konsistensi sikap patriotismenya dalam perspektif sejarah Indonesia. Tulisan Bung Tomo yang disusun menjadi buku ini seakan menjadi saksi sikap Bung Tomo sebagai pejuang yang tak luntur. Ia berbicara kepada kita tentang dirinya, tapi juga tentang sesuatu yang telah hilang di tengah kita. Buku ini tampak sangat baik dibaca oleh generasi muda, para anggota DPR, para menteri dan terutama para jenderal muda dewasa ini. Sebab ia menawarkan model patriot yang merakyat. Tapi buku ini juga bisa menjadi -- ironisnya -- hiburan. Kita acap terhibur oleh kisah-kisah kepahlawanan, tersentak dan terharu -- meski tidak bisa lebih dari itu. Mungkin karena manusia dan situasinya sudah lain. Fachry Ali

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus