Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Seberapa Banyak Kita Belajar dari Masa Lalu?

Beberapa pertanyaan muncul berulang kali sehubungan dengan bom Kuningan: peran apa saja yang kemungkinan besar dimainkan Azhari (bukan Azahari seperti yang sering ditulis) dan Noordin Mohammad Top?

20 September 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sidney Jones
  • Direktur Southeast Asia Project International Crisis Group

    Beberapa pertanyaan muncul berulang kali sehubungan dengan bom Kuningan: peran apa saja yang kemungkinan besar dimainkan Azhari (bukan Azahari seperti yang sering ditulis) dan Noordin Mohammad Top? Bagaimana hubungan mereka dengan Jamaah Islamiyah? Bagaimana mereka meyakinkan orang untuk ikut dalam suatu operasi yang pasti akan menyebabkan tewasnya orang sipil yang tidak berdosa? Berapa besar kemungkinan terjadinya pengeboman serupa? Dan langkah apa saja yang harus dilakukan pemerintah Indonesia untuk mencegah timbulnya lebih banyak korban serangan teroris?

    Mungkin petunjuk terbaik untuk mengungkapkan modus operandi yang digunakan Azhari dan Noordin adalah peran mereka masing-masing dalam bom Marriott. Di sana Noordin tampaknya bertindak sebagai konseptor dan Azhari sebagai komandan lapangan. Adalah Azhari yang menerima perintah dari Noordin, bukan sebaliknya. Perencanaannya sudah dimulai pada Desember 2002, delapan bulan sebelum ledakan dan dipicu oleh Tony Togar, seorang anggota JI di Medan, yang ingin cepat-cepat mengeluarkan bom yang disimpan di rumahnya karena khawatir akan keselamatan dirinya setelah dilakukannya penangkapan terhadap para pelaku bom Bali.

    Noordin dan Azhari merajut beberapa jaringan dalam menyusun tim Marriott: wakalah (cabang) JI di Johor yang mempunyai hubungan erat dengan anggota JI di Pekanbaru dan Dumai; hubungan keluarga dan apa yang dapat disebut ikatan alumni Ngruki-Darusyahada.

    Noordin dan Azhari kedua-duanya aktif di wakalah Johor. Mereka terlibat erat dengan Pesantren Lukmanul Hakiem yang dibentuk pimpinan JI di Johor sebagai pusat perekrutan kader pada awal 1990-an. Noordin mulai mengajar di sana pada 1994, dan Azhari menjadi bagian dari kelompok pengajian yang dibentuk Abdullah Sungkar, pendiri JI, jauh sebelumnya. Mohamad Rais dan Moh. Ikhwan, dua orang yang kemudian bergabung dengan tim Marriott, kedua-duanya belajar di Pesantren Lukman al-Hakiem ketika Noordin berada di sana.

    Hubungan keluarga juga penting. Ketika Tony Togar bermaksud mengeluarkan bahan peledak dari rumahnya, JI menelepon saudara Heru Setiawan—seorang anggota JI dari Jawa Timur yang saat itu bekerja di Semarang bersama Mustofa, kepala satuan khusus JI. Saudara Heru itu mengatakan kelompok itu boleh menitipkan bahan peledak tersebut di rumahnya di Dumai.

    Tapi itu satu contoh saja dari hubungan keluarga yang mengikat mereka bersama. Kepala JI di Pekanbaru, yang terlibat dalam bom malam Natal 2000 dan kemudian juga dalam bom Marriott, adalah mertua Joni alias Idris, seorang pelaku bom Bali yang juga ikut membantu pelaksanaan bom Marriott. Mohamad Rais kawin dengan saudara perempuan seorang anggota JI di Malaysia, dan ayahnya juga terlibat. Ikatan inilah yang menjamin bahwa para anggota tim yang buron setelah ledakan tidak sulit mendapat nafkah hidup sehari-hari.

    Hubungan sekolah merupakan jaringan lainnya. Pada Maret 2002 ketika Moh. Rais terpaksa meninggalkan Malaysia setelah ipar laki-lakinya ditangkap karena terlibat suatu perkara, Noordin muncul membantunya membuka usaha bengkel reparasi di Bukittinggi. Di tempat ini, Rais, menurut dokumen pengadilan, menyimpan dana sekitar 40 ribu ringgit Malaysia untuk membiayai kegiatan JI.

    Ada dua jaringan lagi di Indonesia yang mungkin dimanfaatkan Azhari dan Noordin, walaupun jaringan tersebut tidak begitu menonjol perannya dalam bom Marriott, yaitu alumni Mindanao dan para veteran konflik di Ambon dan Poso. Siapa pun yang pernah bertempur di Ambon bersama Laskar Mujahidin, atau di Poso bersama Laskar Jundullah, Mujahidin Kompak, atau berbagai kelompok lainnya, bisa direkrut. Begitu juga setiap orang Indonesia yang pernah menerima pelatihan di Mindanao pada periode 1997-2003, apakah ia anggota JI atau bukan, dapat dijadikan sumber untuk mencari dukungan, tempat bersembunyi, atau bantuan lain, oleh Azhari dan Noordin.

    Kita tidak tahu dengan pasti peran apa yang dimainkan komando sentral atau qiadah markaziyah JI dalam bom Marriott, tapi tampaknya ada semacam keterlibatan tokoh-tokoh senior JI di luar Noordin dan Azhari. Pada Juni 2003, misalnya, ketika rencana bom Marriott sudah bergulir, Noordin dan Azhari mengadakan pertemuan dengan Abu Dujana dan Basyir alias Qotada, orang-orang yang hampir pasti menjadi bagian dari komando sentral. Abu Dujana pernah menjadi guru di Pesantren Lukmanul Hakiem, tempat ia bekerja erat dengan Noordin.

    Qotada terlibat dalam pelatihan suatu unit pasukan khusus JI pada 2003. Unit pasukan khusus itu dirancang untuk membangun kembali kepakaran JI, terutama di bidang pembuatan bom, yang telah dirusak dengan penangkapan-penangkapan yang terjadi setelah bom Bali. Dari Januari sampai Juni 2003, pada saat Qotada berunding dengan Azhari dan Noordin mengenai rencana mereka, ia tengah terlibat dalam upaya mengkoordinasi dan melatih satuan khusus tersebut dengan tujuan membangun kemampuan jihad melawan Amerika, dan menetapkan sebagai target operasinya bank-bank swasta, aset ekonomi orang-orang asing, terutama Amerika, tempat maksiat seperti diskotek dan bar, serta markas besar polisi. Tidak jelas bagaimana pemilihan sasaran ini akan meningkatkan kemampuan untuk melakukan jihad, tapi suatu tim khusus telah dibentuk untuk "rekayasa"—atau dengan kata lain membuat bom.

    Untungnya, polisi berhasil menangkap beberapa tokoh kunci yang terlibat dalam upaya ini setelah mereka mengincar suatu cabang Bank Central Asia di Jakarta.

    Pada akhir Agustus di Bandung, Qotada dan Abu Dujana bertemu lagi dengan pelaku bom Marriott yang saat itu menjadi buron. Kemungkinan besar pertemuan tersebut antara lain untuk mengevaluasi operasi Marriott, karena JI selalu dengan cermat mengevaluasi kinerjanya dan belajar dari kesalahan-kesalahannya.

    Sekarang, terlalu dini untuk mengetahui luasnya keterlibatan JI dalam ledakan paling akhir, yaitu bom Kuningan. Azhari dan Noordin jelas anggota JI, dan dalam kasus Marriott mereka bekerja terutama melalui struktur sel JI di Sumatera dengan keikutsertaan beberapa anggota dari Pulau Jawa.

    Tapi banyak yang sudah terjadi sejak Marriott. JI telah semakin melemah, struktur administratifnya, keuangannya, dan logistiknya semua sudah rusak parah. Azhari dan Noordin mungkin sudah tidak dapat lagi mengandalkan jaringan tertentu tersebut dengan cara sama seperti dahulu. Lebih penting lagi, perpecahan dalam tubuh JI antara kelompok yang pro dan yang anti-pengeboman hampir pasti sudah melebar. Azhari dan Noordin kemungkinan besar sudah semakin terisolasi dari mainstream JI, bila istilah tersebut dapat diberikan terhadap suatu organisasi teroris. Sebagai warga negara Malaysia, kedua orang ini mempunyai kaitan yang erat dengan Hambali dan kelompok pimpinan Hambali yang paling terilhami oleh fatwa yang dikeluarkan Usamah bin Ladin pada 1998, yang menganjurkan dilancarkannya serangan terhadap Amerika dan antek-anteknya.

    Banyak pihak di kalangan JI tidak sepakat dengan jihad semacam ini dilakukan di bumi Indonesia. Berbeda dengan Ambon dan Poso, banyak kalangan JI yang berpendapat bahwa menjadikan orang-orang sipil sebagai target, bahkan sipil yang kafir pun, haram hukumnya menurut agama. Itu juga tidak strategis karena ia mengacaukan agenda jangka panjang JI. Apabila tentangan terhadap pendekatan cara Hambali sebenarnya telah meningkat selama tahun terakhir ini, Azhari dan Noordin akan menemui kesulitan yang semakin besar dalam mengandalkan diri pada struktur JI seperti yang mereka temukan dalam bom Marriott. Tapi siapa yang membantu mereka? Inilah pertanyaan yang harus ditemukan jawabannya oleh para penyelidik.

    Tapi sayang, tidak sedikit orang di Indonesia yang bersedia menjadi pelaku bom bunuh diri. Banyak orang mengira bahwa tidak mungkin di antara berbagai budaya di Indonesia ada yang mendorong perilaku seperti itu. Bagaimanapun, beberapa orang muda menemukan ide mati syahid itu menarik karena bagi mereka itu merupakan puncak pengorbanan bagi keyakinan yang mereka anut dalam menyerang musuh yang tidak dapat dilawan dengan cara-cara biasa. Orang-orang ini bukan individu dalam keadaan putus asa, gagal, atau kehilangan arti kehidupan. Bagi mereka, ini adalah tindak yang positif, jalan menuju kemuliaan.

    Situs Hamas dalam bahasa Indonesia menyebut bahwa penghormatan yang diberikan kepada pelaku bom bunuh diri di daerah-daerah pendudukan dan Chechnya, kabarnya, telah memberikan inspirasi kepada beberapa anak muda yang mudah terpengaruh di Indonesia. International Crisis Group menerima informasi bahwa anak-anak muda di Ambon dan Poso menjadi radikal setelah menyaksikan teman-teman atau anggota keluarganya dibunuh. Merekalah yang terutama mudah terbujuk untuk direkrut.

    Satu hal lagi. Dalam peristiwa bom Marriott, Azhari mengendarai mobil penuh bahan peledak, sedangkan Asmar Latin Sani, pelaku pengeboman, duduk di sampingnya sampai mereka tiba dekat sekali dengan Hotel JW Marriott. Kemudian dengan tenang Azhari keluar mobil, sementara Asmar mengambil alih kemudi. Azhari naik membonceng sepeda motor yang sudah menunggu, dan masih berada tidak jauh ketika ledakan itu terjadi. Apabila polanya sama seperti dahulu, Azhari kemungkinan besar berada tidak jauh dari gedung Kedutaan Besar Australia sehingga bisa memantau hasil pekerjaannya.

    Di Jakarta saat ini banyak dibicarakan soal pentingnya koordinasi intelijen, penguatan hukum, dan pemberian kekuasaan menangkap dan menahan yang lebih besar kepada instansi selain polisi.

    Langkah yang pertama jelas berguna. Langkah yang kedua mungkin perlu atau mungkin juga tidak perlu. Saya kira Indonesia memiliki perangkat hukum yang diperlukannya. Langkah yang ketiga, dalam iklim sekarang ini, bisa berbahaya.

    Kebutuhan yang lebih nyata adalah melihat semua ini bukan sekadar masalah keamanan. Ini merupakan masalah kebijakan publik—untuk menentukan bagaimana kegusaran dan kemarahan serta pencarian "amalan" agama yang mendorong anak-anak muda untuk melakukan tindak bunuh diri tersebut dapat disalurkan ke dalam pengejaran amal yang lebih konstruktif.

    Mengapa dan di mana ideologi jihad itu mengakar? Untuk itu, kita harus mengetahui lebih banyak mengenai siapa yang telah direkrut dan bagaimana mereka direkrut. Mengejar para pelaku memang penting, tapi tugas yang harus diselesaikan jauh lebih besar. Ini bukan suatu masalah yang dapat dibiarkan di tangan instansi keamanan saja.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus