PADA pertemuan pertama dan sebentar dengan dia, saya diundangnya
secara mendadak untuk menghadiri cocktail party di rumahnya.
Saya tiba di alamat itu jam 9 malam sesudah menghadiri satu
pertemuan lainnya. Setelah melalui sela-sela mobil yang diparkir
di halaman saya tiba di ambang pintu, lalu menoleh kepada
belasan wajah yang asing di ruang muka dan ruang tengah.
Di ruang muka saya memperkenalkan diri kepada beberapa tamu,
kemudian menyelonong ke ruang tengah untuk melanjutkan rituil
yang sama: bersalaman, menyebut nama sambil sedikit membungkuk.
Di ruang tengah saya berkenalan dengan (suami) tuan rumah yang
sedang sibuk melayani tamu.
Minuman dan makanan kecil terus beredar. Ketika menyelesaikan
gelas pertama sudah dua kali saya bertukar kawan ngobrol.
Akhirnya saya tertambat pada seorang propesor yang berperawakan
agak gemuk tapi sehat dan segar, berasal dari Muangthai. Entah
mengapa, raut mukanya,ketenangannya dan gayanya mengungkapkan
diri, mengingatkan saya kepada Budha.
Dengan tenang dan sopan kepada saya ditanyakannya perihal
restorasi candi Borobudur, yakni seberapa jauh sudah selcsai
sekarang. Saya tidak mampu menerangkannya. Dialihkannya
pembicaraan kepada biologi, yang juga sukar saya tangkap.
Kiranya dari senyuman saya dia tahu saya tidak mengerti
sepenuhnya. Tetapi orangnya begitu menarik sehingga saya tidak
pura-pura tambah minuman untuk pergi ke kelompok lain.
Pembicaraannya dialihkannya kepada makanan yang diimpor. Saya
mulai mengerti.
- Kita hidup dalam dunia yang aneh. Bertambah moderen berarti
bertambah dikecoh.
Di kuping saya kedengarannya seperti jaman edannya
Ronggowarsito. Senyum sang propesor melebar tanpa geleng kepala.
Tenang saja dia.
- Kita semakin jauh dari ketika dan ini tidak bisa
dipertanggungjawabkan. Kapan kiranya produsen berbagai saus dan
minuman mau memperhatikan ketika? Dan kapankah pengecohan ini
jadi berkurang? Celakanya lagi kecohan ini tidak dilihat sebagai
kecohan tapi malah dimanipulasi jadi lambang status. Makanan
kaleng dan makanan botol, entah apa isinya, menjadi lambang
status. Konsumen bangga, tidak merasa dikibuli.
Dia cerita bahwa generasi terdahulu tidak kena kecoh. Kalau
mereka minum air jeruk, mereka tahu bahwa itu air jeruk dan itu
benar berasal dari jeruk. Tapi sekarang? Pada jaman yang
dibilang moderen ini orang tidak tahu apa yang masuk ke dalam
perutnya. Lidahnya, hidungnya, matanya, semua kena tipu tapi dia
merasa tahu, merasa maju dan merasa puas.
- Jika anda makan saus tomat, yang dituangkan dari botol yang
moderen, maka itu bukan saus tomat. Anda melahap campuran
kimiawi yang setetes pun tidak berasal dari tomat biarpun
labelnya bergambar tomat matang yang segar. Anda minum orange
juice yang bukan orange juice. Orange juice tanpa orange.
Perihal komposisinya kita tidak tahu.
Dia masih terus bersemangat dan memberikan semacam saran.
-- Begini. Cantumkan isinya pada label seperti yang berlaku pada
obat-obatan. Kalau itu obat pilek tertentu orang lalu tahu bahwa
tablet itu mengandung paracematol sekian mg, phenacetin sekitar
mg, caffeine sekian mg dan seterusnya. Tetapi apa pengusaha saus
dan minuman mau melakukan ini? Tidak mustahil pengecohan ini
semakin parah di masa mendatang.
Lalu pembicaraan dialihkannya kepada hasil hutan. Secara santai
dia kemukakan bagaimana kita tidak sepenuhnya mengembangkan
potensi yang ada.
-- Anda tahu bagaimana cantiknya rotan, bagaimana kuatnya rotan.
Serbaguna dan punya potensi yang begitu besar untuk berbagai
usaha kerajinan. Pengolahannya juga tidak memerlukan pabrik yang
rumit. Klop dengan padat karya. Tapi apa yang terjadi? Dahulu
nenek moyang kita mengambilnya dari hutan, sekarang pun kita
ambil dari hutan. Dahulu tumbuhan liar dan sekarang pun tumbuhan
liar. Dalam usaha modernisasi, sudah banyak kita dirikan
universitas. Sudah banyak ahli dihasilkan di dalam negeri dan di
luar negeri. Tetapi, apakah ada seorang ahli di negeri anda dan
di negeri saya yang tahu bagaimana caranya menanam rotan? Tidak
ada. Akar rotan tidak kena sentuhan modernisasi. Sementara itu
label-label kaleng dan botol terus mengecoh.
Dia tersenyum lagi dengan tenang. Kopi dalam cangkir sudah habis
dihirup dan kini tibalah waktunya untuk berjabat tangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini