Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berlomba mencari dana

Bank indonesia mengetatkan kredit, sehingga bank-bank swasta berlomba mencari dana. (eb)

26 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKALIPUN ekonomi Indonesia mulai merasakan resesi, permintaan kredit bank masih terus meningkat. Banyak nasabah yang harus sabar, karena permohonan kreditnya ternyata tidak otomatis diberikan. Kalangan bankir masih bicara kredit yang ketat, yang menyebabkan kemampuan mereka memberi kredit nasabahnya terbatas. Di lain pihak, banyak nasabah yang terdesak oleh kebutuhan kreditnya, bersedia membayar bunga di luaran dengan lebih tinggi. Kata seorang staf Bank Niaga: "Banyak nasabah kami yang harus antre minta kredit. Dan banyak mereka yang bersedia membayar kredit 4% sebulan di luar." Beberapa bank swasta, seperti Bank Central Asia dan Bank Perniagaan Indonesia memungut bunga 25% setahun untuk kredit yang diberikannya, dan nasabahnya pun tetap mau. Bahkan bank-bank pasar banyak mengenakan bunga 8% sebulan, dan ini pun masih diambil oleh pedagang-pedagang di pasar, sekalipun itu berarti membayar 84% setahun. Di belakang antrean kredit ini adalah kebijaksanaan Bank Indonesia untuk mengetatkan kredit. Kredit perbankan hanya naik 4% pada kuartal empat tahun lalu, sesudah dua kuartal sebelumnya naik dengan masing-masing 10% dan 7%. James Riady, Direktur Utama Bank Perniagaan Indonesia memperkirakan, BI tahun ini akan menyediakan dana paling banyak Rp 250 milyar untuk 60 bank swasta. "Ini jauh lebih kecil dari Rp 550 milyar tahun lalu," katanya. Ketatnya dana yang dihadapi bank swasta mengakibatkan mereka berlomba mencari dana, dengan menawarkan deposito berjangka berbunga menarik. Beberapa bank swasta dan bank asing secara teratur sudah pasang iklan mengundang pemilik uang untuk mendepositokan uangnya. Besarnya bunga tergantung jangka waktu deposito dan jumlah uang. Makin besar jumlah deposito, makin tinggi bunganya. Sasaran iklan ini menurut James Riady adalah uang panas, yaitu "uang yang menganggur di kalangan swasta dengan jumlah Rp 50 juta ke atas". "Untuk uang sebanyak ini, ada bank yang berani membayar bunga 23%," kata James. Dihadapan reporter TEMPO Marah Sakti, James Riady yang kantornya di Lippo House, Jl. Pasar Baru, Jakarta menelepon sebuah bank asing, pura-pura dan Rp 1 milyar. James terdengar tawar menawar tentang bunga, dan ketika 23% disebut, terdengar suara bersemangat dari ujung telepon. Sekalipun bunga deposito yang dibayar bank-bank makin mahal, tapi karena dana ini bisa diputarkan dengan cepat dan menguntungkan, penghasilan bank dari perputaran ini masih cukup tinggi: rata satu setengah kali biaya yang dikeluarkan sebagai bunga deposito. Untuk laporan pembukuan antara 1 Januari -- 30 Oktober 1982, Bank Dagang Negara memperoleh penghasilan bunga Rp 74 milyar dibanding ongkos bunga yang dibayarkan Rp 50 milyar. BNI 1946 menerima Rp 98 milyar dari penghasilan bunga, sementara bunga yang dibayar Rp 64 milyar. Bank Central Asia mengeluarkan Rp 13,8 milyar untuk membayar bunga berbagai deposito, tapi bunga yang dihasilkannya Rp 19,5 milyar. Begitu pula Bank Duta Ekonomi yang memperoleh hasil bunga Rp 7,2 milyar, sesudah mengeluarkan Rp 3,7 milyar untuk membayar bunga para penyimpan uangnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus