Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Virus Terhormat dan Terpandang

Aturan karantina Covid-19 dimanfaatkan petugas mengambil keuntungan. Pejabat, pesohor, dan orang berpunya menggunakan kekuasaan dan uang menghindari kewajiban itu.

18 Desember 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Diskriminasi aturan yang bisa karantina sehabis perjalanan dari luar negeri.

  • Mereka yang punya uang dan kekuasaan bisa melenggang tanpa mengikuti kewajiban ini.

  • Apa virus bisa segan pada mereka yang kaya dan berkuasa?

VIRUS Covid-19 jelas tak memiliki kasta. Jasad renik ini pun tak mengenal kelas. Mereka bisa bersarang di setiap orang, tanpa mengenal status sosial dan jabatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tapi, di Indonesia, “egalitarian” virus dihadapi dengan kebijakan pilih bulu. Dalam Surat Edaran Satuan Tugas COVID-19 terbaru disebutkan pejabat yang kembali dari perjalanan dinas, orang terhormat, dan orang terpandang dapat menjalani karantina mandiri alias terbebas dari kewajiban karantina di tempat yang ditentukan. Dengan kata lain, mereka dapat seenak udel berhubungan dengan keluarga di rumah dan anak buah di kantor atau jalan-jalan di pusat belanja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lalu siapa orang terhormat dan terpandang itu? Silakan mendefinisikannya sendiri. Dalam pengertian yang longgar, orang terhormat bisa berarti orang gila hormat. Adapun orang terpandang melingkupi juga orang yang senang memacak diri di depan cermin.

Kita semua telah mafhum, corona telah membunuh banyak penduduk bumi. Hingga minggu kedua Desember 2021, mereka telah menyusup ke lebih dari 271 juta orang dan membunuh 5,3 juta di seluruh dunia. Di Indonesia, 4,3 juta terinfeksi dan 144 ribu orang di antaranya wafat. Virus ini juga lihai menyesuaikan diri. Sejak ditemukan akhir 2019, mereka telah berkembang menjadi setidaknya sepuluh varian. Wujud terbaru mereka diberi nama Omicron. Kamis, 16 Desember lalu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan varian baru ini telah masuk Indonesia.

Corona punya kelemahan: mereka tak bisa bertahan di benda mati. Sejauh ini, kemampuan berpindah inang melalui udara juga terbatas. Belum juga ada fakta sang virus melompat dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Penularan hanya bisa antarmanusia. Walhasil, untuk membendung perkembangan mereka, jalan terbaik adalah semaksimal mungkin membatasi pertemuan orang secara fisik.

Guna meminimalkan kemungkinan perpindahan corona dari negara lain, orang yang baru melancong lintas negara diwajibkan menjalani karantina. Durasinya berbeda-beda di setiap negara. Di Indonesia, pemerintah telah beberapa kali mengubah aturannya. Pada Juli 2021, karantina wajib dilakukan delapan hari. Setelah gelombang kedua mereda, pembatasan individu ini dikurangi menjadi lima hari. November lalu, karantina bahkan hanya dilakukan tiga hari. Seiring dengan datangnya varian Omicron, pemerintah menambahnya lagi menjadi 10-14 hari.

Di lapangan, aturan juga dimanfaatkan buat mengambil keuntungan. Petugas-petugas bisa bermain mata untuk membuka pintu karantina. Rachel Vennya, selebritas media sosial, bisa kabur dari kewajiban dengan menyogok Rp 40 juta. Seorang petugas protokol Dewan Perwakilan Rakyat di Bandar Udara Soekarno-Hatta bernama Ovelina Pratiwi membantunya. Ia menerima duit sogokan, yang disebutnya atas permintaan petugas Satgas COVID-19. Ketika pelanggaran hukum ini terbongkar dan disidangkan, hakim menghukum Rachel empat bulan penjara dengan masa percobaan delapan bulan. Namun hakim menyatakan sang selebritas tak perlu masuk bui karena “berlaku sopan”. Virus rupanya dianggap tak mampu menular pada kalangan elite dan orang-orang sopan.

Rachel dan Ovelina, toh, hanya contoh pelanggar karantina yang ketahuan. Sejak aturan pembatasan dikeluarkan, kasus serupa kuat diduga banyak terjadi. Kepolisian juga telah mengusut sebagian di antaranya. Menurut catatan aparat, ada setidaknya empat modus untuk menghindari karantina, yakni meminta rekomendasi dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana, kabur dari bandara langsung ke rumah masing-masing, diam-diam meninggalkan hotel karantina setelah membayar petugas dan pengelola hotel, serta menggunakan joki.

Bolong-bolong aturan dan pelaksanaan karantina itu memberi kesempatan kepada virus untuk terus bertahan. Petugas korup, pejabat negara yang ingin selalu mendapat keistimewaan, dan kalangan berpunya yang melicinkan segala urusan dengan fulus bisa terus menjadi kolaborator mereka.

Lalu bagaimana usaha melindungi warga negara Indonesia yang lain? Virus-virus Covid-19 tentu tak bisa menjawab. Adapun kaum terpandang dan terhormat mungkin akan melengos seraya berkata: “Ya, ndak tahu, kok semua-semua ditanyakan kepada saya?”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus