Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penguasaan tanah adat oleh negara terjadi sampai hari ini, meski terus-menerus diprotes warga.
Petugas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memasang patok-patok permanen di kawasan hutan yang didiami masyarakat adat di Sumatera Utara.
Masyarakat adat di Sumatera Utara khawatir penguasaan negara atas hutan di wilayah mereka dilakukan untuk memberikan karpet merah kepada korporasi.
SEPULUH tahun setelah Mahkamah Konstitusi menguatkan posisi masyarakat adat atas hak tanah melalui putusan nomor 35 tahun 2012, konflik agraria perihal tanah adat di negeri ini ternyata tak surut jua. Penguasaan tanah adat oleh pemerintah dan korporasi, disertai peminggiran sistematis atas hak masyarakat adat, terus terjadi sampai hari ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Contoh terbaru adalah penguasaan lahan di wilayah masyarakat adat di Sumatera Utara oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2021. Tanpa setahu masyarakat setempat, petugas KLHK memasang patok-patok permanen di kawasan hutan yang didiami masyarakat adat. Awal tahun ini pemerintah bahkan sudah memasang papan di sana, berisi pengumuman bahwa wilayah yang dipatok tersebut adalah kawasan hutan negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah berdalih pematokan itu merupakan upaya menjalankan penunjukan hutan negara, seperti yang tercantum dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.579/Menhut-II/2014 tentang Kawasan Hutan Provinsi Sumatera Utara. Aturan itu menyebutkan 3.055.795 hektare kawasan hutan di provinsi tersebut akan ditetapkan menjadi hutan negara. Persoalan muncul karena posisi patok berada di tengah ruang hidup masyarakat adat yang selama ratusan tahun mendiami wilayah tersebut. Tak hanya bermukim, warga juga mencari penghidupan di sana. Belum lagi berbagai situs bersejarah yang juga masih terawat berada di area tersebut.
Yang tak banyak diketahui orang, SK.579/Menhut-II/2014 sebenarnya merupakan pengganti SK.44/Menhut-II/2005 yang dibatalkan Mahkamah Agung pada Mei 2014. Sebelumnya MA memenangkan gugatan Bupati Tapanuli Utara dan Bupati Samosir terhadap surat keputusan Menteri Kehutanan. MA menyatakan surat keputusan itu melanggar Undang-Undang Kehutanan dan sederet aturan lain.
Putusan Mahkamah Konstitusi dua tahun sebelumnya juga menguatkan posisi masyarakat adat. MK menghapus kata “negara” dalam rumusan Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Kehutanan sehingga berbunyi, “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.” Karena itu, klaim sepihak pemerintah atas tanah di kawasan masyarakat adat tidak dapat dibenarkan.
Bukan hanya itu. Putusan MK yang menegaskan bahwa hutan adat bukan hutan negara punya konsekuensi besar. Dengan putusan itu, maka masyarakat adat jelas memiliki hak mengelola dan memanfaatkan hutan. Pemerintah tak bisa seenaknya mengklaim tanah adat sebagai hutan negara. Apalagi, ada kecenderungan dari sejumlah kasus sebelumnya, penguasaan negara atas hutan di wilayah adat hanya pintu masuk untuk memberikan konsesi kepada korporasi.
Meski ada sebagian wilayah hutan adat yang kemudian dijadikan hutan lindung, pemerintah juga kerap memberikan izin pengelolaan hutan negara kepada perusahaan-perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan dan hutan tanaman industri. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Tano Batak mencatat sekitar 50 ribu hektare lahan hutan di kawasan Danau Toba kini sudah beralih fungsi menjadi lahan tanaman hutan industri.
Pemerintah sudah sepatutnya menghentikan upaya penguasaan tanah adat melalui instrumen hukum yang sudah dinyatakan tak valid. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat justru harus menguatkan posisi masyarakat adat dengan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat, yang sudah lama dibahas. Perlindungan masyarakat adat adalah jalan untuk memastikan kesejahteraan rakyat dan perlindungan hutan kita bisa berjalan seiring.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo