Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Sekali Lagi, tentang Kapur

13 Juni 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jamal D. Rahman
Sastrawan

Ada bahasa Indonesia ”asli” dalam Al-Quran, yaitu kata kâfûr, artinya kapur, kapur barus, atau kamper. Itu terdapat dalam QS 76: 5: Dan (di surga) orang-orang saleh akan minum, dari gelas, sejenis minuman yang campurannya adalah kapur (barus). Dari konteks ayat tersebut jelas bahwa kapur barus merupakan sesuatu yang mewah dan istimewa. Bagaimana dan kenapa Al-Quran menyerap kata yang berasal dari daerah kita itu?

Tulisan Agung Yuswanto di rubrik ini (”Kosakata Arab dalam Bahasa Indonesia”, Tempo, 9-15 Agustus 2010) sempat menyebut kata kapur yang tercantum dalam Al-Quran. Tapi saya ingin membahas sejarahnya lebih dalam lagi.

Sejak abad ke-4 sampai abad ke-10 Masehi atau sesudahnya, kapur barus atau kamper merupakan barang komoditas di sebagian besar dunia, dari Cina sampai kawasan Laut Tengah (meliputi Indocina, Asia Tenggara, India, Persia, Timur Tengah, bahkan Afrika). Sumber tertua yang menyebutkan kamper adalah catatan seorang pedagang Cina awal abad ke-4 Masehi, yang menelusuri Jalur Sutra. Di Barat, catatan tertua tentang kamper berasal dari tulisan seorang dokter Yunani yang tinggal di Mesopotamia, bernama Actius (502-578). Sementara itu, kronik Dinasti Liang (502-557) di Cina mengaitkan kamper dengan sebuah daerah yang nanti dikenal dengan Barus.

Asal-usul istilah kamper sendiri sulit dilacak. Para ahli berbeda pendapat soal ini. Namun yang paling masuk akal adalah kesimpulan Claude Guillot dkk (2009), yang pernah melakukan penelitian arkeologis di Barus. Menurut mereka, istilah kapur atau kamper berasal dari ”Asia Selatan atau Asia Tenggara, kemungkinan besar dari Asia Tenggara karena lebih dekat dari sumber-sumber produksinya”.

Ada tiga daerah utama penghasil kamper di Asia Tenggara, yaitu Sumatera, Semenanjung Melayu, dan Borneo. Daerah di Sumatera yang sering disebut-sebut dalam berbagai sumber tertulis sejak abad pertama Masehi adalah Barus, suatu daerah di pantai barat Sumatera, terletak antara Sibolga dan Singkel, yang sekarang masuk wilayah Sumatera Utara. Tapi, dalam sejarahnya yang panjang selama berabad-abad, barangkali Barus tidak hanya menunjuk pada daerah Barus yang kita kenal dewasa ini. Barangkali dulu ia adalah sebuah daerah di sekitar Aceh atau daerah utara Sumatera. Yang pasti, Barus adalah sebuah daerah di bagian utara Sumatera yang sangat terkenal di dunia sejak berabad-abad lalu sebagai penghasil kamper atau kapur. Sejak abad ke-6, orang Cina sudah menghubungkan kamper dengan Barus sebagai penghasil kamper itu sendiri. Tidak mengherankan kalau sampai sekarang kita mengenal istilah kapur barus, yang berarti kamper dari Barus.

Catatan tertua tentang Barus ditulis oleh Ptolemaeus, seorang filsuf Alexandria abad pertama Masehi. Jika benar bahwa Barus yang disebut Ptolemaeus adalah daerah penghasil kapur atau kamper, bisa dipastikan bahwa kapur (dari) Barus dikenal setidaknya sejak abad pertama Masehi, bahkan di Afrika sana. Bahkan mungkin pada abad-abad sebelumnya. Diduga kamper adalah salah satu bahan (kimia?) untuk memumikan jenazah para fir’aun di Mesir. Jika ini benar, kapur barus tentu saja merupakan barang yang sangat berharga.

Terutama dari tulisan para ilmuwan Arab (muslim) abad ke-8-9 Masehi, diketahui bahwa kapur digunakan juga untuk obat-obatan dan wewangian. Ibnu Sina, misalnya, menguraikan secara terperinci bagaimana kapur barus digunakan sebagai obat dan wewangian, lengkap dengan cara menyuling kapur barus itu sendiri (Claude Guillot dkk, 2000). Uraian para ilmuwan muslim ini tentu saja menunjukkan arti penting dan kegunaan kapur barus, yang membuatnya jadi barang komoditas paling dicari di dunia pada masa itu.

Kapur barus inilah salah satu hal yang menarik para pedagang Cina, India, Parsi, Arab, Turki, dan Eropa datang ke Barus. Seiring dengan kemajuan sarana transportasi, khususnya transportasi laut, setidaknya sejak abad ke-7 di sini sudah terbentuk komunitas Arab, juga Cina dan India, sebagai daerah-daerah yang dilalui jalur perdagangan internasional. Semuanya berburu kapur barus—di samping barang komoditas lain, seperti emas dan lada—sebagai komoditas yang sangat mahal dan sangat dibutuhkan pasar dunia.

Sampai di sini kiranya kita bisa mengerti, kapur barus merupakan barang mewah dan istimewa di dunia, termasuk di Arab, sebelum Al-Quran diturunkan pada abad ke-7. Tidaklah mengherankan kalau Al-Quran menggunakan istilah (kâfûr) tersebut untuk menggambarkan keistimewaan dan kemewahan minuman orang-orang saleh di surga.

Sebagaimana disimpulkan Guillot, kata kapur berasal dari Asia Tenggara sebagai sumber penghasil kapur itu sendiri. Kemungkinan besar berasal dari Barus. Maka kapur adalah bahasa Indonesia yang diwarisinya dari bahasa Melayu kuno atau ”nenek moyang”-nya yang lebih tua lagi. Tentu saja ini post factum, karena Al-Quran diturunkan pada abad ke-7, sedangkan bahasa Indonesia baru lahir pada awal abad ke-20. Tapi, bagaimanapun, jika semua itu benar, inilah satu hal: bahasa kita turut memperkaya bahasa asing, bahkan bahasa Al-Quran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus