Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mengajar kamboja naik sepeda

Vietnam segera melepas pengaruhnya kalau boneka heng samrin kuat bercokol. kamboja masih larut dalam pertikaian intern. saling berebut mengadakan pemilu.

30 Juli 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LANGIT Kamboja, bagi Sukon Ith, senantiasa gelap dan menakutkan. Negeri itu, menurut anggapannya, tak lagi bisa menlanlkan rasa aman dan kehidupan yang sejahtera. Maka. pemuda lajang dari Phnom Penh ini bertekad kabur sesegera mungkin dari Kamboja, dan menyusul pamannya ke Boston, Amerika. Namun, pantai timur Amerika sungguh begitu jauh bagi kaki Sukon, 25 tahun. Dia harus menumpang bis umum, menempuh jalanan rusak sepanjang 300 km, dari Phnom Penh ke Kompong Som, pelabuhan terbesar di Kamboja. Perjalanan dilanjutkan dengan perahu motor ke Koh Kong, sebuah pelabuhan kecil yang menghadap ke Teluk Siam. Kini Sukon harus melakukan perjalanan panjang. Dengan menumpang perahu motor yang tidak lebih baik, pemuda sebatang kara ini bersama delapan pengungsi lainnya, mulai menyeberang Teluk Siam. Tujuan pelayaran: Indonesia. Setelah berganti perahu tiga kali, dan berlayar belasan hari, 11 Maret lalu, rombongan pengungsi itu didaratkan ke sebuah pantai, dua jam perjalanan dari Jakarta, dengan bis. Kepada Bachtiar Abdullah dari TEMPO, Sukon mengaku harus membayar 4 amblang, sekitar 150 gram, emas kepada "agen perjalanan" yang mengantarkannya ke Jakarta. Emas itu dikumpulkan dari jerih payahnya bertani dan berdagang barang selundupan selama enam tahun. Kini dia berada di rumah penampungan dalam status pengungsi, di Jakarta, atas tanggungan lembaga PPB untuk pengungsi UNHCR. "Saya benci komunis," tutur Sukon. Khmer Merah atau Heng Samrin, bagi Sukon, sama brengseknya. Pengambilalihan kekuasaan dari Khmer Merah ke Heng Samrin, kata Sukon, "Seperti pergantian sopir saja, bisnya tetap sama, komunis. Berkat tivi dan koran di tempat penampungannya, Sukon tahu adanya JIM di Istana Bogor, dan kunjungan Sihanouk kepada Presiden Soeharto. Bagaimana kesudahannya dia tak bisa menduga. Harapannya hanya satu: Sihanouk kembali memimpin Kamboja. Pengamat politik Indocina dari Universitas Indonesia, Dr. Juwono Sudarsono sependapat dengan Sukon. "Sihanouk adalah lambang kompromi," ujarnya. Menurut Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UI ini, bila kelak pemerintahan hasil rujuk nasional terbentuk, Sihanouklah yang paling pantas memimpinnya. Bagi rezim Phnom Penh sekarang, Republik Rakyat Kamboja, terang Sihanaouk lebih disukai katimbang Son Sann dari KPNLF. Begitu pula sebaliknya, bagi Son Sann. Khmer Merah? Tak hanya pihak yang bersengketa yang akan menolak. melainkan dunia internasional pun sulit menerima kehadirannya. Namun, untuk mendudukkan Sihanouk sebagai kepala pemerintahan di Negeri Gajah Putih itu, tentu, memerlukan mekanisme politik yang rumit. Gagasan tentang pola penyelesaian damai yang ditawarkan kepada Kamboja hingga kini masih simpang-siur. Namun, pola tiga langka -- meliputi penarikan pasukan Vietnam, pemilihan umum yang bebas, dan masuknya pasukan internasional penjaga perdamaian -- oleh Juwono dipandang jalan keluar paling fair. Pola ini telah ditawarkan oleh ASEAN kepada Hanoi dan rezim Phnom Penh selama sepuluh tahun terakhir ini. Tapi Hanoi dan PRK, tempo hari, menampik gagasan itu. Bagi presiden PRK, Heng Samrin, gagasan itu sama saja memberi peluang kepada pihak asing untuk ikut campur urusan dalam negeri Kamboja. Pemilihan umum itu, menurut Juwono, memang bisa ditafsirkan sebagai gugatan terhadap keabsahan pemerintahan Heng Samrin. Lagi pula, dengan penyelenggaraan pemilu, terkesan seolah-olah rakyat Kamboja tak pernah diberi kesempatan untuk menyatakan kehendaknya. Bagi rezim Phnom Penh, kesan semacam itu tak perlu diberi kesempatan untuk muncul. Masuknya tentara internasional tentu dipandang oleh PRK sebagai tindakan melangkahi kedaulatan militernya. Sedangkan penarikan pasukan Vietnam juga tak hendak buru-buru dilakukan, sebab salah-salah mengundang kembalinya dominasi Khmer Merah. Singkat kata, gagasan itu ditolak. Namun, belakangan, atas desakan Soviet, Vietnam mulai menarik pasukannya. Tindakan itu tentu tak akan dilakukan tanpa kesediaan Cina untuk mengurangi bantuan militernya kepada Khmer Merah. Jadi, kendati terjadi pengurangan jumlah, perimbangan kekuatan antara Khmer Merah dan tentara Vietnam tetap terjaga. Tak ada peluang bagi Pol Pot kembali berkuasa. Agaknya, soal memudikkan pasukan Vietnam itu telah mendapatkan jalan yang lempang. Gejala baik ini pula yang mendorong terselenggaranya JIM. Namun, soal pemilu tetap saja tak sederhana. Kalaupun diselenggarakan di bawah Heng Samrin, tentu kelompok lain tak rela. Jalan keluarnya, pemilu diawasi oleh pasukan internasional digabung dengan serdadu Vietnam yang masih tersisa di Kamboja. Di bawah pengawasan pasukan gabungan itu, "Kepentingan Vietnam dan Heng Samrim setengah diamankan, tapi kepentingan dunia internasional juga dilayani," ujar Juwono. Namun, soal siapa yang bakal memenangkan pentas pemilu sungguh suatu hal yang sulit diduga. Tapi pengamat politik dari CSIS Jakarta, Jusuf Wanandi, yakin bahwa Sihanouk yang bakal mendapatkan dukungan terbesar. "Bagi rakyat Kamboja dia satu-satunya pilihan," ujarnya. Sihanouk sebagai tokoh karismatik, kata Jusuf Wanandi, punya pesona luar biasa bagi rakyat kelas bawah di Kamboja. Namun rakyat kelas menengah ke atas boleh jadi punya pilihan lain. Tapi jelas, kelas menengah dan atas itu kini kosong di Kamboja, setelah dibantai Pol Pot semasa dia berkuasa. Penentuan waktu dan pelaksana pemilu agaknya bakal menjadi titik rawan pada setiap pembicaraan. Heng Samrin dan Hun Sen tentu tak akan gampang mempersilakan Sihanaouk membentuk pemerintahan sementara di Phnom Penh, dan menyelenggarakan pemilu. Justru Heng Samrin, menurut taksiran Jusuf, bakal mendesak semua pihak mengakui PRK sebagai pemerintihan sementara, yang berhak menyelenggarakan pemilu. Harap dimaklumi, pihak mana pun yang menyelenggarakan pemilu akan punya peluang untuk mempengaruhi jalannya pemilihan. Bila pemerintahan sementara di tangan Heng Samrin, mudah ditebak, kelompok Khmer Merah dan Son Sann (KPNLF) bakal babak belur dalam pemilu. Rezim Phnom Penh yang anti sekali terhadap Son Sann, yang dianggap terlalu Barat, dan Khmer Merah, yang berkiblat ke Cina, boleh jadi akan tersingkir dari percaturan politik meski kekuatan militernya masih harus tetap diperhitungkan. Khmer Merah boleh tak puas. Namun jika hubungan Cina-Uni Soviet makin dekat, boleh jadi kekalahan Khmer Merah dalam pemilu tak akan mengundang campur tangan Cina lagi. Kekariban dengan Rusia tentu lebih penting dibanding soal Khmer Merah. Kelanjutannya, pengaruh Khmer Merah dan Son Sann akan dikempiskan. Kalaupun Khmer Merah kembali melakukan perlawanan gerilya di hutan, serdadu Vietnam dan pengikut Heng Samrin tentu akan menggasaknya. Rezim Phnom Penh cukup berdalih. "Pembersihan itu adalah urusan dalam negeri." Barangkali Cina bisa lepas tangan tanpa harus kehilangan muka. Ini, salah satu skenario yang belum pasti terjadi. Yang menjadi pertanyaan: Apakah Kamboja masa depan akan terus berada di bawah pengaruh Vietnam ? Demi keamanannya, bisa dimengerti kalau Vietnam ingin melanggengkan pengaruhnya di Kamboja, setidaknya mencegah agar negeri itu tidak anti-Vietnam. Ke arah mana perkembangan akan mengarah, tentu saat ini masih sulit menduganya. Yang jelas, saat ini Vietnam merasa letih dengan keterlibatannya di Kamboja. Apakah ini berarti, PRK akan dilepasnya? Duta besar Hanoi untuk Phnom Penh, Ngo Dien, mengibaratkan keterlibatan Vietnam di Kamboja seperti mengajari orang naik sepeda: memegang bagian belakang dan menjaga keseimbangannya. Sementara ini, rezim Heng Samrin masih dianggap belum cukup kuat dilepas menggenjot sendirian. Jalan keluarnya, ya, pegangan itu segera dilepaskan setelah sepeda tak lagi oleng. "Anda baru yakin bahwa Anda betul-betul bisa mengendarai sepeda setelah pegangan itu dilepaskan,"ujarnya tiga pekan lalu. Putut Tri Husodo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus