Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Layanan pay later memicu pola hidup konsumtif.
Tanpa perhitungan matang, masyarakat bisa terjebak utang.
Bisa memukul balik industri perdagangan online.
IMING-IMING skema paylater bisa menjadi bumerang bila konsumen tidak hati-hati dalam mengajukan pinjaman sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan bayar. Tanpa perhitungan matang, berbagai kemudahan yang ditawarkan bakal menyeret masyarakat ke dalam jebakan utang. Macetnya pelunasan pinjaman berpotensi memukul balik industri e-commerce.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apalagi opsi pendanaan sekaligus pembayaran tersebut makin marak dalam beberapa tahun belakangan. Skema transaksi “beli sekarang bayar nanti” ini berkembang seiring dengan tumbuhnya perusahaan berbasis ride hailing hingga e-commerce. Hampir semua perusahaan itu menyediakan layanan pay later. Pengguna fasilitas ini rata-rata konsumen baru aplikasi e-commerce yang menghendaki kemudahan persyaratan administrasi dan cicilan ringan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalahnya, layanan ini memicu pola hidup yang konsumtif. Konsumen mudah tergoda membeli barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan karena tergiur beragam promosi. Untuk menarik nasabah baru, mereka jorjoran menaikkan plafon pinjaman. Limit pinjaman akan dinaikkan bila pembayaran lancar.
Tren positif perdagangan elektronik selama masa pandemi turut mengakselerasi adaptasi layanan paylater. Sejumlah survei terhadap perilaku konsumen menunjukkan metode pembayaran ini makin populer di platform belanja online, bersaing dengan e-wallet dan transfer bank. Total barang dagangan yang dijual dengan skema paylater diperkirakan naik dari US$ 889,7 juta pada 2020 menjadi US$ 8,5 miliar atau Rp 124,7 triliun pada 2028.
Skema kredit konsumsi ini berpotensi menciptakan gelembung risiko bila konsumen tidak bijak memanfaatkannya. Sama seperti utang lain, sekecil apa pun pemakaian layanan pay later, masyarakat mesti melunasi kewajiban pembayaran sebelum tenggat yang ditetapkan.
Masalahnya, konsumen cenderung abai dan merasa tidak berutang karena kecilnya nilai pendanaan. Padahal, selain pinjaman pokok, ada berbagai komponen biaya yang harus dibayar, dari biaya pendaftaran, biaya cicilan, sampai biaya keterlambatan pembayaran yang besarannya berbeda dari tiap aplikasi. Ini yang kerap luput dari perhatian pengguna belanja online.
Di sisi lain, e-commerce memang menawarkan pelbagai kemudahan melalui teknologi. Namun Otoritas Jasa Keuangan tidak secara langsung mengawasi industri paylater. Mereka hanya mengawasi lembaga jasa keuangan dan bank yang bekerja sama dengan platform penyedia layanan pay later.
Padahal praktik know your customer (KYC) di industri paylater tidak seketat pengajuan kredit di perbankan. Longgarnya pengawasan bisa memicu kredit macet akibat konsumen mengemplang utang. Karena itu, OJK mesti waspada terhadap gelembung risiko akibat kredit macet di sektor mikro.
Sejauh ini memang risikonya masih kecil. Namun, sebelum risiko makin besar, bank dan lembaga jasa keuangan mesti mendorong platform online untuk menerapkan KYC dan prosedur pengajuan pinjaman yang lebih ketat. Platform belanja online yang terjun ke bisnis ini harus siap dengan segala risiko yang dihadapi.
Satu-satunya cara agar terhindar dari risiko transaksi paylater adalah menerapkan prinsip kehati-hatian. Praktik bisnis yang prudent akan menyelamatkan perusahaan bertahan di tengah sengitnya persaingan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo