BEBERAPA hari menjelang Jakarta Informal Meeting (JIM), tersiar berita bahwa pada akhir Agustus 1988 Uni Soviet dan RRC akan menyelenggarakan pertemuan khusus tentang Kamboja. Meskipun berita itu sempat dibantah oleh Kementerian Luar Negeri RRC, rujuk antara RRC dan Uni Soviet selang beberapa tahun belakangan ini akan dikukuhkan dalam suatu konperensi tingkat tinggi Gorbachev-Deng Xiaoping sebelum akhir tahun. Karena itu, tersiarnya berita tentang kemungkinan "pertemuan khusus tentang Kamboja" antara kedua negara besar komunis hanyalah pertanda bahwa rujuk RRC-Uni Soviet tetap giat diusahakan. Sejak naik panggung pada Maret 1985, Gorbachev mengubah perhitungan politik, ekonomi, dan strategi semua negara besar di hampir seluruh pelosok dunia. Di Asia-Pasifik, dampak naiknya Gorbachev di Kremlin sangat dirasakan di Beijing. Cukup banyak alasan mengapa rujuk RRC-Uni Soviet dalam tahun-tahun mendatang boleh jadi akan sama pentingnya dengan KTT Reagan-Gorbachev, terutama bagi negara-negara di Asia-Pasifik. Pertama rujuk RRC-Soviet menandakan ikhtiar Deng Xiaoping dan Gorbachev bahwa untuk sekurang-kurangnya sepuluh tahun mendatang tidak akan terjadi Perang Dunia III". Ungkapan ini berarti bahwa kedua negara komunis akan tetap memusatkan perhatiannya pada pembaruan ekonomi dan politik dalam negeri guna mengatasi kebutuhan-lbutuhan mendesak rakyat Cina dan Soviet akan sandang, pangan, dan papan. Deng dan Gorbachev sama-sama memerlukan iklim internasional yang memungkinkan RRC dan Soviet memetik manfaat sebesar-besarnya dari alih teknologi, investasi, dan perdagangan dengan negara-negara maju, terutama Amerika, Tepang, dan Eropa Barat. Maka, mutlak bagi kedua negara untuk selekas mungkin mengatasi sekalian masalah yang masih mengganjal antara Moskow dan Beijing. Bila perbatasan RRC-Soviet sudah reda dan pasukan Soviet mulai ditarik dari Afghanistan, bukankah kini waktunya masalah Kamboja (dengan kata lain: persaingan RRC-Soviet di kawasan Indocina) diakhiri secepat mungkin? Kedua, pembaruan ekonomi dan politik yang dilakukan Deng sejak 1978 dan Gorbachev sejak 1985 mengundang risiko cukup tinggi terhadap kedudukan partai komunis di kedua negara. Selama hampir 10 tahun membuka diri terhadap teknologi, investasi, dan perdagangan dengan negara-negara Barat dan Jepang, RRC terpaksa menyandarkan dirinya pada kerja sama strategis Amerika-Jepang-RRC. Selama Uni Soviet menjadi ancaman utama RRC. kerja sama strategis seperti itu dapat dibenarkan dalam rangkaian sidang kongres partai dan kongres rakyat nasional. Bagi Gorbachev, rujuk RRC-Uni Soviet erat hubungannya dengan tekadnya agar seluruh kawasan Uni Soviet terlibat dalam usaha pembaruan ekonomi dan politik. Lebih dari 65 persen wilayah Uni Soviet berada di benua Asia. Pantai Timur Soviet langsung dapat melakukan perdagangan, alih teknologi, dan inovasi ekonomi dengan semua negara Pasifik yang tengah menggalakkan perekonomiannya Ringkasnya. Uni Soviet -- seperti diungkap Gorbachev dalam pidato penting di Vladivostok 29 Juli 1986 -- akan menjadi negara Pasifik dalam arti yang seluas-luasnya. Maka, bukanlah kebetulan bahwa menjelang ulang tahun kedua pidato Vladivostok akhir bulan Juli ini, tersiar berita tentang kemungkinan pertemuan konsultasi Soviet-RRC. Sebab pokoknya bukanlah karena mereka ingin agar masalah Kamboja diberi dorongan secara khusus. Sebab yang sebenarnya ialah bahwa Deng dan Gorbachev harus mendapat suatu momentum baru -- sebutlah prakarsa "persaudaraan sosialis" -- agar pembaruan ekonomi dan politik dalam negerinya masing-masing dapat dibenarkan. Deng dan Gorbachev sama-sama menghadapi kelompok konservatif yang ingin mempertahankan kemurnian "jalan soslahs sesuai dengan ajaran Marxisme-Leninisme". Setiap kontrak dengan perusahaan atau pemerintah Amerika, Jerman Barat, Prancis, Jepang, Inggris, dan lain sebagainya -- harus dipertarungkan dengan lawan-lawan politik di Sentral Komite dan Politbiro Salah satu jalan untuk mengempiskan argumen kaum konservatif adalah untuk mengadakan rujuk RRC-Soviet, kalau bisa sama spektakulernya dengan pertemuan Reagan-Gorbachev yang sudah empat kali dilaksanakan itu. Alasan-alasan yang diajukan Gorbachev kepada Deng dan Zhao Ziyang cukup masuk akal Kalau RRC berdagang dengan Amerika dan Jepang masing-masing senilai 7 milyar dolar dan 13 milyar dolar setahun apa salahnya kalau perdagangan RRC-Soviet yang hanya 2,5 milyar setahun digalakkan? Bukankah sistem timbal balik memungkinkan RRC dan Uni Soviet mengatasi masalah-masalah pelik seperti kontrak hukum, perjanjian tentang penggunaan devisa dan konsesi-konsesi "ideologis" lain seperti yang lazimnya diminta orang Amerika, Eropa, dan Jepang? Bukankah barter sepanjang perbatasan RRC-Sovict -- yang 20 tahun lalu sarat dengan pasukan kedua negara -- kini melambangkan "harmoni sosialis" kedua bangsa? Dan bukankah Amerika tetap bersitegang tentang Taiwan, tentang alasan-alasan pembatasan peraturan penggunaan teknologi yang dijual kepada negara-negara komunis ? Peta bumi politik, ekonomi, dan militer Asia Pasifik akan berubah banyak apabila pertemuan konsultasi RRC-Soviet berlangsung di Beijing atau Moskow akhir Agustus nanti. Kalaupun ditunda hingga akhir tahun -- misalnya, pada babak kedua pertemuan reguler RRC-Soviet bulan November nanti -- dampak dari rujuk Moskow-Beijing akan amat besar terhadap sejumlah permasalahan yang kini masuk pemberitaan media massa. Kamboja -- dan seluruh masalah Indocina -- hanyalah salah satu masalah kecil yang perlu di-"selesaikan" oleh Deng dan Gorbachev. Jauh lebih penting dan mendasar ialah adanya perubahan fundamental dalam percaturan politik dan ekonomi Asia-Pasifik menjelang tahun 1990-an. Sepuluh tahun yang lalu, hubungan RRC-Soviet ada dalam titik rendah. Sengketa Indocina dan Afghanistan melambangkan permusuhan kedua negara. Tetapi sepuluh tahun yang lalu belum ada sidang-sidang Kongres Partai Komunis Cina dan Partai Komunis Uni Soviet yang membenarkan jalan pembaruan yang dipelopori Deng dan Gorbachev. Para pemimpin Vietnam menyadari benar makna sesungguhnya dari pergeseran hubungan yang telah terjadi sejak 10 tahun yang lalu. Secara historis dan geo-politik, mereka telah merasakan akibat-akibat pahit dan rujuk RRC-Soviet sejak konperensi Jenewa tahun 1954 ketika Uni Soviet mengorbankan Vietnam Utara demi "penyelesaian" Indocina. Karena itulah kali ini Vietnam terpaksa mau datang ke JIM. Karena itu pulalah, kita di ASEAN, dan terutama di Indonesia, harus cermat mengikuti laju perkembangan serta dampak rujuk RRC-Soviet menjelang akhir tahun ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini