Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Inflasi membuat sejumlah bank sentral bersiap mengubah kebijakan ekonomi.
Penggairah ekonomi mulai direm dengan menaikkan tingkat suku bunga.
Indonesia malah berencana menambah utang melalui penerbitan obligasi.
MUSIM berganti, angin berubah. Inflasi yang meroket membuat kebijakan bank-bank sentral negara maju harus segera berganti arah. Stimulus penggairah ekonomi mulai direm. Pengurangan suntikan likuiditas atau tapering bakal berjalan lebih cepat. Suku bunga akan naik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
The Federal Reserve, yang dalam dua tahun terakhir paling agresif memberi stimulus, sudah memberi sinyal akan menaikkan bunga hingga tiga kali tahun depan. The Fed juga sudah mulai mempercepat tapering.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bank of England, bank sentral Inggris, bahkan telah menaikkan bunga sebesar 0,15 persen menjadi 0,25 persen untuk menjinakkan inflasi tertinggi satu dekade terakhir. Ekonomi Inggris kini tercekik inflasi hingga 5,1 persen, jauh di atas target 2 persen.
Keputusan bank-bank sentral ini, meski sudah diantisipasi, tetap saja terasa agresif. Analis di pasar cemas. Alih-alih mampu menahan inflasi, rem stimulus yang terlalu pakem hanya akan melumpuhkan ekonomi. Apalagi sekarang wabah Covid-19, karena varian Omicron, kian meluas di Eropa dan Amerika Serikat. Pasar finansial global bisa terpukul serius karena langkah-langkah agresif bank sentral melawan inflasi.
Investor kini tak punya pilihan selain mengantisipasi datangnya gejolak yang amat berbahaya. Sebab, tak cuma kian ketat, likuiditas juga akan makin mahal karena bunga naik. Pada gilirannya, hal ini akan mempengaruhi bunga kredit ataupun biaya modal korporasi. Pemerintah di seluruh dunia harus pula mengalibrasi ulang target-target pertumbuhan ekonomi.
Negara-negara berkembang berisiko menjadi korban utama perubahan arah kebijakan moneter ini. Yang lebih dulu terpuruk adalah Turki. Nilai mata uangnya, lira, sudah ambles 50 persen sepanjang tahun ini. Namun patut dicatat, kebijakan Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan juga berperan membuat lira terpuruk. Erdoğan, misalnya, memaksakan penurunan bunga ketika inflasi terbang tinggi. Erdoğan melawan pakem ekonomi yang lazim.
Sebagai sesama negara berkembang anggota G20, Indonesia saat ini memang memiliki kondisi ekonomi makro yang jauh lebih baik ketimbang Turki. Misalnya, inflasi Turki pada November lalu terbang hingga 21,31 persen, sementara di sini cuma 1,75 persen. Dus, kemungkinan Indonesia ikut terpuruk seperti Turki relatif kecil.
Kendati demikian, kondisi ekonomi makro yang relatif baik tak boleh membuat pemerintah Indonesia terlena, terutama saat mengambil kebijakan di tengah ancaman gejolak besar. Sekali pasar menilai ada kebijakan yang tidak pruden, sentimen terhadap Indonesia bisa berbalik negatif.
Saat ini pun investor global sebetulnya terus menguji Indonesia. Hal itu tampak pada arus keluar modal asing yang tersimpan di obligasi pemerintah. Per 15 Desember 2021, dana asing yang tertanam di sini tinggal Rp 894 triliun. Dalam tempo setengah bulan terakhir, ada Rp 35 triliun dana asing yang hengkang dari instrumen ini.
Ketika likuiditas terus menurun dan nanti The Fed benar-benar menaikkan bunga, arus keluar dana asing bisa makin deras. Pada saat itu, Bank Indonesia tak akan bisa menghindar lagi, harus menaikkan bunga pula jika ingin mencegah dana asing keluar.
Bunga yang bakal meninggi seharusnya membuat pemerintah Indonesia berupaya sekuat tenaga memangkas pengeluaran agar utang baru mengecil. Sayangnya, kemauan itu tak cukup kuat. Kegagalan menahan nafsu belanja membuat utang baru di anggaran 2022 masih menggelembung. Pemerintah berencana menjual lagi obligasi senilai Rp 991,3 triliun.
Obligasi baru sebesar itu akan menambah beban ekstra karena dijual ketika suku bunga sedang menanjak di mana-mana. Agar laku, obligasi itu harus memberi imbalan bunga besar. Dan bunga tinggi ini terus mengikat. Dari tahun ke tahun, pembayaran bunga akan kian besar menyedot uang pembayar pajak.
Untuk 2022 saja, pemerintah harus menyisihkan Rp 405 triliun demi membayar bunga. Kapasitas fiskal pemerintah kian sempit, seperti warga miskin yang terjerat rentenir pemberi utang berbunga tinggi. Uang yang tersisa untuk berbelanja keperluan esensial makin sedikit. Inilah warisan untuk pemerintah berikutnya hingga anak-cucu nanti.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo