Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Sekadar Berganti Jubah

Revisi Rancangan Undang-Undang Pornografi hanya mengubah nama. Isinya tetap penuh persoalan.

29 September 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KITA tak tahu lagi apakah harus putus asa, marah, atau tertawa geli membaca Rancangan Undang-Undang Pornografi terbaru. Memang rancangan itu kini berganti jubah, tempo hari disebut Rancangan Undang-Undang Anti-Pornografi dan Pornoaksi, dan kini menjadi Pornografi. Isinya yang semula 93 pasal kini menjadi 44 pasal. Tetapi isinya tetap saja mengandung banyak pasal yang kontroversial dan berbahaya. Pertanyaannya: sejauh mana masyarakat akan membiarkan dan mengizinkan negara merambah wilayah pribadi?

Pertanyaan mendasar itu misalnya menyangkut definisi. Pasal 1 mendefinisikan pornografi sebagai ”materi-materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara bunyi, gambar bergerak... yang dapat membangkitkan seksual.…” Kalimat ”yang dapat membangkitkan seksual” mengandung masalah besar, karena ukuran ”kebangkitan” itu tentu saja berbeda untuk setiap individu. Tak terbayangkan pula bagaimana cara memeriksa setiap orang yang ”seksualnya bangkit”. Perlu lembaga baru bernama direktorat polisi moral?

Pasal 4, 5, 10, dan 14 juga bermasalah. Pasal 4 antara lain melarang orang ”memproduksi, memuat, memperbanyak... ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan....” Akan sulit sekali menafsirkan arti ”mengesankan ketelanjangan” itu. Apakah mengenakan baju renang termasuk ”mengesankan ketelanjangan”? Jangan-jangan adegan film iklan petinju Chris John atau Ade Rai bertelanjang dada dengan keringat menetes juga akan dilarang karena dianggap bentuk ketelanjangan yang mengganggu syahwat.

Ada lagi pasal yang bunyinya juga menimbulkan tanda tanya, yakni pasal 14: ”pembuatan, penyebarluasan dan penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan untuk kepentingan dan memiliki nilai seni dan budaya; adat-istiadat; dan ritual tradisional”. Apa gerangan yang dimaksud dengan ”materi seksualitas”? Lalu apakah karya seni—tari, teater, film, atau sastra—yang mengandung ”materi seksualitas” (apa pun itu definisinya) tadi berarti masuk kategori ”pornografi”? Banyak masalah akan timbul apabila tradisi ritual di berbagai daerah di Indonesia juga dianggap pornografi oleh pemerintah dan siapa pun yang mendukung rancangan ini.

Yang paling mengerikan adalah pasal 21, yang berbunyi: ”masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.”. Ini pasal berbahaya. Tanpa Undang-Undang Pornografi saja sudah ada kelompok masyarakat yang berani merusak tempat-tempat hiburan. Dengan lahirnya pasal ini, Indonesia bukan saja secara resmi mendukung kesewenang-wenangan, melainkan juga mengesahkan warganya main hakim sendiri.

Satu-satunya bagian dalam Rancangan Undang-Undang Pornografi yang kami dukung adalah Bab III: Perlindungan Anak. Bagian ini tak bisa ditawar, walaupun bisa dimasukkan ke aturan yang lain, misalnya Undang-Undang Perlindungan Anak.

Secara umum, meskipun sudah direvisi, tetap saja rancangan ini menganggap orang Indonesia begitu obsesif terhadap kegiatan seksual. Sebegitu obsesifnya sehingga perumusnya berpikir bahwa manusia Indonesia harus dibuat bermoral dengan banyak pasal mengerikan. Sepertinya rancangan ini tidak memberikan peluang kepada fungsi agama, keluarga, dan institusi pendidikan untuk mengurus moral masyarakat. Lebih jauh lagi, rancangan ini seakan mengesahkan langkah negara memasuki dan mengatur wilayah pribadi warga negaranya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus