LIMA ekor harimau Jawa yang hidup merana di hutan Meru Betiri,
Jawa Timur, kini beruntung. Daerah mereka mendapat perhatian
Kepala Negara. Presiden Suharto awal minggu lalu telah
menyatakan persetujuan agar satu-satunya 'kandang macan Jawa
yang masih tersisa di alam bebas itu dinaikkan statusnya
menjadi Taman Nasional.
Sebelumnya, Meru Betiri hanya berstatus suaka margasatwa.
Berarti hanya faunanya yang dilindungi, sementara floranya masih
bebas dipetik dan diolah.
Persetujuan Presiden itu diumumkan oleh Menteri Lingkungan Prof
Emil Salim di Istana Merdeka awal minggu lalu. Konsekwensinya
dua perkebunan di daerah suaka yang mendapat izin Menteri
Pertanian tahun 1972 -- PT Sukamade Baru dan PT Bandealit -- tak
akan diperpanjang lagi setelah izin konsesi habis empat tahun
lagi.
Sebagai persiapan menjelang peresmian status Taman Nasional itu,
orang akan dilarang berburu hewan apapun dalam radius 20 km dari
hutan suaka. Selanjutnya perairan pantai Sukamade yang merupakan
batas pantai suaka margasatwa itu akan ditutup sampai setengah
km dari garis pasang surut. Maksudnya terutama untuk melindungi
berbagai jenis penyu yang suka berenang, merayap dan bertelur di
pasir pantai itu. Sementara hutan lindung daerah Malangsari juga
akan digabungkan dengan cagar alam Meru Betiri, yang total
jenderal akan berluas 50 ribu Ha, terbentang dari ketinggian
1223 meter terus sampai mencebur ke laut.
Jalan Raya Batal?
Keputusan itu telah disambut dengan gembira oleh kalangan
Direktorat PPA di Rogor berikut staf ahli WWF (World Wildlife
Fund) yang diperbantukan di sana. Pencabutan izin perkebunan di
tengah suaka, memang sudah lama mereka usulkan.
Presiden WWF sendiri, John Loudon, baru-baru ini mengirim surat
pribadi dari Swiss kepada Presiden Suharto, mohon perhatian
Kepala Negara terhadap "benteng terakhir macan Jawa" itu. Dalam
surat itu Loudon juga membeberkan akibat fatal yang bisa
ditimbulkan jalan raya baru yang direncanakan Departemen P.U.
menembus suaka.
Emil Salim dalam penjelasan persnya ini tak menyebut-nyebut lagi
rencana jalan P.U. itu. Tapi ia mengatakan sedang diteliti
kemungkinan menyalurkan sekitar 2000 penduduk di sekitar suaka
ketempat lain. Atau sekalian ditransmigrasikan saja.
Faktor kepadatan per duduk itulah yang antara lain mendorong
P.U. merencanakan jalan raya baru membelah suaka Meru Betiri.
Jadi kalau masalah sosial ini dapat ditanggulangi, kelestarian
alam perawan satu-satunya yang masih tersisa di Pulau Jawa ini
pun dapat terpecahkan. Dan usul WWF untuk melepas kawanan rusa
dan banteng ke dalam hutan Meru Betiri -- untuk mangsa macan --
juga dapat dijalankan.
Tapi cita-cita semacam ini mau tak mau menghadapkan para
pendukungnya dengan kepentingan ekonomi yang ada.
Selain Meru Betiri, masih ada enam Taman Nasional lain yang
diprogramkan untuk Repelita III. Yakni Bali Barat, Baluran
(Jawa Timur), Ujung Kulon (Jawa Barat), Pangandaran (Jawa
Barat), Pulau Komodo (NTT), dan Lore Kalamanta (Sul-Teng).
Yang terakhir ini sebelumnya juga sudah dibenahi oleh Menteri
Negara PPLH. Konsesi hutan PT Kebonsari seluas 59 ribu Ha di
sekitar Danau Lindu dan gunung Nokilalaki kena gunting Emil
Salim hingga tinggal 15 ribu Ha.
Kekeliruan Gubernur
Hutan sekitar D. Lindu dan G. Nokilalaki itu memang sudah lama
ia di arena tarik-tambang antara PPA (Perlindungan dan
Pengawetan Alam) serta Direktorat Kehutanan. Mula-mula dua
perusahaan swasta dijanjikan areal hak penebangan hutan di sana,
PT Kebonsari dan PT Sari Bunni Kesuma. Lalu, karena protes
Dirjen WWF sendiri yang khusus terbang ke sana bersama Dirjen
Kehutanan Sudjarwo September tahun lalu, areal Sari Bumi Kesuma
dicoret.
Tapi yang satunya diizinkan jalan terus. Malah perusahaan milik
seorang pengusaha Bugis itu, telah membangun jalan raya
pengangkut kayu sepanjang 100 km menembus hutan sekitar D.
Lindu, dengan lebar 12 meter. "Sudah sekitar Rp 1 milyar uang
saya habis, dan kini areal saya harus bergeser ke Palolo yang
justru sudah tak ada hutannya," begitu Rasyid, pemilik PT
Kebonsari itu mengeluh.
Memang dia betul. Daerah Palolo yang ditunjuk Menteri Emil dalam
rapatnya bersama Menteri Pertanian dan Sekjen Depdagri,
pertengahan bulan lalu sudah jarang hutannya karena di situ
pusat pemukiman kembali (resettlement).
"Ini semua bisa terjadi, karena kekeliruan Gubernur Tambunan
memberikan rekomendasi HPH bagi Kebonsari, justru di daerah yang
sudah dicadangkan bagi perlindungan alam," seorang staf ahli WWF
berusaha menjelaskan duduknya masalah. Tapi Tambunan kini bukan
Gubernur Sul-Teng lagi, sementara Rasyid boleh saja minta
rekomendasi areal baru kepada Gubernur yang baru, Brigjen
Munafri.
Usul John Blower
Perbenturan nampaknya tak akan sampai di situ saja. Dalam
sebuah simposium di gedung Biotrop, Bogor, Maret lalu, John
Blower dari WWF/FAO misalnya mengusulkan penghentian penebangan
kayu di suaka margasatwa Sekundur, Sumatera Utara.
Menurut Blower, proyek perintis 'pengelolaan hutan' PPA di
Sekundur yang mensuplai bahan baku bagi pabrik plywood PT
Rajagarudamas "telah melenyapkan 15 jenis binatang yang tadinya
berjubel di sana." Hanya gajah, rusa, dan babi hutan masih
tinggal di hutan yang sudah diperawani itu. Dan margasatwa ini
pun mulai terdesak oleh deru traktor, buldoser, truk pengangkut
kayu dan gergaji mesin.
Pada kesempatan yang sama, Blower juga mengulangi usul perluasan
suaka margasatwa Kutai. Maksudnya untuk melindungi habitat badak
Kalimantan yang tinggal lima ekor pula di sana. Sebab suaka
Kutai yang asli (dulu luasnya 306 ribu Ha) sudah disunati atau
digerogoti oleh perusahaan-perusahaan Kayumas Sylvaduta dan
Porodisa.
Siapa tahu, mungkin penebangan hutan di Kutai dan Sekundur itu
pun satu waktu akan kena gunting Emil Salim, seperti halnya yang
di sekitar D. Lindu dan Meru Betiri. Sehingga kedua suaka itu
pun, tempat tinggal binatang langka seperti badak dan orang
utan, akan ikut barisan Taman Nasional dalam Repelita
mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini