SAWITRI, dengan topeng yang menutupi wajahnya, tiba pada gerakan pasang kuda-kuda yang biasa disebut gerak naga seser. Inilah gerakan dalam Tari Topeng Cirebon yang berat dan sulit. Tapi penari itu, dalam sebuah festival tari topeng di Yogyakarta pekan lalu, melakukannya dengan indah dan pas. Yang lebih mengagumkan, Sawitri banyak yang telah tahu usianya sudah 67 tahun. Inilah festival yang berangkat dari keprihatinan bahwa tari topeng makin dijauhi penonton. Padahal, Tari Topeng Cirebon, atau persisnya Tari Topeng Losari, misalnya, konon lahir dari dalam masyarakat sendiri. Lalu kenapa kini dijauhi? Menurut Sawitri, jumlah penonton tari topeng makin merosot dibandingkan dengan tahun 1980-an. ''Apa artinya tarian tanpa penonton?'' kata seniwati ini. Menurut Sawitri, kini tari topeng hanya tampil jika ada festival kesenian seperti di Yogyakarta itu atau pada acara hajatan perkawinan di Cirebon. Dan yang disebut terakhir itu pun semakin berkurang karena masyarakat pedesaan lebih suka menyewa grup musik dangdut atau layar tancap. Dengan kenyataan seperti itu, bukan dicari-cari bila para penari topeng cemas bahwa suatu waktu tari ini bakal punah. ''Kami kalah berkompetisi dengan seni tradisional lainnya dan dengan seni modern,'' kata Gunardi Hadi Parayitno, pemimpin kelompok Tari Topeng Krantil-Bantul, Yogyakarta. Begitu kata penarinya, lain lagi pendapat para pakarnya, meski sama-sama cemas. Profesor Soedarsono, guru besar tari Institut Seni Indonesia, mencoba melihat masa rawan tari topeng ini dari hakikat dan sejarah tari topeng itu sendiri. Tari topeng, kata Soedarsono, berasal dari tari-tari sakral sejak zaman prasejarah. Dalam tari sakral itu, manusia menyembunyikan wajahnya bagian tubuh yang dianggap memiliki kekuatan untuk bertemu dengan roh nenek moyang. Tak jelas disebutkan, tapi tampaknya kaitan antara tari dan upacara itulah yang menyebabkan tari topeng pelan-pelan kehilangan penonton. Dulu penonton lebih melihat upacaranya daripada tarinya. Begitu upacara itu tak lagi berarti, hakikat tari topeng bergeser, dan masyarakat kini pun kehilangan antusiasnya terhadap jenis kesenian ini. Coba lihat Drama Topeng Berutuk, salah satu drama topeng yang hingga kini masih bertahan menjadi bagian dari ritual masyarakat di Desa Trunyan, Bali. Drama ini adalah lambang kekuatan hubungan laki-laki (Betara Berutuk) dengan wanita (permaisurinya) yang akan menghasilkan kesuburan bagi Desa Trunyan. Ritual Drama Topeng Berutuk, menurut Soedarsono, hanya diselenggarakan sehari, yakni pada saat purnama bulan keempat. Drama itu disajikan tanpa dialog, tanpa musik, dan tanpa gerakan rumit. Artinya, menikmati pertunjukan seperti itu tanpa terlibat dalam ritualnya tak mudah. Dengan sebab yang berbeda karena hakikatnya pun agak lain, tapi akibatnya sama, adalah Tari Topeng Yogyakarta. Secara teknis, topeng yang dikenakan di Yogyakarta tidak praktis. ''Topeng yang menutup rapat seluruh wajah sangat mengganggu penari untuk berdialog,'' tulis Soedarsono dalam makalahnya. ''... lubang mata yang sangat kecil sulit untuk menjaga keseimbangan penari yang banyak melakukan angkat kaki dan tungkai.'' Selain mengganggu keseimbangan, topeng itu pun membuat penari susah bernapas. Padahal, tari topeng butuh waktu berjam-jam. Itu menyebabkan tari ini susah dikembangkan. Selain itu, Tari Topeng Yogyakarta, menurut Soedarsono, terjepit antara selera tari keraton yang halus dan tari rakyat yang relatif bebas. Jadi, ke atas ditolak, ke bawah tak ditanggapi. Maka, pelan-pelan tari ini kehilangan penonton juga. Selain alasan spesifik itu, tentu ada sebab umum yang menyebabkan seni tari yang tak sekadar menyuguhkan hiburan ini dijauhi penonton. Itulah kehidupan masyarakat yang mengalami perubahan, yang mempengaruhi cara berpikir dan selera. Bergesernya orientasi masyarakat pada ekonomi, disadari atau tidak, menyebabkan orang menilai segala sesuatu menurut nilai- nilai fisiknya. Sesuatu yang memberikan pengalaman spritual, apalagi harus dihayati secara ''membuang waktu'', merosot peminatnya ketika zaman memasang slogan ''waktu adalah uang''. Seni tari yang mengekspresikan kehidupan meminta penonton mengorbankan waktu dan bersedia diantarkan ke suatu pengalaman yang manfaatnya tak langsung tampak. Tak ada rumus pasti untuk mengangkat kembali tari topeng agar digemari. Bila masalahnya tari ini mandek tak berkembang, bisa jadi dengan melihat konsep tari ini lewat konsep seni modern, akan lahir karya topeng yang bisa berdialog dengan masa kini. Hanya saja, apa pun pemecahan itu, kesenian yang tak langsung memberikan hiburan memang kurang laku. Bagaimanapun, tari topeng atau bukan, ada seni yang memang terlalu riskan jika dibiarkan bernapas sendiri. Dibutuhkan para pencinta seni, yang sanggup menyediakan dana cukup. Masih adakah maesenas-maesenas yang diharapkan ini? Leila S. Chudori (Jakarta) dan R. Fadjri (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini