SEKALIPUN ekonomi Indonesia mulai merasakan resesi, permintaan
kredit bank masih terus meningkat. Banyak nasabah yang harus
sabar, karena permohonan kreditnya ternyata tidak otomatis
diberikan. Kalangan bankir masih bicara kredit yang ketat, yang
menyebabkan kemampuan mereka memberi kredit nasabahnya terbatas.
Di lain pihak, banyak nasabah yang terdesak oleh kebutuhan
kreditnya, bersedia membayar bunga di luaran dengan lebih
tinggi. Kata seorang staf Bank Niaga: "Banyak nasabah kami yang
harus antre minta kredit. Dan banyak mereka yang bersedia
membayar kredit 4% sebulan di luar."
Beberapa bank swasta, seperti Bank Central Asia dan Bank
Perniagaan Indonesia memungut bunga 25% setahun untuk kredit
yang diberikannya, dan nasabahnya pun tetap mau. Bahkan
bank-bank pasar banyak mengenakan bunga 8% sebulan, dan ini pun
masih diambil oleh pedagang-pedagang di pasar, sekalipun itu
berarti membayar 84% setahun.
Di belakang antrean kredit ini adalah kebijaksanaan Bank
Indonesia untuk mengetatkan kredit. Kredit perbankan hanya naik
4% pada kuartal empat tahun lalu, sesudah dua kuartal sebelumnya
naik dengan masing-masing 10% dan 7%. James Riady, Direktur
Utama Bank Perniagaan Indonesia memperkirakan, BI tahun ini akan
menyediakan dana paling banyak Rp 250 milyar untuk 60 bank
swasta. "Ini jauh lebih kecil dari Rp 550 milyar tahun lalu,"
katanya.
Ketatnya dana yang dihadapi bank swasta mengakibatkan mereka
berlomba mencari dana, dengan menawarkan deposito berjangka
berbunga menarik. Beberapa bank swasta dan bank asing secara
teratur sudah pasang iklan mengundang pemilik uang untuk
mendepositokan uangnya. Besarnya bunga tergantung jangka waktu
deposito dan jumlah uang. Makin besar jumlah deposito, makin
tinggi bunganya. Sasaran iklan ini menurut James Riady adalah
uang panas, yaitu "uang yang menganggur di kalangan swasta
dengan jumlah Rp 50 juta ke atas". "Untuk uang sebanyak ini, ada
bank yang berani membayar bunga 23%," kata James.
Dihadapan reporter TEMPO Marah Sakti, James Riady yang kantornya
di Lippo House, Jl. Pasar Baru, Jakarta menelepon sebuah bank
asing, pura-pura dan Rp 1 milyar. James terdengar tawar menawar
tentang bunga, dan ketika 23% disebut, terdengar suara
bersemangat dari ujung telepon.
Sekalipun bunga deposito yang dibayar bank-bank makin mahal,
tapi karena dana ini bisa diputarkan dengan cepat dan
menguntungkan, penghasilan bank dari perputaran ini masih cukup
tinggi: rata satu setengah kali biaya yang dikeluarkan sebagai
bunga deposito. Untuk laporan pembukuan antara 1 Januari -- 30
Oktober 1982, Bank Dagang Negara memperoleh penghasilan bunga Rp
74 milyar dibanding ongkos bunga yang dibayarkan Rp 50 milyar.
BNI 1946 menerima Rp 98 milyar dari penghasilan bunga, sementara
bunga yang dibayar Rp 64 milyar. Bank Central Asia mengeluarkan
Rp 13,8 milyar untuk membayar bunga berbagai deposito, tapi
bunga yang dihasilkannya Rp 19,5 milyar. Begitu pula Bank Duta
Ekonomi yang memperoleh hasil bunga Rp 7,2 milyar, sesudah
mengeluarkan Rp 3,7 milyar untuk membayar bunga para penyimpan
uangnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini