Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Rorschach

.

5 Januari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Rorschach

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kita hidup dalam zaman demokrasi dan superhero. Keduanya berlawanan, tapi mungkin saling bertaut. Kita hidup dalam masa kotak suara bersahaja diantre di TPS dan adegan superseru, supergemuruh, dan superkhayal dalam Infinity Wars di layar TV. Masing-masing kita bicarakan dengan akrab, kadang-kadang sengit, sesekali geli.

Kita tahu demokrasi bukan tempat untuk Batman, Superman, Thanos, Wonder Woman, dan semua makhluk fiktif yang tak lazim dalam kemampuan berkelahi dan model celana itu.

Para superhero memukau. Sementara itu demokrasi, bila telah berjalan “normal”, bisa membosankan. Dalam demokrasi, “super-” menandai anomali. Bahkan sebuah antithesis.

Setelah tak ada lagi revolusi sosialis, setelah sejarah sebagai peristiwa besar berakhir, tindakan heroik sangat jarang terjadi dalam hidup bersama, khususnya dalam politik. Yang ber-edar dan berkuasa: manusia rata-rata. Demokrasi dan kapitalisme membuat banyak hal dalam hidup jadi datar, kecuali bentuk perut.

Pada 1992, Francis Fukuyama menulis buku yang cemerlang meskipun isinya tak selalu bisa diterima: The End of History and the Last Man. Bukan, buku ini bukan hanya sebuah sorak-sorai untuk kemenangan demokrasi-liberal dan kapitalisme. Ada satu paragraf yang membuat kita merenung, agak murung. “Kemenangan” itu, “akhir sejarah” itu, bukan masa yang sepenuhnya menyenangkan:

Akhir sejarah akan merupakan sebuah masa yang menyedihkan. Perjuangan agar diakui, kesediaan mempertaruhkan nyawa untuk sebuah tujuan yang sepenuhnya abstrak, pergulatan sedunia yang menggugah keberanian, kemauan untuk nekad, kesemarakan imajinasi dan idealisme akan digantikan perhitungan ekonomi, usaha memecahkan soal-soal teknis yang tak henti-hentinya, perkara lingkungan dan pemuasan tuntutan konsumen yang makin canggih.

Itu memang suasana di masyarakat manusia yang disebut dalam buku Fukuyama sebagai “the last man”. Kata ini versi Inggris dari yang disebut Nietzsche—dalam karyanya yang termasyhur, Also Sprach Zarathustra—sebagai letzter Mensch.

Dalam terjemahan Indonesia, H.B. Jassin memilih kata “Manusia Purna” untuk pengertian itu—dan saya kira lebih tepat ketimbang terjemahan Inggris. Kata “purna” mengisyaratkan keadaan yang “rampung”, “usai”, tak akan ada peningkatan dan progresi.

Sebab letzter Mensch bisa juga disebut manusia jinak, tak punya lagi kreativitas, kering, dingin, tak punya imajinasi.

Zarathustra, sebuah sosok imajiner yang kadang-kadang seperti nabi, kadang-kadang seperti orang eksentrik, kadang-kadang bicara banyak sebagai si bijak, berkata:

Awas! Akan tiba masanya manusia tidak lagi menembakkan panah hasratnya melampaui manusia dan tali busurnya tidak lagi dapat bergetar!….

Bumi pun sudah jadi kecil dan di atasnya melompat-lompat Manusia Purna, yang membikin kecil segalanya....

Bagi Zarathustra, Manusia Purna—yang tak mengenal cinta, tak terpesona bintang-bintang—adalah “manusia yang paling hina”. Ia gerak surut di tengah pasang naik kehidupan alam semesta. Ia tak mau melampaui apa-apa. “Kami telah temukan bahagia”—kata Manusia Purna.

Mungkin sebab itu datang percobaan, dalam imajinasi dan aksi, untuk lepas dari “masa yang menyedihkan” itu. Dalam imajinasi orang bikin para superhero yang ribut berantem dengan segala superteknologi. Dalam aksi sejumlah anak muda memasuki “perjuangan untuk diakui”, dengan “menembakkan panah hasratnya” melampaui manusia rata-rata: meninggalkan rumah orang tua yang borjuis dan beradab tapi membosankan, dan bergabung dengan gerakan teroris—sebuah “hijrah” yang kadang-kadang biadab.

Tapi yang terjadi sebuah lingkaran setan. Apa yang diubah? Para superhero hanya mengembalikan keadaan yang ter-ancam “yang-lain”, yang “bukan-kita”, yang diwakili tokoh-tokoh yang lebih ganjil lagi. Para pemuda “hijrah” juga demikian, dan membiarkan diri diperbudak dogma.

Tapi ada superhero yang autentik: Rorschach dalam komik Watchmen. Jagoan ini brutal dalam membalas ketidakadilan dan kesewenang-wenangan, tapi ia mati sebelum kisah selesai.

Anak pelacur ini—seperti Bruce Wayne yang kaya raya dan jadi Batman—mengenakan topeng. Tapi maskernya dari kain buruk. Warnanya putih bercoreng hitam seperti tetesan tinta dalam alat tes psikologi yang disebut Rorschach. Hitam-putih itu menandai sikapnya yang membedakan “kami” dan “mereka” dengan mutlak—seperti para teroris atas nama agama. Tapi topeng itu juga mengisyaratkan, sebagaimana alat tes psikologi itu, bahwa ia sesuatu yang artinya hanya tafsiran masing-masing yang melihatnya. Ia, seperti manusia umumnya, sebuah misteri. Tak mudah dihakimi.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus