Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kapal riset dan penjaga pantai Cina berseliweran di sekitar lokasi pengeboran sumur gas di Laut Natuna Utara.
Pemerintah tidak bertindak menanggapi manuver di zona ekonomi eksklusif tersebut.
Perlu peningkatan aktivitas di Laut Natuna Utara sebagai penanda hak berdaulat Indonesia.
PEMERINTAH harus lebih berhati-hati menangani Laut Natuna Utara. Perairan yang dulu dikenal dengan nama Laut Cina Selatan itu merupakan api dalam sekam di Asia Tenggara akibat saling klaim wilayah antara Malaysia, Vietnam, Filipina, Cina, dan lainnya sejak 1970-an.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kini, untuk pertama kalinya, Cina menyinggung hak berdaulat Indonesia. Antara Agustus dan Oktober lalu, Haiyang Dizhi 10, kapal riset bertonase 6.500 milik Cina, mondar-mandir di Blok Tuna, sekitar 300 kilometer di utara Pulau Natuna. Di lokasi yang berada di zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia itu berlangsung eksplorasi sumur gas oleh perusahaan asal Inggris dan Rusia. Kapal riset tersebut didampingi dua kapal penjaga pantai Cina dan merangsek hingga 112 kilometer di ZEE Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Serupa manuver yang mereka lakukan di dekat pengeboran sumur Malaysia dan Vietnam, Cina menyatakan sedang berpatroli rutin di perairan mereka. Klaim sepihak konsep nine-dash line yang menyatakan laut mereka terbentang jauh ke selatan, hampir menyentuh pantai Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Filipina, bertentangan dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut atau UNCLOS—yang juga diratifikasi Cina.
Anehnya, Indonesia diam meski manuver kapal riset dan penjaga pantai Cina di Natuna Utara berlangsung sejak Agustus. Padahal itu berpotensi melanggar hukum internasional. UNCLOS menyatakan setiap kapal bebas melintasi zona ekonomi eksklusif. Operasi kapal Cina ini merupakan gangguan teritori terlama dan paling terang benderang di perairan kita.
Alih-alih Indonesia memprotes aktivitas kapal Cina, justru Beijing yang mengirim surat keberatan ke Jakarta atas pengeboran di Blok Tuna, dengan klaim perairan dekat batas Indonesia-Vietnam tersebut sebagai laut mereka. Cina juga mengecam latihan gabungan militer Indonesia-Amerika Serikat pada Agustus lalu yang sudah berlangsung sejak 2009.
Sikap pemerintah menutup masalah di Laut Natuna menimbulkan tanda tanya besar. Pemerintah seolah-olah tunduk kepada Cina, yang berinvestasi hingga US$ 4,8 miliar dan menjadikannya investor terbesar di Indonesia setelah Singapura.
Memang, tak seorang pun yang menginginkan konflik terbuka dengan Cina—juga negara lain. Namun pemerintah mesti berupaya menghentikan arogansi mereka di Laut Natuna Utara demi melindungi hak kedaulatan dan ekonomi kita. Kementerian Luar Negeri harus memanggil Duta Besar Cina untuk menjelaskan perkara ini. Tekanan diplomatik juga bisa dijalankan lewat ASEAN, khususnya bersama Malaysia, Filipina, dan Vietnam, yang turut menghadapi isu yang sama dengan Cina. Badan Keamanan Laut plus Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut perlu diperintahkan menghentikan kapal Tiongkok yang beraktivitas di ZEE.
Di luar insiden di Blok Tuna, aktivitas Indonesia di Laut Natuna Utara perlu ditingkatkan. Perairan kaya hasil laut itu ibarat lahan subur yang dibiarkan menganggur. Pemerintah mesti mendorong lebih banyak eksplorasi minyak dan gas bumi. Kementerian Kelautan dan Perikanan bisa mengajak nelayan melaut di sana, lengkap dengan aturan yang mendukung. Garis perbatasan yang hidup bisa menjadi deterensi yang ampuh.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo