Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sumur resapan hanya salah satu cara dalam menangani banjir.
Sumur resapan tidak efektif dalam menangani banjir karena daya tampungnya kecil.
Pemerintah DKI Jakarta sebaiknya berfokus pada pemulihan sungai dan situ.
GUBERNUR DKI Jakarta Anies Baswedan harus menimbang ulang rencana pembangunan satu juta sumur resapan yang bernilai miliaran rupiah itu. Rencana itu bisa salah arah dan salah tempat. Pembangunan hampir tiga ribu sumur di wilayah Jakarta saja terbukti tak banyak gunanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sumur resapan hanya salah satu cara dalam menangani banjir, tapi bukan yang utama. Pemerintah tidak bisa mengandalkan jutaan sumur resapan untuk menampung curahan air hujan tinggi karena kapasitasnya sangatlah kecil. Misalkan satu juta sumur resapan Jakarta dapat menampung sekitar dua miliar liter air. Bila curah hujannya merata 1 milimeter, air yang tumpah sekitar 661,5 juta liter. Dengan demikian, semua sumur resapan hanya mampu menampung curah hujan hingga 3 milimeter. Padahal curah hujan terendah di DKI tahun ini saja mencapai 12,1 milimeter dan tertinggi seribu milimeter lebih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasil pemeriksaan sumur resapan di Australia, Kanada, dan Selandia Baru menunjukkan bahwa sumur itu rawan rusak bila dilanda banjir atau mengalami perubahan geologis tertentu. Air yang terserap juga dapat terkontaminasi berbagai zat berbahaya karena masuk tanpa tapis lapisan-lapisan tanah alami. Karena itu, pemerintah ketiga negara mengatur agar air yang masuk tetap tersaring dulu. Sumur resapan juga harus dibersihkan secara rutin. Pemeliharaan itu terbilang sulit dan umumnya hanya dapat dicapai dengan menggalinya kembali atau memompanya. Kalau negara maju saja kerepotan, bagaimana pemerintah DKI dapat membersihkan satu juta sumur resapan?
Lokasi sumur resapan juga harus tepat agar efektif. Laporan tim investigasi sumur resapan Selandia Baru menggariskan bahwa pembangunan sumur itu harus menimbang jenis tanah yang cocok untuk menampung air, bukan sembarang lahan “menganggur”. Tanah Jakarta, khususnya kawasan pusat dan utara, sudah jenuh untuk dapat menyerap air hujan sehingga sumur resapan tidak lagi efektif buat menampung air. Lokasi yang mungkin masih efektif adalah daerah yang lebih tinggi, seperti kawasan selatan Jakarta.
Lokasi sumur resapan juga harus cukup dekat dengan badan air, seperti sungai atau danau, serta cukup luas untuk memungkinkan penyerapan air secara maksimal. Tapi pemerintah Jakarta malah membangunnya di pekarangan kantor pemerintah, kolong jalan tol, dan pinggir trotoar.
Laporan The Water Dialogues, forum antarpemerintah untuk mengatasi masalah air global, menyatakan bahwa sekitar 90 persen air hujan di Indonesia mengalir ke sungai, situ, dan sejenisnya. Sisanya baru terserap ke tanah.
Daripada buang-buang anggaran untuk membangun sejuta sumur resapan, pemerintah DKI lebih baik berfokus pada normalisasi sungai dan sejenisnya yang memang mampu menampung limpahan air hujan dalam jumlah besar.
Banjir Jakarta bukan hanya terjadi karena curah hujan tinggi, tapi juga limpahan air di sungai-sungai dari kawasan Jawa Barat. Situ-situ di Jakarta dan sekitarnya, yang dulu berfungsi menampung air hujan, juga sudah berkurang drastis, dari sekitar 600 situ pada 1960-an menjadi 200 buah saja. Pemerintah DKI dan sekitarnya harus memulihkan situ-situ dan menambah ruang terbuka hijau agar air hujan tidak langsung menggelontor ke Ibu Kota. Bila tidak dilakukan segera, prediksi bahwa Jakarta akan tenggelam dalam beberapa dekade lagi akan benar-benar terjadi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo