PEMERINTAH Inggeris kali ini meng utus Richard Deering. Ia
seorang pianh muda berusia 31 tahun tamatan Guild hall of Music
Trinity College, London Reputasinya konon bagus. Ia sudah
tetirah di daratan Eropa dan Asia.
Teater Tertutup TIM yang dipilih sebagai tempat pertunjukan,
tanggal 8 September yang lalu hampir dipenuhi peminat musik.
Deering yang mengenakan kemeja putih bergaris-garis dengan
celana hitam tampak heran. "Saya merasa surprise sekali dengan
penonton Jakarta," ujarnya kepada TEMPO Rupanya selama
mengadakan pertunjukan di Malaysia dan Singapura ia dikecewakan
oleh jumlah penonton. Apalagi kemudian hadirin beberapa kali
menghadiahkan tepuk tangan untuknya.
Deering, yang dipuji pers memberi ketangguhan dalam teknik dan
ketekunan, serta dianggap seorang pemain yang amat perasa,
memang tidak mengecewakan. Kecermatan dan kehalusannya dapat
dirasakan, kendati seorang pianis muda L.PK menganggap
kalibernya tidak melebihi Ross Pople, pemain celo juga dari
Inggeris yang tampil di TIM bulan Juni yang lalu. Bahkan tanpa
mengurangi arti kehadirannya, seorang pengamat musik berani
mengatakan bahwa permainan Mariama Djiwa Jenie yang tampil dua
bulan lalu, lebih mempesona.
Pilihan Deering adalah nomor-nomor yang sejuk dan manis. Ia
membawakan Fantazia in D Minor K 397 (Mozart), 3 Sketches (Frank
Bridge), 7 Fantasia. Op 116 (Brahms), Nocturne In F Op 15
(Chopin), 4 Preludes (Debussy) dan Ballade No. 2 In 13 Minor
(Liszt). Terhadap karya Brahms ia mengakui sendiri harus
mengerahkan tenaga, karena ia menganggap itu nomor sulit. Nomor
Liszt disampaikannya dengan nyaman sehingga merupakan gong yang
baik untuk menutup pertunjukan Yang perlu dibicarakan adalah
karya Debussy.
Claude Debuss (1862 - 1918) dengan 4 Preludesnya, menjadi nomor
khas karena di dalamnya terasa ada gamelan Jawa. Komponis
kelahiran Perancis yang tersohor karena karya-karyanya yang
impresionistis rupanya pada tahun 1889 sempat menonton gamelan
Jawa di sebuah gedung pertunjukan Paris. Pulang, ia menuliskan
kekagumannya akan dentingan gamelan, dalam wujud sebuah lagu.
Waktu nomor tersebut dimainkan di TIM, penonton kelihatan
terpukau. Deering serasa tidak duduk di belakang piano saja. Ia
seolah sedang memimpin seperangkat gamelan. "Orang India, Cina
dan orang-orang di Asia Tenggara semua suka ciptaan itu," kata
Deering memuji sendiri nomor pilihannya selesai pertunjukannya.
"Saya pilih karya Debussy itu karena ada hubungan dengan
Indonesia. "
Sayang sekali malam itu Dewan Kesenian tidak menyediakan bunga.
Padahal ia sudah memberikan Debussy yang bernada Jawa, ditombok
lagi dengan Improntu No. 3 Schubert untuk memenuhi sambutan
penonton. Sebelum meninggalkan tempat pertunjukan, ia sempat
berbisik kepada TEMPO bahwa di samping kariernya sebagai pianis,
ia juga sudah menulis dua buah lagu. Apa tidak coba-coba
memainkan lagunya sendiri, mumpung penonton murah keplokan?
Deering menjawab: "Malu ah !
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini