Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Nyanyian merdu di tengah haru-biru

Norodom sihanouk masih dielukan rakyatnya. mereka khawatir rezim pol pot mengulang kekejamannya. pasca hengkangnya vietnam, hun sen mempersenjatai penduduk sipil guna menangkal ulah khmer merah.

30 Juli 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU hari, ribuan penduduk Phnom Penh mendadak menghambur ke jalan-jalan raya. Khawatir ada serbuan musuh? Bukan. Mereka mendengar kabar angin, konon Pangeran Sihanouk hari itu akan tiba di Phnom Penh dan mereka ingin menyambutnya. Cerita ini dilaporkan beberapa wartawan asing yang mendengarnya sewaktu beberapa pekan lalu diundang mengunjungi Kamboja. Belum tentu cerita ini benar, memang. Boleh jadi kabar burung itu sengaja ditiupkan oleh pemerintah Republik Rakyat Kamboja (PRK), untuk mengetes sikap rakyat terhadap Sihanouk. Namun, bagaimanapun, cerita itu menunjukkan bahwa Sihanouk masih tetap populer di antara rakyat Kamboja. Beberapa penduduk bercerita, setelah belasan tahun terus diharu-biru perang dan penderitaan, kehidupan damai semasa Sihanouk berkuasa seakan merupakan nyanyian merdu buat mereka. Apalagi pemerintah PRK tampaknya sengaja "mempersiapkan diri" untuk menyambut kedatangan Sihanouk. Istana bekas kediaman Sihanouk telah beberapa bulan ini diperbaiki. PM Hun Sen dalam duakali pertemuannya dengan Sihanouk di Paris pada akhir 1987 dan awal 1987 memang telah menawarkan jabatan kepala negara buat sang pangeran. Selain cerita tentang "kepulangan" Sihanouk, topik yang menjadi pembicaraan ramai di Kamboja saat ini adalah: apa yang bakal terjadi setelah tentara Vietnam pulang kampung seluruhnya dari Kamboja pada 1990. Meski kebanyakan masyarakat Kamboja kurang suka pada orang Vietnam, tampaknya mereka lebih takut pada Khmer Merah yang dipimpin Pol Pot. Ada kekhawatiran di Phnom Penh bahwa dengan 35.000 gerilyawan bersenjata lengkap, anak buah Pol Pot itu akan bisa kembali berkuasa di Kamboja. Dengan pengalaman tempur dan peralatan yang mereka miliki, Khmer Merah dianggap akan mampu memporak-porandakan pasukan Hun Sen yang berjumlah paling banyak 30.000. Rezim Republik Rakyat Kamboja (PRK) yang kini berkuasa bukan tak berusaha merekrut tentara lebih banyak. Tapi, seperti dikatakan seorang diplomat Uni Soviet di Phnom Penh, Hun Sen kesulitan mendapatkan tentara. "Tentara nasionalnya ternyata banyak yang minggat," ujar diplomat itu. Lebih penting dari itu, kesulitan ekonomi yang mengimpit negeri itu merupakan hambatan dalam memperbesar angkatan bersenjata. Maka, sejak tahun lalu yang dilakukan ialah melatih dan mempersenjatai petani. Latihan dilakukan cuma dua pekan setiap tahun yaitu pada tenggang waktu setelah selesai panen dan sebelum tiba masa turun ke sawah. Membangun sistem pertahanan sipil seperti ini memang lebih realistis. Lebih mudah bagi pemerintah meyakinkan para petani untuk memegang senjata dan menjaga desanya masing-masing dari ancaman Khmer Merah. Persoalannya tinggal bagaimana menyeleksi calon hansip itu agar jangan sampai kebobolan pengikut Pol Pot. Karena itu, menurut Muth Sath, Wakil Komandan Daerah Militer Kandal, kepada Yuli Ismartono dari TEMPO, "Syarat pertama bagi yang berminat jadi hansip itu mereka harus membenci Pol Pot. Setelah itu baru syarat bertubuh sehat dan tidak terlibat Khmer Merah." Tak jelas berapa banyak jumlah hansip bersenjata seperti ini di Kamboja. Tapi di setiap desa pasti ada 30 sampai 40 hansip. Di Provinsi Kompong Chnang, kawasan yang paling sering diserang pasukan Khmer Merah, terdapat 5.000 hansip. Jumlah itu masih terus akan ditingkatkan. Di beberapa daerah tak lagi terlihat militer berjaga-jaga -- apalagi tentara Vietnam. Peranan mereka sudah digantikan para hansip, seperti terlihat di sebuah desa di Distrik Lovea Em, Provinsi Kandal, belasan kilometer dari Phnom Penh. Padahal, distrik yang dihuni 9.500 keluarga dengan sejumlah sekolah, tiga rumah sakit, delapan perpustakaan, dan 41 grup kesenian terhitung strategis. "Ini jalan menuju ibu kota tapi di sini Anda tak menemukan militer dan tentara Vietnam. Hanya ada hansip," kata Pech Leanghi, wakil ketua komite partai distrik tersebut. Cuma jangan tanya persenjataan mereka. Betul-betul compang-camping. Di Kompong Chnang ada hansip menyandang AR 15, senapan buatan Amerika Serikat peninggalan rezim Lon Nol. Sedangkan di Kandal, seorang menyandang CKC buatan Cekoslovakia dan temannya memegang AK 47 buatan Rusia. Peluru dibagikan pemerintah daerah secara hemat. Tiap hansip diberi jatah cuma 50 peluru per tahun. Keadaan ini tentu menyedihkan. Dengan persenjataan yang tidak satu standar, penjatahan amunisi yang terbatas, serta suku cadang peralatan yang sulit diperoleh karena banyak jenis senjata tua itu sudah tak lagi diproduksikan, ketangguhan barisan hansip itu untuk menghadapi pertempuran memang meragukan. "Masalah senjata dan amunisi ini bagi para hansip itu memang merupakan masalah terbesar," kata diplomat Rusia tadi. Ada cerita menarik. Di beberapa daerah pertanian yang relatif makmur, para hansip yang petani itu membeli senapan dan peluru dari gerilyawan Khmer Merah. Anak buah Pol Pot memang tak pernah kekurangan senjata tapi jepitan ketat yang dilakukan tentara Vietnam membuat mereka selalu kekurangan makanan. Akibatnya, tentara Pol Pot rajin menyerang desa-desa yang memiliki banyak persediaan beras. Biasanya setelah menyita pangan penduduk, mereka akan kabur tanpa menunggu kedatangan pasukan Vietnam atau tentara Hun Sen. Gerilyawan Khmer Merah yang secara formal dipimpin Khieu Samphan selama ini dikabarkan menerima suplai senjata dari RRC. Senjata itu dimasukkan melalui Sattahip, pelabuhan angkatan laut Muangthai. Dari sana barang-barang itu diangkut dengan truk menempuh jarak sekitar 200 km ke kamp Ta Luan di Provinsi Trat dan Bo Rai, Provinsi Chantaburi. Kedua kamp inilah konon yang dijadikan Pol Pot sebagai depot logistik dan persenjataannya. Dari sini senjata didistribusikan ke kamp lainnya. Sebagai pimpinan (de facto) Khmer Merah, Pol Pot dikabarkan berpindah-pindah dari satu kamp ke kamp yang lain di bagian utara perbatasan Muangthai-Kamboja. Kamp pasukan Pol Pot konon dibangun tak jauh dari kamp pengungsi yang berlokasi di Muangthai, di pinggir perbatasan Kamboja. Ini memang disengaja agar anak-istri tentaranya bisa ditumpangkan di tempat-tempat pengungsi itu. Selam itu, mereka mudah merekrut tenaga untuk dipakai mendistribusikan senjata ke berbagai pemusatan pasukannya. Dari pengakuan gerilyawan Khmer Merah yang tertangkap, menyerahkan diri, atau membelot ke pihak Hun Sen, diketahui belakangan ada semacam perintah kepada gerilyawan Khmer Merah untuk menghindarkan pertempuran dengan pasukan Phnom Penh atau Vietnam. Senjata mereka pun harus disimpan di lokasi tertentu. Banyak anggota pasukan yang diperintahkan menyusup ke desa-desa menjadi petani. Tapi semua mesti siap bergerak begitu datang saat yang mereka tunggu: enyahnya tentara Vietnam. Boleh jadi ini memang taktik Khmer Merah: mengubur diri, untuk kemudian bangkit lagi. Namun, bisa juga ini cuma cerita karangan pihak intel. Nyatanya, rezim Hun Sen setiap saat tetap menerima Khmer Merah yang menyerah. Kata Nget Champo seorang pejabat pemerintahan Phnom Penh yang mengurusi gerilyawan yang kembali ke pangkuan republik, "Kami tidak menindak mereka yang menyerah." Malah bila sang gerilyawan menyerahkan senjata, ia dibayar riel 2.100 (sekitar Rp 33.000). Kemudian mereka dibolehkan kembali ke desanya setelah ditatar mengenai doktrin rezim yang berkuasa. Mereka juga dibekali kelambu, selimut, dua potong kemeja, dan beras secukupnya. Selama berkuasa sembilan tahun, partai komunis Kamboja pimpinan Heng Samrin sudah melebarkan sayap ke daerah. Redaktur majalah berita mingguan Kampucha di Phnom Penh, Khieu Kanharith, mengatakan, "Pemerintah sudah berhasil memantapkan struktur politik partai." Misalnya kini 78% desa-desa yang ada di Kamboja sudah memiliki cabang partai dan sebelum penarikan seluruh tentara Vietnam, 1990, diprogramkan semua desa sudah memiliki cabang partai komunis. "Dulu partai kami hanya untuk kader-kader, sekarang lebih bersifat partai massa," ujar Kanharith. Kader partai ditanam di semua organisasi massa seperti ormas pemuda dan wanita. Rezim ini belajar dari taktik yang digunakan Pol Pot belasan tahun yang lampau ketika menggercgoti pemerintahan Lon Nol dengan menyusupkan kadernya di berbagai organisasi masyarakat. Di bidang-bidang lain juga diambil banyak kebijaksanaan baru yang lebih realistis, termasuk upaya menata perekonomian. Tapi hubungan dagang masih lebih banyak dengan Vietnam, Laos, dan negara-negara Eropa Timur seperti Hungaria dan Cekoslovakia. Kamboja mengekspor kayu, karet, dan produk pertanian lainnya, dan mengimpor mesin-mesin. Pada 1986 nilai perdagangannya dengan Polandia mencapai 2,1 juta rubel. Taraf kehidupan penduduk juga masih rendah. Pendapatan per kapitanya di bawah US$ 130/tahun alias di bawah garis kemiskinan hampir sama dengan Laos dan Vietnam. Angka itu jauh di bawah Indonesia, yang mencapai US$ 500/tahun. Apalagi Singapura yang US$ 7.550/tahun. Dulu Kamboja adalah negeri pertanian subur yang dibelah oleh Sungai Mekong dan memiliki 1,7 juta ha sawah. Kini produksi beras negeri ini cuma 1,2 ton per hektar -- agaknya termasuk paling rendah di Asia. Mungkinkah perdamaian yang didambakan semua pihak di Kamboja akan cukup langgeng, hingga mereka bisa membangun dan mengangkat tingkat hidupnya? Impian itu pastilah ada di benak semua orang Kamboja. Dan JIM tampaknya merupakan satu langkah maju mendekati impian itu. Amran Nasution, Yuli Ismartono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus