Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Debussy kena jawa

Richard deering, 31, pianis dari inggris mengadakan pertunjukan di teater tertutup tim, jakarta, dengan membawakan nomor-nomor yang dan manis, salah satu karyanya de bussy yang di dalamnya terasa ada gamelan jawa.(ms)

23 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMERINTAH Inggeris kali ini meng utus Richard Deering. Ia seorang pianh muda berusia 31 tahun tamatan Guild hall of Music Trinity College, London Reputasinya konon bagus. Ia sudah tetirah di daratan Eropa dan Asia. Teater Tertutup TIM yang dipilih sebagai tempat pertunjukan, tanggal 8 September yang lalu hampir dipenuhi peminat musik. Deering yang mengenakan kemeja putih bergaris-garis dengan celana hitam tampak heran. "Saya merasa surprise sekali dengan penonton Jakarta," ujarnya kepada TEMPO Rupanya selama mengadakan pertunjukan di Malaysia dan Singapura ia dikecewakan oleh jumlah penonton. Apalagi kemudian hadirin beberapa kali menghadiahkan tepuk tangan untuknya. Deering, yang dipuji pers memberi ketangguhan dalam teknik dan ketekunan, serta dianggap seorang pemain yang amat perasa, memang tidak mengecewakan. Kecermatan dan kehalusannya dapat dirasakan, kendati seorang pianis muda L.PK menganggap kalibernya tidak melebihi Ross Pople, pemain celo juga dari Inggeris yang tampil di TIM bulan Juni yang lalu. Bahkan tanpa mengurangi arti kehadirannya, seorang pengamat musik berani mengatakan bahwa permainan Mariama Djiwa Jenie yang tampil dua bulan lalu, lebih mempesona. Pilihan Deering adalah nomor-nomor yang sejuk dan manis. Ia membawakan Fantazia in D Minor K 397 (Mozart), 3 Sketches (Frank Bridge), 7 Fantasia. Op 116 (Brahms), Nocturne In F Op 15 (Chopin), 4 Preludes (Debussy) dan Ballade No. 2 In 13 Minor (Liszt). Terhadap karya Brahms ia mengakui sendiri harus mengerahkan tenaga, karena ia menganggap itu nomor sulit. Nomor Liszt disampaikannya dengan nyaman sehingga merupakan gong yang baik untuk menutup pertunjukan Yang perlu dibicarakan adalah karya Debussy. Claude Debuss (1862 - 1918) dengan 4 Preludesnya, menjadi nomor khas karena di dalamnya terasa ada gamelan Jawa. Komponis kelahiran Perancis yang tersohor karena karya-karyanya yang impresionistis rupanya pada tahun 1889 sempat menonton gamelan Jawa di sebuah gedung pertunjukan Paris. Pulang, ia menuliskan kekagumannya akan dentingan gamelan, dalam wujud sebuah lagu. Waktu nomor tersebut dimainkan di TIM, penonton kelihatan terpukau. Deering serasa tidak duduk di belakang piano saja. Ia seolah sedang memimpin seperangkat gamelan. "Orang India, Cina dan orang-orang di Asia Tenggara semua suka ciptaan itu," kata Deering memuji sendiri nomor pilihannya selesai pertunjukannya. "Saya pilih karya Debussy itu karena ada hubungan dengan Indonesia. " Sayang sekali malam itu Dewan Kesenian tidak menyediakan bunga. Padahal ia sudah memberikan Debussy yang bernada Jawa, ditombok lagi dengan Improntu No. 3 Schubert untuk memenuhi sambutan penonton. Sebelum meninggalkan tempat pertunjukan, ia sempat berbisik kepada TEMPO bahwa di samping kariernya sebagai pianis, ia juga sudah menulis dua buah lagu. Apa tidak coba-coba memainkan lagunya sendiri, mumpung penonton murah keplokan? Deering menjawab: "Malu ah !

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus