Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Maraknya pelecehan seksual di pesantren mendesak menjadikan lembaga sekolah berbasis agama ini lebih terbuka.
Lembaga berbasis agama seharusnya lebih ketat pengawasannya.
Untuk mengembalikan pesantren sebagai lembaga pendidikan kredibel.
KEKERASAN seksual di Pesantren Manarul Huda dan Madani Boarding School, Kota Bandung, tak boleh terulang lagi. Kementerian Agama harus membuat aturan ketat untuk mencegah terulangnya kekerasan seksual di pesantren dan sekolah agama berasrama lain. Pesantren harus menjadi lembaga pendidikan terbuka yang tidak lagi dikelola sekehendak hati pemiliknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Skala kejahatan seksual yang terjadi di Bandung memang amat membelalakkan mata. Selama bertahun-tahun, pemilik dua sekolah tersebut, Herry Wirawan, menyetubuhi belasan anak didiknya. Sebagian di antaranya hamil, bahkan ada yang sampai memiliki dua anak. Herry juga mengeksploitasi murid-muridnya dengan menjadikan mereka sebagai kuli dan “menjual” mereka dalam berbagai proposal pencarian dana. Ia pun memanipulasi korbannya hingga rela melakukan apa pun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kekerasan seksual di Pesantren Manarul Huda dan Madani Boarding School bukanlah satu-satunya. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan mencatat, kejahatan seksual di pesantren menjadi yang terbanyak kedua setelah kampus pada 2015-2020. Sebagian pelaku adalah pemilik atau pengasuh pesantren.
Kondisi itu memperlihatkan kurangnya pengawasan terhadap pesantren di Indonesia yang jumlahnya hampir 27 ribu. Sebagai langkah awal, Kementerian Agama perlu meninjau kembali proses pemberian izin pendirian pesantren dengan menerapkan standar pendirian yang lebih ketat. Selama ini, ada indikasi izin pendirian pesantren terlalu mudah diterbitkan. Selama diajukan oleh lembaga berbasis agama atau tokoh agama yang dikenal punya pengikut, izin bisa terbit dengan mudah.
Perbaikan pengawasan ini amat penting karena banyak warga cenderung percaya begitu saja pada niat baik pengelola pesantren. Ulama pemilik pesantren kerap dipandang sebagai penyelamat untuk anak-anak keluarga miskin yang tak tertampung di institusi pendidikan lain. Ketimpangan relasi kuasa inilah yang membuat kekerasan seksual di pesantren sulit dideteksi. Kondisi ini diperparah oleh rendahnya akuntabilitas pesantren mengingat begitu tertutupnya lembaga itu. Pada institusi tertutup semacam itu, kekerasan seksual bisa terjadi berulang kali tanpa diketahui orang lain.
Celakanya, penyelesaian kasus kekerasan seksual di pesantren kerap ditempuh dengan jalan damai. Alih-alih memberikan keadilan bagi korban, cara itu justru membuat pelaku tak jera. Dengan jabatan dan pengaruh yang dimilikinya, pelaku akan terus menjadi predator seksual yang berbahaya.
Ke depan, Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan harus segera membuat aturan pencegahan kekerasan seksual di pesantren dan sekolah. Tak perlu menunggu Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang masih mangkrak di Dewan Perwakilan Rakyat. Aturan itu mendesak dikeluarkan untuk melindungi anak-anak dari predator seksual. Pemerintah tak perlu ragu menutup sekolah yang membiarkan terjadinya kekerasan seksual.
Pemerintah juga perlu membuat sistem pengaduan publik, seperti hotline untuk korban kekerasan seksual. Sistem ini penting agar korban dan keluarganya berani melapor meski terduga pelakunya adalah tokoh agama atau tokoh publik yang punya kekuasaan. Hanya dengan transparansi dan akuntabilitas, kredibilitas pesantren sebagai lembaga pendidikan berbasis agama bisa diselamatkan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo