BUNG TOMO
Pengantar: Taufik Abdullah
Penyunting: Frans M. Parera
Gramedia, Jakarta 1982, 448 halaman.
TAUFIK Abdullah, yang mengantar buku ini, berusaha meletakkan
dasar-dasar pemahaman kita tentang tindak dan sikap Bung Tomo.
Sementara Parera, sang penyunting, melakukan tugasnya dengan
baik. Meski demikian banyak bagian ilustrasi yang tampaknya
lebih baik dijadikan catatan kaki, agar tidak terlalu
bertele-tele.
Buku ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama, terdiri dari
tiga bab, mengungkapkan proses sosialisasi revolusi ke dalam
diri Bung Tomo, dan keterlibatannya dalam perang fisik. Bagian
kedua mengisahkan sepak-terjang Bung Tomo dalam alam demokrasi
(terpimpin). Bagian ketiga oleh penyunting diberi judul 'Masa
Awal Orde Baru' -- judul yang agak mengganjal, karena Bung Tomo,
selain menulis surat untuk Mao dan Chiang Kai Shek, hanya
melukiskan pengalamannya dengan PKI.
Proklamasi kemerdekaan menyentak Sutomo muda. Bergegas
meninggalkan kantor berita Domei, wartawan (dan bekas loper
koran) ini pulang ke rumah. Di kampung tempat tinggalnya,
masyarakat sedang bergembira. Pekik kemerdekaan terdengar di
hampir semua pelosok Kota Surabaya.
Tapi apa yang harus diperbuat setelah itu? Terutama tentang
pemindahan kekuasaan, seperti yang disebut dalam teks
Proklamasi? Anak-anak Surabaya punya jawaban sendiri. Tanpa
menunggu instruksi dan izin Pusat, mereka bergerak mulai dari
penaikan bendera merah putih dan penurunan bendera tri-warna
Belanda sampai inisiatif pelucutan senjata terhadap Jepang.
Proses penaikan bendera -- terutama yang sangat dramatis di
Hotel Yamato, 19 September 1945 -- dan pelucutan senjata ini
merupakan sesuatu yang crucial. Tanpa itu rakyat di kota-kota
lain tak punya model untuk melakukan gerakan yang sama. Bung
Tomo dalam pelucutan itu bertindak sebagai juru bahasa antara
masyarakat dan tentara Jepang.
Keberhasilan, dan kepercayaan masyarakat terhadap Bung Tomo
sebagai juru bicara, mendorongnya terlibat lebih dalam. Ia
melepaskan pekerjaannya dan mulai memusatkan kegiatan dalam
perjuangan. Sepulang dari Jakarta -- kota yang menurut Bung Tomo
sangat berbeda dengan Surabaya. karena bendera dan orang-orang
asing masih berkuasa -- ia membentuk organisasi pemberontakan.
Dan bersama tujuh orang lainnya memimpin organisasi 'ekstrimis'
itu. Usul dia tentang perlunya Radio Pemberontakan, guna
membangkitkan perlawanan rakyat, diterima Jakarta. Sejak itu
suara Bung Tomo meledak-ledak didengar seluruh rakyat. Lewat
radio itulah kesatuan gerak dan kerjasama masyarakat Surabaya
bisa dilaksanakan.
Tidak berlebihan bila Surabaya disebut kota dinamisator, kota
penggerak. Bukan hanya karena ia kota pertama yang melakukan
pelucutan senjata atau mengomando perjuangan lewat Radio
Pemberontakan. Pada 10 November 1945, Surabayalah yang digempur
Inggris -- setelah Mallaby, jenderal Inggris (tanpa diketahui
siapa pembunuhnya) tewas di Jembatan Merah.
Perang selesai. Karir Bung Tomo menanjak ia menjadi penasihat
militer Jenderal Sudirman dan koordinator Angkatan Darat, Laut
dan Udara. Dengan jabatan itu, jenderal ini dihadapkan pada
berbagai masalah dari alokasi dana dan peralatan angkatan
sampai pada friksi dalam tubuh angkatan perang.
Rasionalisasi jumlah tentara yang dilaksanakan Amir Syarifudin,
PM dan Menhankam waktu itu, menimbulkan kesulitan tersendiri. Di
samping mekarnya semangat golongan, anggota-anggota KNIL,
kesatuan Be]anda yang turut berperang di pihak Indonesia,
mendapat tempat tersendiri -- karena dianggap lebih profesional
-- dalam TNI. Sementara sebagian besar tentara rakyat yang tidak
terdidik kurang terakomodasikan keadaan itu mengancam keutuhan
angkatan perang yang baru terbentuk dan masih harus melawan
penjajah.
Tidak hanya itu. Kelompok-kelompok bersenjata, yang terkena
rasionalisasi, serentak berkembang menjadi -- seakan-akan --
"gerombolan bersenjata." Pertumbuhannya seiring dengan munculnya
orang-orang kaya baru (OKB), kemiskinan dan kelaparan, serta
agitasi PKI. Ini melahirkan apa yang disebut Koentjaraningrat
"mental terobosan" setelah revolusi. Banyak orang yang tiba-tiba
menjadi OKB, dan karena OKB, cepat pula menjadi miskin kembali.
Pengaruhnya pada tindak kriminal dan rendahnya semangat kerja
sangat besar.
Bung Tomo dalam bagian itu panjang lebar menguraikan masalah dan
jalan pemecahannya. Ia mengecam tokoh-tokoh pemberontakan,
terkadang kawannya sendiri, yang mengeksploitasi anak buah. Juga
mengecam agitasi yang merangsang ketidakpuasan rakyat atas
rasionalisasi (KNIL di Indonesia Bagian Timur hampir sebagian
besar terkena rasionalisasi). Di sini terlihat sikap Bung Tomo
yang memihak Republik dan menomorsatukan kesatuan. Dan
patriotisme ini tetap dipegang setelah kemerdekaan.
Konsistensinya terlihat pula ketika ia diangkat sebagai mayor
jenderal -- dan didatangi utusan Menhankam yang menawarkan
beberapa fasilitas mewah. Ia menolak. Dan ketika menjadi menteri
sosial, 1955-1956 (perannya cukup besar dalam membatalkan hasil
KMB yang sangat menghina bangsa Indonesia itu) ia tetap memakai
Fiat buruk yang doyan mogok. Sebagai bekas menteri, ditolaknya
tawaran mcndapat "devisa" untuk membeli Mercedes Benz 220.
Alasannya: rakyat Indonesia masih melarat.
TAPI ketika ia memimpin Partai Rakyat Indonesia, ia tidak
menolak untuk menggugat Soekarno karena dianggap telah
menyimpang dari UUD 1945. Soekarno, dengan alasan Parlemen tidak
bisa bekerja sama dengan Pemerintah membubarkan DPR pilihan
rakyat. Alasan ini tidak diterima. Sebab parlemen bukan tidak
bisa bekerja sama, melainkan lebih menekankan kepentingan
rakyat: RAPBN yang diajukan terlalu menekan rakyat, karena itu
tidak disetujui Parlemen. Dan Bung Tomo secara berani
mengatakan: "Kita semua melihat, bagaimana seenaknya saja
Kabinet yang dipimpin Ir. Dr. Soekarno itu telah membubarkan DPR
hasil pilihan rakyat."
Gugatan itu terjadi 24 Agustus 1960 di muka sidang Pengadilan
Negeri Istimewa Jakarta -- peristiwa yang pertama dan terakhir
kalinya di Indonesia, sampai saat ini. Bagi Bung Tomo, revolusi
bukan di masa silam. Tapi di sini dan sekarang. Atau, seperti
antaran Taufik Abdullah "Revolusi tidak sekadar situasi real,
tetapi juga suasana pikiran dan hati. Dengan latar belakang
situasi inilah kumpulan tulisan Bung Tomo, dan terutama
kehadirannya dalam sejarah perjuangan bangsa, dilihat."
Taufik Abdullah telah menghantarkan pembaca untuk memahami
gejolak diri (juga konsistensi sikap patriotismenya dalam
perspektif sejarah Indonesia. Tulisan Bung Tomo yang disusun
menjadi buku ini seakan menjadi saksi sikap Bung Tomo sebagai
pejuang yang tak luntur. Ia berbicara kepada kita tentang
dirinya, tapi juga tentang sesuatu yang telah hilang di tengah
kita.
Buku ini tampak sangat baik dibaca oleh generasi muda, para
anggota DPR, para menteri dan terutama para jenderal muda dewasa
ini. Sebab ia menawarkan model patriot yang merakyat. Tapi buku
ini juga bisa menjadi -- ironisnya -- hiburan. Kita acap
terhibur oleh kisah-kisah kepahlawanan, tersentak dan terharu --
meski tidak bisa lebih dari itu. Mungkin karena manusia dan
situasinya sudah lain.
Fachry Ali
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini