Saya tertarik pada berita memperdagangkan surat cerai palsu (Kriminalitas, TEMPO, 22 Mei 1993). Yang ingin saya komentari adalah pernyataan Bung Adji Sutarja dan Bung Ohan Suherman. 1. Motivasi Sdr. Wartama menceraikan istrinya, Sdri. Qonaah, menggunakan akta cerai palsu ada beberapa kemungkinan, antara lain: a. Sdr. Wartama ingin menikahi pacarnya, Sdri. Rami. Ini tentunya dapat dilakukan dengan terlebih dahulu minta izin istrinya, apabila Sdr. Wartama pegawai negeri. Karena, kalau nekat, dia akan terkena sanksi PP 10. Tapi izin itu dapat dipastikan tidak mungkin diperoleh Sdr. Wartama. Namun, bisa saja Sdr. Wartama menikahi Sdri. Rami di bawah tangan sesuai dengan syariat dan rukun nikah dalam Islam. Islam memperbolehkan seorang suami beristri lebih dari satu dengan syarat yang cukup berat: harus dapat berbuat seadil-adilnya dalam segala hal. Apabila sang suami tidak sanggup memenuhi syarat itu, Allah lebih suka kepada mereka yang beristri satu. b. Bila Sdr. Wartama tidak suka terhadap istrinya, Sdri. Qonaah barangkali karena ketidakcocokan jangankan menggunakan akta cerai palsu, mengatakan ''Aku ceraikan kau'' saja kepada istrinya, jatuhlah talak, dan mereka diharamkan berhubungan sebagai suami-istri. 2. Penjelasan Sdr. Adji Sutarja yang menyatakan bahwa akibat adanya akta cerai palsu, selain perceraiannya tidak sah, perkawinan berikutnya batal demi hukum, memang benar. Karena itu, apabila perkawinan itu diteruskan, seperti tambahan penjelasan dari Bung Ohan Suherman, itu sama saja dengan membenarkan perzinaan. Hal ini penting dijaga agar tidak mengacaukan pertalian perwalian (hukum negara). Tapi pernyataan Bung Ohan Suherman perlu diberi penjelasan. Apabila perkawinan Sdr. Wartama adalah pernikahan di bawah tangan dalam arti memenuhi syarat dan rukun nikahnya, ya, sah-sah saja. Sebaliknya, apabila Sdr. Wartama telah mengucapkan kalimat cerai kepada istrinya (mengacu ke nomor 1-b di atas Red.), meski surat cerai palsu dinyatakan batal, seumpamanya ia melakukan hubungan suami-istri dengan Sdri. Qonaah, itu dapat dikategorikan zina. 3. Bung Ohan seyogianya membuat suatu pernyataan proporsional, dengan mengacu ke beberapa sudut pandang. Kita hidup di negara hukum, maka sepatutnya/seharusnyalah kita tunduk dan taat pada hukum yang berlaku di negara tercinta ini, agar aturan mainnya dapat berjalan dengan baik dan kita pun dapat hidup tertib, aman, dan sentosa dunia akhirat. 4. Untuk kasus palsu-memalsu, sudah sewajarnyalah dilakukan pengusutan siapa pelaku sebenarnya, dan pelakunya dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku, agar tujuan butir 3 di atas dapat dicapai. ENDI SUHENDRI Medan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini