Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga kali bom besar membelah negeri kita: Bali, Marriott, lalu Kuningan. Peristiwa yang sulit diduga waktu dan tempat kejadiannya tapi tak sulit dipelajari cara mengantisipasinya. Pengalaman bom Bali dan Marriott ternyata tak menjadikan kita makin cakap dalam menanggulangi dampak ikutan yang menyertai tragedi bom.
Bertahun-tahun terlena dengan slogan "aman dan terkendali", kita menjadi imun terhadap teror bom. Beberapa bulan setelah bom Bali atau Marriott, banyak orang bersungut-sungut karena harus antre panjang untuk melewati pemeriksaan polisi ketika akan masuk mal atau plaza. Semakin lama, pemeriksaan aparat terhadap pengunjung juga makin kendur. Hari-hari ini kita memang perlu membuka tas dan dompet di hadapan petugas, tapi hampir pasti dua bulan ke muka kita bisa lenggang-kangkung masuk plaza.
Pemberlakuan status siaga satu oleh polisi tidak pernah sampai ke masyarakat, apalagi dengan detail petunjuk pelaksanaannya. Penjelasan elemen penyelenggara negara biasanya sepotong-sepotong. Pengetahuan baru kita sekarang adalah: kalau mau menerima orang kos di rumah, kita harus memeriksa KTP dan surat penting lain. Kalau mencurigakan, lapor polisi.
Adakah yang menjelaskan dengan rinci apa jabaran dari mencurigakan? Apakah mencurigakan berarti ada orang yang wajahnya mirip teroris? Lalu seperti apa tampang teroris itu? Ataukah mencurigakan berarti orang kos yang jarang keluar kamar kecuali untuk salat di musala? Atau jika ada orang yang mudah membayar lunas uang kosnya di awal? Tak ada.
Bandingkan dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat pasca-peristiwa 11/9. Pemerintah Amerika melarang warga negaranya bepergian ke negara-negara tertentu. Pemeriksaan ekstraketat berlaku di bandar-bandar udara. Jangan pernah meninggalkan tas tangan apalagi koper di bandara karena dalam hitungan menit tas itu akan diambil petugas. Pasca 11/9, Bandar Udara Heathrow, London, tak lagi menyediakan keranjang sampah karena dikhawatirkan menjadi tempat teroris meletakkan bom. Petugas kebersihanlah yang akan mendatangi mereka yang akan membuang sekadar bungkus permen atau sisa hotdog. Kita boleh mencibir mereka paranoid, tapi itulah yang terjadi.
Rasanya ada yang salah dengan sistem peringatan dini yang diterapkan di Indonesia, karena tidak berdampak bagi warga. Philip Zimbardo, berdasarkan studi yang intens tentang sistem peringatan dini, menjelaskan beberapa syarat agar sistem ini berjalan efektif.
Pertama, sumber yang mengeluarkan peringatan harus kredibel, bisa dipercaya, dan kalau mungkin punya keahlian. Pada komponen ini prestasi kita carut-marut. Siapa yang seharusnya menyampaikan peringatan "hati-hati menerima orang yang hendak kos di rumah kita"? Polisi, presiden, menteri, atau pakarkah?
Isi pesan, kalaupun ada, tidak dibungkus dalam kerangka yang mudah dipahami masyarakat. Jangan heran bila masyarakat lebih sering dibuat bingung dan lebih percaya kata sahibul hikayat. Belum lagi kita bicara tentang isi pesan yang biasanya tidak detail, berbau imbauan saja, sehingga boleh dituruti boleh juga tidak.
Kedua, peringatan harus terfokus pada kejadian spesifik. Mengantisipasi apa yang bisa dilakukan masyarakat pasca-serangan bom jauh lebih mungkin ketimbang mengantisipasi kapan terjadinya serangan. Pada titik ini, panduan detail tentang apa yang harus dilakukan jika bom meledak di sekitar kita sangat diperlukan. Bagaimana cara menolong korban? Bagaimana menyelamatkan diri ketika asap hitam pekat membubung dan kaca runtuh? Ke mana sebaiknya kita berlari? Kita selalu bergerak reaktif seperti mobil pemadam kebakaran yang akan datang setelah ada laporan api menyala. Tak tersedia informasi memadai untuk melakukan tindakan mandiri pada saat serangan.
Ketiga, sistem peringatan dini hendaknya didesain untuk memotivasi masyarakat bergerak sebagai kelompok. Hal ini lebih dulu sudah menjadi trade mark lembaga-lembaga swadaya masyarakat ketimbang lembaga pemerintah ataupun lembaga keamanan. Kita boleh berbangga melihat kekompakan warga Jakarta saat menghadapi banjir bandang ataupun dalam menjaga keamanan lingkungan pasca-kerusuhan Mei. Dalam hal ini masyarakat sudah lebih maju daripada penyelenggara negara.
Keempat, sistem peringatan dini haruslah berisi satu set tindakan yang bisa dilakukan masyarakat. Semacam prosedur operasi standar (SOP). Sejauh ini SOP untuk menghadapi Kolor Ijo jauh lebih detail dan bisa dipahami masyarakat, misalnya dengan ramai-ramai memasang potongan bambu kuning di pintu masuk rumah. Mungkin saja telah tercipta beragam-ragam SOP menghadapi bencana, termasuk bom. Tapi di manakah benda itu? Siapa yang bisa menyosialkan secara gamblang, jernih, dan mudah dipahami khalayak?
Mengharapkan negara untuk mengatasi ini semua mungkin terlalu berlebihan. Peringatan dini sejatinya bisa dilakukan oleh anggota masyarakat sendiri (community). Dalam kasus pengamanan lingkungan pasca-kerusuhan Mei ataupun menghadapi bencana banjir Jakarta, masyarakat bisa bahu-membahu.
Bom tentu saja peristiwa yang jauh lebih besar, sehingga dibutuhkan sistem peringatan dini yang lebih kompleks dan terpadu. Masyarakat dan pemerintah perlu bekerja sama. Ketiga bom besar rasanya jauh dari cukup bagi kita untuk berbuat sesuatu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo