Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Yang Kena Gunting Emil Salim

Suaka margasatwa meru betiri di Ja-Tim akan dijadikan Taman Nasional. Taman Nasional lain yang diprogramkan dalam Pelita III, a.l: Bali Barat, Baluran, Ujungkulon, Pangandaran dan P. Komodo. (ling)

23 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIMA ekor harimau Jawa yang hidup merana di hutan Meru Betiri, Jawa Timur, kini beruntung. Daerah mereka mendapat perhatian Kepala Negara. Presiden Suharto awal minggu lalu telah menyatakan persetujuan agar satu-satunya 'kandang macan Jawa yang masih tersisa di alam bebas itu dinaikkan statusnya menjadi Taman Nasional. Sebelumnya, Meru Betiri hanya berstatus suaka margasatwa. Berarti hanya faunanya yang dilindungi, sementara floranya masih bebas dipetik dan diolah. Persetujuan Presiden itu diumumkan oleh Menteri Lingkungan Prof Emil Salim di Istana Merdeka awal minggu lalu. Konsekwensinya dua perkebunan di daerah suaka yang mendapat izin Menteri Pertanian tahun 1972 -- PT Sukamade Baru dan PT Bandealit -- tak akan diperpanjang lagi setelah izin konsesi habis empat tahun lagi. Sebagai persiapan menjelang peresmian status Taman Nasional itu, orang akan dilarang berburu hewan apapun dalam radius 20 km dari hutan suaka. Selanjutnya perairan pantai Sukamade yang merupakan batas pantai suaka margasatwa itu akan ditutup sampai setengah km dari garis pasang surut. Maksudnya terutama untuk melindungi berbagai jenis penyu yang suka berenang, merayap dan bertelur di pasir pantai itu. Sementara hutan lindung daerah Malangsari juga akan digabungkan dengan cagar alam Meru Betiri, yang total jenderal akan berluas 50 ribu Ha, terbentang dari ketinggian 1223 meter terus sampai mencebur ke laut. Jalan Raya Batal? Keputusan itu telah disambut dengan gembira oleh kalangan Direktorat PPA di Rogor berikut staf ahli WWF (World Wildlife Fund) yang diperbantukan di sana. Pencabutan izin perkebunan di tengah suaka, memang sudah lama mereka usulkan. Presiden WWF sendiri, John Loudon, baru-baru ini mengirim surat pribadi dari Swiss kepada Presiden Suharto, mohon perhatian Kepala Negara terhadap "benteng terakhir macan Jawa" itu. Dalam surat itu Loudon juga membeberkan akibat fatal yang bisa ditimbulkan jalan raya baru yang direncanakan Departemen P.U. menembus suaka. Emil Salim dalam penjelasan persnya ini tak menyebut-nyebut lagi rencana jalan P.U. itu. Tapi ia mengatakan sedang diteliti kemungkinan menyalurkan sekitar 2000 penduduk di sekitar suaka ketempat lain. Atau sekalian ditransmigrasikan saja. Faktor kepadatan per duduk itulah yang antara lain mendorong P.U. merencanakan jalan raya baru membelah suaka Meru Betiri. Jadi kalau masalah sosial ini dapat ditanggulangi, kelestarian alam perawan satu-satunya yang masih tersisa di Pulau Jawa ini pun dapat terpecahkan. Dan usul WWF untuk melepas kawanan rusa dan banteng ke dalam hutan Meru Betiri -- untuk mangsa macan -- juga dapat dijalankan. Tapi cita-cita semacam ini mau tak mau menghadapkan para pendukungnya dengan kepentingan ekonomi yang ada. Selain Meru Betiri, masih ada enam Taman Nasional lain yang diprogramkan untuk Repelita III. Yakni Bali Barat, Baluran (Jawa Timur), Ujung Kulon (Jawa Barat), Pangandaran (Jawa Barat), Pulau Komodo (NTT), dan Lore Kalamanta (Sul-Teng). Yang terakhir ini sebelumnya juga sudah dibenahi oleh Menteri Negara PPLH. Konsesi hutan PT Kebonsari seluas 59 ribu Ha di sekitar Danau Lindu dan gunung Nokilalaki kena gunting Emil Salim hingga tinggal 15 ribu Ha. Kekeliruan Gubernur Hutan sekitar D. Lindu dan G. Nokilalaki itu memang sudah lama ia di arena tarik-tambang antara PPA (Perlindungan dan Pengawetan Alam) serta Direktorat Kehutanan. Mula-mula dua perusahaan swasta dijanjikan areal hak penebangan hutan di sana, PT Kebonsari dan PT Sari Bunni Kesuma. Lalu, karena protes Dirjen WWF sendiri yang khusus terbang ke sana bersama Dirjen Kehutanan Sudjarwo September tahun lalu, areal Sari Bumi Kesuma dicoret. Tapi yang satunya diizinkan jalan terus. Malah perusahaan milik seorang pengusaha Bugis itu, telah membangun jalan raya pengangkut kayu sepanjang 100 km menembus hutan sekitar D. Lindu, dengan lebar 12 meter. "Sudah sekitar Rp 1 milyar uang saya habis, dan kini areal saya harus bergeser ke Palolo yang justru sudah tak ada hutannya," begitu Rasyid, pemilik PT Kebonsari itu mengeluh. Memang dia betul. Daerah Palolo yang ditunjuk Menteri Emil dalam rapatnya bersama Menteri Pertanian dan Sekjen Depdagri, pertengahan bulan lalu sudah jarang hutannya karena di situ pusat pemukiman kembali (resettlement). "Ini semua bisa terjadi, karena kekeliruan Gubernur Tambunan memberikan rekomendasi HPH bagi Kebonsari, justru di daerah yang sudah dicadangkan bagi perlindungan alam," seorang staf ahli WWF berusaha menjelaskan duduknya masalah. Tapi Tambunan kini bukan Gubernur Sul-Teng lagi, sementara Rasyid boleh saja minta rekomendasi areal baru kepada Gubernur yang baru, Brigjen Munafri. Usul John Blower Perbenturan nampaknya tak akan sampai di situ saja. Dalam sebuah simposium di gedung Biotrop, Bogor, Maret lalu, John Blower dari WWF/FAO misalnya mengusulkan penghentian penebangan kayu di suaka margasatwa Sekundur, Sumatera Utara. Menurut Blower, proyek perintis 'pengelolaan hutan' PPA di Sekundur yang mensuplai bahan baku bagi pabrik plywood PT Rajagarudamas "telah melenyapkan 15 jenis binatang yang tadinya berjubel di sana." Hanya gajah, rusa, dan babi hutan masih tinggal di hutan yang sudah diperawani itu. Dan margasatwa ini pun mulai terdesak oleh deru traktor, buldoser, truk pengangkut kayu dan gergaji mesin. Pada kesempatan yang sama, Blower juga mengulangi usul perluasan suaka margasatwa Kutai. Maksudnya untuk melindungi habitat badak Kalimantan yang tinggal lima ekor pula di sana. Sebab suaka Kutai yang asli (dulu luasnya 306 ribu Ha) sudah disunati atau digerogoti oleh perusahaan-perusahaan Kayumas Sylvaduta dan Porodisa. Siapa tahu, mungkin penebangan hutan di Kutai dan Sekundur itu pun satu waktu akan kena gunting Emil Salim, seperti halnya yang di sekitar D. Lindu dan Meru Betiri. Sehingga kedua suaka itu pun, tempat tinggal binatang langka seperti badak dan orang utan, akan ikut barisan Taman Nasional dalam Repelita mendatang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus