"APA gunanya kemerdekaan, bila para budak yang hidup ini hari akan jadi tiran di hari esok?" Pertanyaan itu diucapkan Padri Florentino, salah satu tokoh dalam novel El Filibusterismo, yang ditulis Jose Rizal di tahun 1891. Seluruh kisah itu, konon, menyiratkan api yang sudah membayang dalam sekam: Rizal, yang kemudian jadi pahlawan Filipina, telah memutuskan untuk memilih jalan pembebasan dari Spanyol. Tapi pada saat yang sama Rizal juga ragu, apakah jadinya Filipina kelak, setelah orang-orang Spanyol ditendang dengan keras dan orang bumiputra memerintah sehabis revolusi selesai membantai. Memang bisa dikatakan, Rizal yang ragu bukanlah Rizal yang layak jadi pejuang. Ia cendekiawan yang terdidik di Eropa dan datang dari golongan ilustrados yang berpunya. Pada akhirnya memang orang semacam itu tak dapat teramat diharap untuk mengorbankan dunianya yang manis. Alam merdeka penuh risiko, apalagi setelah harus melalui api, darah, penghancuran. Tapi bisa dikatakan juga bahwa ia berpandangan jauh. Sebelum negeri-negeri seperti Filipina disebut "Dunia Ketiga", orang ini telah dapat melihat gambaran yang kemudian jadi karikatur Dunia Ketiga. Gambaran itu bagaikan sebuah cergam: pada kotak pertama, pejuang-pejuang kemerdekaan mengangkat bedil. Pada kotak berikutnya, mereka menang. Pada kotak ketiga, mereka memerintah. Pada kotak keempat, mereka sewenang-wenang, dan kemerdekaan, yang dulu diperjuangkan, punah. Bukankah Marcos di Filipina juga dikatakan seperti itu? Saya tak tahu bagaimana sebenarnya Marcos di Filipina. Negeri itu belum pernah saya lihat. Cerita-cerita dari sana, umumnya ditulis oleh orang dari Amerika, memang membayangkan karikatur kekuasaan yang lazim itu: Marcos, yang memperoleh banyak tanda jasa dari perang gerilya melawan Jepang, tampil sebagai hero. Kemudian, ia jadi penguasa yang korup .... Tapi kita tahu orang Amerika dan Eropa teramat sering bercerita demikian tentang Dunia Ketiga. Saya kadang bertanya-tanya dalam hati, kenapa demikian. Karena kekonyolan kita sendiri? Atau karena seperti dulu, si Barat yang putih itu selalu punya alasan untuk menertawakan orang lain, baik yang menampik maupun meniru mereka? Mungkin juga soalnya berada di tempat lain. Di Dunia Ketiga, kita hidup dengan meniup dan menelan banyak harapan -- karena kita mesti demikian. Di Dunia Ketiga, penindasan begitu lama, rasa terhina begitu membekas, dan persoalan-persoalan begitu bertimbun, hingga kita membutuhkan sejenis iman yang lebih tentang kehebatan manusia. Kita mengkonstruksikan pahlawan semacam meminta sebuah mukjizat. Biografi-biografi yang mencengangkan pun ditulis, monumen dan museum dipajang (terkadang dipermak), dan khalayak ramai ikut mengelu-elukan, dengan sorak, sumpah setia, atau air mata. Kita ogah -- atau kita belum -- menampilkan satu potret "antihero", dalam sejarah kita. Pahlawan nasional bukanlah orang-orang lazim yang bisa dianalisa dengan pisau urai yang tajam. Bayangkan keributan yang terjadi jika seseorang berani menyajikan suatu risalah yang kritis tentang Bung Karno, atau Bung Hatta, Diponegoro atau Pattimura. Mungkin itulah sebabnya kita terdiam. Di Filipina, Nick Joaquin memang menulis A Question of Heroes, sebuah telaah kritis tentang tokoh-tokoh revolusi di negerinya -- tapi Joaquin mungkin suatu perkecualian. Ia mungkin datang dari jenis kesadaran lain. Atau Filipina memang berbeda. Sebuah biografi besar tentang Rizal yang ditulis oleh Leon Maria Guerrero, dan dibahas oleh Joaquin, mencantumkan satu kalimat Shakespeare dari kisah Othello: "Bicaralah tentang diriku sebagaimana diriku/Tak ada yang diperlunak/Ataupun dengan rasa dengki diinjak-injak". Berbicara tentang manusia sebagaimana adanya adalah suatu sikap yang menolak mukjizat, karena mukjizat memang tak akan selalu datang buat menyelesaikan soal yang pelik-pelik. Sebuah bangsa, karena itu, tak cuma membutuhkan pahlawan. Ia juga membutuhkan (lebih sering manusia biasa -- dengan segala kekerdilan dan keterbatasannya. Artinya, sebuah bangsa memerlukan diri untuk siap jika sang pahlawan kemudian jadi brengsek, jika sang suci jadi pendosa dan sang jagoan jadi jeri. Kebejatan dan kesewenang-wenangan dengan demikian pagi-pagi sudah bisa dihadapi. Pemikiran politik yang hidup dengan demikian perlu berangkat dari semacam realisme. Beberapa ratus tahun yang lalu sebenarnya seorang yang bernama Spinoza sudah menulis sebuah risalah tentang politik dengan kalimat pertama yang menyuarakan realisme itu. Spinoza menyerang para filosof, yang "merumuskan manusia tidak sebagaimana adanya, tetapi sebagaimana seharusnya". Tapi sayangnya banyak orang tak membacanya, banyak lagi yang tak berpikir seperti itu. Maka, mereka pun kemudian kecewa. Mereka tak siap, untuk merumuskan suatu pencegah, bila budak dan pembebas dari hari kemarin kemudian jadi sesuatu yang lain di hari ini. Pahlawan memang hidup dan mati hanya satu kali. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini