PENGUSAHA tanah dan bangunan (real estate) yang tidak bonafide
sekarang boleh gigit jari. Bank Tabungan Negara telah memutuskan
untuk mencabut commitment Letter-nya semacam surat keterangan
yang dapat digunakan pengusaha untuk meminta kredit konstruksi
(KK) pada bank. Tindakan ini diambil karena jumlah CL yang
diterbitkan tidak sebanding dengan jumlah rumah murah yang
dibangun sejauh ini. "Daripada mereka ngotor-ngotori portofolio
CL," kata Prayogo Mirhad, Dirut BTN.
Antara 1976 sampai dengan 21 Januari yang lalu, menurut angka
sementara BTN, ada 836 CL yang diterbitkan di seluruh Indonesia
dengan jumlah 144.370 rumah, dan mencakup pagu kredit sebesar Rp
673,9 milyar. Dari jumlah itu, hanya 68.068 rumah yang
direalisasi dengan pagu kredit Rp 280,7 milyar. Di samping itu,
masih sedang dalam pembangunan 30.447 rumah dengan pagu kredit
Rp 160,8 milyar.
Angka sementara BTN itu menunjukkan adanya 69.195 rumah yang
belum dibangun dengan pagu kredit sebesar Rp 362,4 milyar. Yang
belum jelas adalah: Ke mana selisih rumah sejumlah 7.107 dengan
pagu kredit Rp 30,9 milyar? Tetapi, dalam keterangannya kepada
TEMPO pekan lalu, Prayogo belum dapat mengatakan berapa usaha
tanah dan bangunan atau developer yang akan terkena pencabutan
CL. "Kita sangat berhati-hati dalam mencabut CL, karena
biasanya, developer sudah memperoleh kredit konstruksi dari
bank," katanya. "Ini bisa berakibat rumah yang sudah selesai --
kalau, misalnya, rumahnya sudah selesai -- tidak bisa dibeli
dengan fasilitas BTN."
Apa yang dilakukan BTN sekarang ini adalah "menghentikan untuk
sementara surat permohonan usulan proyek dan perluasan proyek,"
kata Prayogo. Tindakan sementara ini akan berlangsung sampai
akhir Maret atau awal April, sejak dimulainya 21 Januari lalu.
Prayogo membantah, tindakan ini ada hubungannya dengan penciutan
dana BTN. "Harap jelaskan kepada masyarakat," kata Prayogo
dengan logat Jawa Timurnya, " bahwa BTN sama sekali tidak
menghentikan pemberian kredit pemilikan rumah," katanya.
Tapi jelas, dia dapat berharap dari pembekuan CL baru itu BTN
akan dapat mencapai dua sasaran sekali pukul. Pertama, melakukan
inventarisasi, evaluasi dan proyeksi terhadap CL yang pernah
diterbitkan sejak 1976, dan kedua, menyesuaikan jumlah CL yang
akan diterbitkan dengan kebutuhan perumahan serta dana yang
tersedia di masa depan.
Ada soal lain kenapa Prayogo menghentikan untuk sementara
pengeluaran CL: ada sejumlah perusahaan yang menawarkan CL-nya
kepada developer atau pengusaha tanah dan bangunan, seperti
pengusaha aktentas zaman dulu. "Mungkin karena mereka tidak
punya modal, mungkin tidak bisa membebaskan tanahnya, mungkin
juga karena soal lain," kau Prayogo.
Tetapi apakah CL memang dapat diperjual-belikan? "Praktis tidak
bisa," kata Eric Samola Direktur PT. Jaya Realty yang membangun
Bintaro Jaya. CL diberikan atas nama perseroan. Jadi CL itu
hanya bisa dipindah jika perusahaan bersangkutan dijual
seluruhnya. Pendapatnya itu diperkuat oleh Anton Haliman,
Presiden Direktur PT Agung Podomoro yang membangun Sunter Jaya.
Kedua perusahaan itu, dan perusahaan lain yang tidak menerima
CL, sama sekali tidak akan menderita akibat keputusan baru BTN.
Developer yang menerima CL dari BTN, dan selama ini masih tetap
giat membangun proyeknya, seperti PT Labrata yang membangun
daerah Meruya llir, misalnya, tampaknya juga tidak akan terkena
keputusan baru BTN -- itu. "Kami masih punya 1.000 rumah di
Meruya," kata A. Rachman Jabar, Kepala Pemasaran Labrata.
Sejumlah developer di Jakarta yang menerima CL dari BTN enggan
membicarakan keputusan tentang CL itu dengan alasan, "belum
menerima pemberitahuan" dari BTN. Prayogo sendiri, selama tiga
pekan terakhir ini terbang hilir mudik dari satu ibukota ke
ibukota provinsi lain untuk menjelaskan keputusan BTN itu.
Salah satu tujuan keputusan tentang CL itu adalah melihat
developer mana yang aktif membangun, yang lambat dan yang sama
sekali tidak membangun. Sekurang-kurangnya ada 327 developer di
seluruh Indonesia yang menerima CL dari BTN.
" Bagi yang lambat menyelesaikan proyeknya akan kita kurangi
CL-nya, dan yang tidak membangun sama sekali kita cabut CL-nya,"
kata Prayogo. Golongan terakhir inilah yang disebut Prayogo
sebagai "ngotor-ngotori portofolio CL."
Menurut sumber TEMPO, mereka yang tidak membangun itu biasanya
adalah pemborong atau kontraktor yang "latah ". Mereka bukan
developer dalam arti kata sebenarnya, tapi ikut-ikutan
mendirikan usaha tanah dan bangunan.
Apa kerugian calon pemilik rumah akibat keputusan BTN itu?
"Tidak ada," jawab Prayogo. "BTN memberi kredit pemilikan rumah
(KPR) kepada perorangan, mereka membayar kepada BTN, tidak
kepada developer." Calon pemilik rumah hanya memilih lokasi
rumah yang mereka kehendaki pada suatu developer, kemudian
meminta KPR kepada BTN. Bila dia memenuhi persyaratan, BTN akan
mengeluarkan sepucuk surat keterangan yang digunakan si calon
pembeli untuk meminta developer bersangkutan membangun rumahnya.
Proses selanjutnya adalah anura si calon pembeli dan BTN sampai
rumah itu selesai, dan si pembeli memasuki rumahnya, dan
mencicilnya kepada BTN sampai selama 20 tahun. Si developer
menerima uangnya dari BTN.
Berapa banyak developer yang akan terkena keputusan Prayogo
Mirhad karena mengotori portofolio CL-nya, dia sendiri belum
tahu. "Kita harus tunggu sampai akhir Maret atau awal April,"
katanya. Bukan karena menunggu selesainya sidang umum MPR. Tapi
Prayogo agaknya ingin menyapu lebih bersih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini