SEBUAH bentuk telur raksasa dari kayu tanpa polesan apa pun tersaji, begitu pemirsa masuk ruang pameran. Kemudian, di sudut lain tampak bentuk mirip sepotong perahu yang diberdirikan, dan di ruang perahu dipasang rusuk-rusuk kayu, dan diberi judul Perempuan Tidak Setia juga seluruhnya kayu polos. Di dinding, tergantung lukisan, hitam-putih. Itulah pameran tunggal Anusapati, 36 tahun, perupa kelahiran Solo, yang berusaha membebaskan bentuk, volume, warna, bidang, dan garis dari fungsi deskriptif. Bentuk dan volume pada karya patungnya bukan menjadi bahasa untuk menggambarkan sesuatu, tapi untuk menjadikan sesuatu itu sendiri. Kalaupun kemudian karya-karya itu membangkitkan asosiasi pada sesuatu, itu karena pematungnya, dengan sengaja ataupun tidak, mengambil bentuk objek yang dikenal umum. Melihat kedelapan patung yang dipamerkan di Galeri C-Line, Jakarta Selatan, bentuk objek itu ada yang mengasosiasikan pada bentuk kentongan, perahu, juga rumah burung dara, yang dalam perjalanan menjadi karya patung bentuk itu terproses oleh pengalaman-pengalaman pribadinya. Selain Perempuan Tidak Setia, Tribute to Bosnia Herzegovina adalah karya yang mengambil bentuk perahu, atau lebih tepat lagi bentuk kayu untuk bermian congklak. Cuma, kayu congklak ini pada permukaannya tak dicekungi separuh bola, melainkan beberapa cekungan serupa cetakan negatif dengan bentuk yang berbeda-beda. Ada bentuk bintang segi lima, jantung hati, salib, serta bentuk lubang kunci. Dan di samping karya ini, ''hasil'' cetakan dijajarkan. Pemirsa bisa saja lalu berasosiasi bahwa ini simbol-simbol mereka yang bertikai di Bosnia sana. Atau pemirsa yang lain sekadar terkesan oleh permainan bentuk yang tidak logis. Dan bisa juga pemirsa yang lain lagi melihatnya sebagai parodi dari bentuk kayu congklak: orang di Bosnia hanyalah biji-biji congklak yang kalah menangnya berada di tangan sang pemain, entah siapa. Memang, karya seni bisa dan sah diinterpretasikan secara berbeda-beda. Pada karya Anusapati, karena ia memang sengaja menanggalkan fungsi bentuk, bermacam kesan atau imajinasi itu menjadi hal yang pokok. Ilir-ilir adalah contoh karya lain yang berhasil. Ini berupa sempalan kayu papan yang tidak teratur dengan permukaan berlubang, diberdiritegakkan dengan bagian atasnya dibuat bentuk lengkungan. Pada karya ini kesan bisa sangat bermacam- macam: dari bentuk capit kepiting, paruh burung, sampai bentuk pohon tertiup angin. Dan itulah yang menjadikan kayu-kayu itu menjadi seni. Bila bentuk kemudian terlalu jelas, tak memberikan peluang bermacam imaji, rasanya karya itu tak begitu berhasil. Contohnya adalah karya seperti bentuk telur raksasa tadi. Bentuk di situ tak menjadi ''sesuatu itu sendiri'', tapi hanya bentuk telur, meski raksasa. Bandingkan, misalnya, dengan Time is Running Out. Ini berupa bongkahan kayu yang berbaring polos, disangga duri-duri yang mengelilingi kedua ujungnya, dan kepingan-kepingan kayu sisa pahatan diserakkan teratur di bawahnya. Boleh dikata, karya ini tak mengingatkan pada bentuk apa pun, dan di situlah justru kekuatan Anusapati. Yang kemudian terpancar dari karya ini adalah imaji-imaji. Itu bisa tentang kefanaan, pada akhirnya kayu akan berkeping-keping dan musnah. Dengan kata lain, karya-karya Anusapati, yang pernah belajar dua tahun di New York, Amerika Serikat, yang berhasil memberikan kesan atau imaji demikian bebasnya, menjadi sebuah mikrokosmos yang memberikan peluang kepada kita untuk sebuah penjelajahan pengalaman estetika tanpa jemu. Sebuah pengalaman yang memperkaya hidup. Sayang, hal ini tidak ada pada kelima karya lukisnya. Barangkali karya dua dimensional kurang memberi ruang untuk memadukan bekal dasar dan pengalaman hidupnya. S. Malela Mahargasarie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini