KALAU Panahatan Jonggi merasa sangat penasaran, itu bisa dimengerti. Bayangkan. Mahasiswa Fisipol Universitas Darma Agung (UDA), Medan, tersebut belum lama ini menerima surat pemecatan. Yang membuat berang adalah alasan pemecatannya itu, lho. Surat pemecatan tertanggal 4 Januari 1986 tersebut ditandatangani Penjabat Rektor UDA Ir. N.P. Siregar. Isinya, antara lain: "Pemecatan dimaksudkan untuk menghindari keterlibatan mahasiswa dalam pelaksanaan eksekusi tanah di kawasan Jalan Bantam, Medan." Surat pemecatan serupa ternyata juga diterima Aswin Bangun, 23, mahasiswa Fisipol tingkat IV, yang sedang menghadapi ujian untuk meraih gelar sarjana muda. Alasannya juga sama. Keduanya, tampaknya, menjadi korban dari suatu persengketaan. Kisahnya: Hermina Napitupulu, mendiang istri T.D. Pardede -- pengusaha besar di Sum-Ut sejak 1973 bersengketa dengan 150 kepala keluarga (KK) yang menghuni tanah seluas 20.615 m2 di kawasan Jalan Bantam. Setelah melalui beberapa tingkat, Mahkamah Agung pada 1983 -- dua tahun setelah Hermina meninggal dunia -- menjatuhkan keputusan mengukuhkan keputusan Pengadilan Tinggi Sum-Ut. Intinya: Hermina adalah pemilik sah tanah itu karena memiliki sertifikat tanah itu dari Kantor Agraria Medan. Tapi keputusan itu juga menyebutkan, penduduk adalah penghuni sah tanah itu, karena sekitar seribu orang itu telah menghuninya sejak zaman penjajahan Jepang. Jalan keluarnya: penduduk harus mengosongkan tanah itu dan memperoleh ganti rugi berupa permukiman dari Pardede selaku ahli waris Hermina. Pardede setuju. Tahun lalu ia membangun 150 rumah di Simalingkar, 15 km dari pusat kota Medan arah ke Brastagi, Tanah Karo. Pada 15 Januari 1986, Pengadilan Negeri Medan pun mulai akan melaksanakan eksekusi keputusan MA itu, dengan memanggil 150 KK itu. Mereka ternyata menolak pindah. "Rumah di Simalingkar itu tak sebanding dengan yang kami huni," kata Hincaria boru Napitupulu, 56, salah seorang dari 150 KK itu. Lalu, apa hubungan urungnya eksekusi ini dengan pemecatan Jonggi dan Aswin? Universitas Darma Agung didirikan oleh T.D. Pardede, dan di Sum-Ut sering disebut sebagai "milik" Pardede. Nah, Jonggi dan Aswin kebetulan tinggal di kawasan yang dipersengketakan itu. Hincaria, yang dikenal sebagai tokoh penggerak 150 KK di tanah itu, adalah ibu kandung Jonggi. Tampaknya, hal inilah yang dijadikan alasan pemecatan itu. Karena tak melihat jalan lain, Jonggi dan Aswin pada 5 Februari lalu mengadu ke LBH Medan. Mendengar pengaduan mereka, Direktur LBH Medan, Kamaluddin Lubis, kaget. "Itu teror mental yang tak manusiawi," katanya pada TEMPO. Karena itu, ia memproses pengaduan kedua mahasiswa itu untuk diajukan ke Poltabes Medan. "Setidaknya UDA melanggar pasal 335 KUHP, yakni membikin perasaan tidak senang," katanya. Hari-hari ini Jonggi tinggal di rumah, menjaga kedai fotokopi orangtuanya yang terletak di depan kampus UDA. Ibunya, Hincaria, mendukung tindakan putranya mengadukan UDA ke polisi. Kalau terpaksa, kuliah di perguruan lain 'kan bisa," katanya. Berbeda dengan Aswin. "Dia sekarang suka tiduran dan gelisah," kata ibunya, P. Boru Guru Singa. Karena khawatir masa depan anaknya yang hampir ujian sarjana muda, ibu ini mendukung anaknya mengambil langkah surut. Aswin memang merencanakan membuat surat. "Isinya pernyataan akan pindah dari tempat orangtua saya ini," kata Aswin dengan suara bergetar. Tapi orangtuanya tetap tak bergeming. "Biarlah putraku tinggal di tempat famili. Tapi kami akan tetap di sini," ujar Boru Guru Singa yang guru SD itu. TERNYATA, bukan cuma Jonggi dan Aswin yang terancam. Enam mahasiswa Fakultas Teknik UDA, I Februari lalu juga diusulkan ke Rektor UDA agar dipecat. Mereka dituding Dekan Ir. W. Sidjabat melakukan tindakan indisipliner, "karena tak pindah dari lokasi tanah terperkara di Jalan Bantam itu," tulis sang dekan dalam usulnya. Semula mereka diusulkan agar dipecat sejak 3 Februari jika mereka tidak melapor sampai tanggal itu. Karena takut dipecat, keenam mahasiswa itu melapor dan membuat pernyataan pindah dari kawasan itu. Yang aneh, mereka hanya indekos saja di kawasan itu. Di kawasan yang disengketakan itu kini memang sedang terjadi gerakan pengungsian besar-besaran. Sekitar 500 mahasiswa yang indekos di situ diperkirakan sedang pindah dari tempat itu. Dari rumah Hincaria saja, ada 30 mahasiswa indekos yang pindah. Ke mana mereka pindah? "Kami menyediakan penampungan," kata Rektor UDA, Drs. Zebulon M.A. Yakni di Asrama Pekabaran Injil, masih bagian dari unit usaha sosial Pardede di Jalan Binjai, Medan. Zebulon belum tahu berapa mahasiswa yang ditampung di situ. Ia membantah jumlahnya sampai 500-an. "Paling hanya dua puluh limaan orang," katanya. Zebulon mengatakan, tindakan pemecatan dilakukan untuk menyelamatkan mahasiswa sendiri. Diakuinya, eksekusi itu urusan pengadilan. "Tapi jika tiba saat eksekusi dan mahasiswa ikut tergusur, 'kan tidak lucu. Kayaknya UDA mengusir mahasiswanya sendiri." Menurut dia, tindakannya kepada Jonggi dan kawan-kawan bukan atas anjuran T.D. Pardede. Diakui oleh Zebulon, tindakan itu secara langsung seolah tak ada hubungan akademisnya. "Tapi jika ada mahasiswa yang melakukan pidana di luar, apa UDA harus diam?" Tiap mahasiswa UDA, katanya, harus paham hukum dan tidak melanggarnya. "Nah, jika mereka tinggal di situ, itu 'kan berarti melawan keputusan Mahkamah Agung." Eksekusi tanah, kata Zebulon lebih lanjut, bukan untuk kepentingan Pardede, tapi untuk UDA karena Pardede telah menyerahkan tanah itu kepada Yayasan Perguruan Darma Agung. Rencananya, tanah itu akan dipakai sebagai perluasan UDA, yang kini memiliki 8 fakultas dan dua akademi, dengan 11 ribu mahasiswa. S.P. Laporan Bersihar Lubis (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini