Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Suap Tumbuh Hutan Berganti

9 Juni 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SKANDAL suap alih fungsi hutan di kawasan Jonggol, Jawa Barat, merupakan bukti nyata bahwa pemerintah abai memelihara paru-paru bumi. Alih-alih menambah luas hutan, pejabat negara berencana menggusur dan mengubah peruntukannya menjadi permukiman.

Rencana alih fungsi hutan di Jonggol—sekitar 30 kilometer sebelah selatan Jakarta—bisa berakibat fatal. Saat ini, kawasan itulah benteng terakhir yang bisa melindungi Jakarta dari banjir besar. Benteng lain di kawasan Puncak telah lama tak bisa diandalkan karena rusak dirambah permukiman dan vila. Dengan kata lain, jika perluasan permukiman di Jonggol benar-benar dilaksanakan, mimpi buruk Jakarta menjadi danau raksasa segera jadi kenyataan.

Tanda-tanda bakal terjadinya keadaan gawat itu semakin nyata setelah awal Mei lalu Bupati Bogor Rachmat Yasin dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia dituding menerima suap Rp 3 miliar. Rasuah itu merupakan bagian dari "tanda terima kasih" PT Bukit Jonggol Asri karena Yasin sudah memberi rekomendasi perubahan kawasan hutan produksi menjadi permukiman. Bukit Jonggol Asri adalah pengembang yang berencana membebaskan 2.754 hektare lahan untuk perluasan Sentul City, kawasan perumahan miliknya.

Rekomendasi bupati sesungguhnya cuma salah satu syarat. Jauh di hulu, Kementerian Kehutanan telah mengeluarkan izin perubahan fungsi kawasan itu dari hutan lindung menjadi hutan produksi. Perubahan ini memudahkan Yasin mengubah hutan produksi menjadi permukiman. Tanpa beleid Menteri Kehutanan, Bupati Bogor sulit mewujudkan permintaan sang "klien". Menteri Zulkifli Hasan telah pula menyurati Bukit Jonggol Asri agar mengurus permohonan perubahan hutan produksi menjadi permu­kiman dengan syarat ada rekomendasi bupati.

"Kolaborasi" menteri dan bupati itu memunculkan kecurigaan bahwa kasus ini tak hanya melibatkan pejabat di tingkat kabupaten. KPK harus menelusuri hingga pemerintah provinsi dan kementerian. Sejauh ini, selain mencokok Yasin, Komisi telah menetapkan dua pelaku lapangan sebagai tersangka: Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor M. Zairin serta anggota staf PT Bukit Jonggol Asri, Yohan Yap.

Alasan menelisik pejabat Provinsi Jawa Barat sangat kuat. Mereka ikut menentukan perubahan tata ruang. Rencana tata ruang Kabupaten Bogor pada 2008 masih menyebutkan kawasan Jonggol sebagai hutan lindung. Pada 2010, dalam rencana tata ruang Provinsi Jawa Barat, kawasan itu disebut sebagai hutan produksi. Perbedaan ini, sesuai dengan aturan, mengharuskan pemerintah kabupaten menyesuaikan diri dengan provinsi. Patut dicurigai pejabat provinsi ikut bermain dalam perubahan ini.

Dalih pemerintah kabupaten bahwa lahan Jonggol tak subur sehingga tak perlu dipertahankan sebagai jenggala merupakan lelucon yang sama sekali tak lucu. Bertahun-tahun kawasan itu merupakan hutan lindung yang permai. Kalaupun ada hutan yang rusak, semestinya segera dilakukan reboisasi, bukannya malah dibiarkan seraya dipersembahkan kepada pengembang. Janji Bukit Jonggol Asri menukar hutan yang dipakai dengan rimba lain di empat kabupaten Jawa Barat harus diwaspadai sebagai siasat untuk merebut kawasan indah itu dan mengelakkan kewajiban. Pada 2003, Menteri Kehutanan M. Prakosa pernah menolak permohonan alih hutan Bukit Jonggol Asri karena perusahaan itu tak melunasi janji hutan pengganti.

KPK tak boleh ragu menelisik pemberi rasuah. Sejauh ini, baru Yohan Yap yang terbukti menyerahkan suap kepada anak buah Yasin. Pemeriksaan Kwee Cahyadi Kumala, pemilik PT Bukit Jonggol Asri, diharapkan bisa mengungkap aktor lain dalam skandal ini.

Prinsip follow the money patut diterapkan untuk mengetahui ke mana rasuah ini bermuara dan dari mana berasal. Dalam hal ini keterlibatan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan sangat penting.

Terhadap Rachmat Yasin, KPK patut menerapkan pasal pencucian uang. Meski alih fungsi lahan belum terjadi—sehingga belum terdapat kerugian negara—KPK selayaknya tak berhenti. Dalam banyak perkara, misalnya dalam kasus Hambalang, suap merupakan pembuka jalan menuju pengungkapan korupsi yang lebih besar.

Sudah saatnya pemerintah memberi perhatian khusus kepada konservasi hutan—paru-paru bumi yang menjamin keberlangsungan hidup orang banyak. Propaganda sempit dan akal-akalan yang menyatakan alih fungsi hutan bisa dilakukan asalkan menguntungkan ekonomi negara mesti dihentikan. Mengubah hutan menjadi kawasan industri atau permukiman sepintas menguntungkan—karena menyerap tenaga kerja dan meningkatkan pajak—tapi buruk dalam jangka panjang.

Pemerintah tak boleh memberi tempat untuk pejabat yang tak punya komitmen terhadap lingkungan. Mereka yang lancung memperdagangkan wewenang selayaknya dihukum berat.

Berita terkait klik Disini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus