Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penangkapan hakim Syarifuddin Umar oleh petugas Komisi Pemberantasan Korupsi benar-benar menjadi tamparan keras bagi lembaga peradilan. Dari rumahnya di kawasan Sunter, Jakarta Utara, awal Juni lalu, penyidik KPK menyita uang tunai Rp 392 juta, US$ 116.128, Sin$ 245 ribu, serta belasan ribu mata uang Kamboja dan Thailand.
Dengan uang sebanyak itu, terbit dugaan bahwa Syarifuddin Umar tak bekerja sendiri. Ada kolega bahkan atasannya yang mungkin terlibat dalam praktek lancung itu. Sebelumnya, berbagai kasus mengindikasikan masih bercokolnya mafia hukum di lembaga peradilan.
Sebut saja ihwal hakim Muhtadi Asnun di Pengadilan Negeri Tangerang, yang menerima uang dari terdakwa Gayus Tambunan. Belakangan muncul pula tuduhan dari bekas Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie tentang ”peradilan sesat” dalam kasus bekas Ketua KPK Antasari Azhar.
Tak pelak, Mahkamah Agung menjadi sasaran kritik berbagai pihak karena dianggap gagal mereformasi lembaga peradilan. Namun Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa menangkis berbagai tuduhan miring yang dialamatkan ke lembaga para pengadil itu. ”Ini orang bicara tanpa data,” katanya dengan nada tinggi.
Mahkamah Agung, menurut Harifin, telah melakukan upaya dari hulu sampai hilir sejak rekrutmen sampai pengawasan untuk mencetak hakim bersih. Tapi, dia bertamsil, seperti keluarga dengan sepuluh anak, bisa saja ada anak yang nakal meski orang tuanya telah mendidik dengan baik.
Di sela kesibukannya, Harifin menerima Yandi M. Rofiyandi, Anton Aprianto, dan fotografer Jacky Rachmansyah dari Tempo di kantornya, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Kamis pekan lalu. Selama dua jam dia menjelaskan berbagai persoalan tentang hakim di Indonesia. Harifin berharap kasus Syarifuddin menjadi masalah terakhir yang dia hadapi sebelum memasuki masa pensiun pada Maret 2012. ”Saya ingin pensiun tenang dan lembaga hukum kita kukuh.”
Mengapa kasus seperti hakim Syarifuddin Umar kembali terjadi dan sering berulang?
Kasus ini memang pukulan berat bagi lembaga peradilan, karena kami sekarang sedang membenahi dan melakukan perubahan menuju lembaga peradilan yang lebih baik. Contohnya adalah pencanangan blueprint dan visi Mahkamah Agung untuk menciptakan lembaga peradilan agung. Kejadian hakim Syarifuddin menjadi pukulan telak bagi Mahkamah Agung.
Kasus ini menunjukkan bahwa hakim masih rawan disuap?
Kecelakaan bisa terjadi di mana-mana. Ibaratnya kita punya sepuluh anak, mungkin tidak semuanya jadi orang. Ibarat lain, bunga pohon mangga tak semua jadi buah. Ada yang busuk dan lain-lain. Kami tak bisa mendalilkan bahwa tempat lain juga terjadi, tak hanya di Mahkamah Agung. Ini adalah kejadian yang tak bisa ditoleransi oleh Mahkamah Agung.
Bagaimana upaya Mahkamah Agung memberantas hakim nakal?
Saya menekankan faktor pembinaan. Kalau pembinaan berhasil, pengawasan lebih mudah dan ringan. Tapi, dalam suasana seperti ini, kami harus meningkatkan pembinaan dan pengawasan secara bersamaan. Dalam beberapa tahun ini, kami sudah melakukan penindakan cukup keras, toh masih ada juga yang melanggar. Dalam dua tahun terakhir, kami memberikan penguatan pengadilan tingkat banding untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.
Berapa banyak sanksi yang telah diberikan kepada hakim yang melanggar hukum?
Pada 2007, kami menerima 505 surat pengaduan dan 350 ditindaklanjuti. Dari situ ada 15 hakim terbukti melanggar. Pada 2008, ada 1.919 pengaduan, 710 diproses, dan 38 hakim kena sanksi. Ada peningkatan lebih dari dua kali lipat. Pada 2009, pengaduan 2.140, diproses 891, dan 78 hakim kena sanksi. Naik dua kali lipat lagi. Pada 2010 persentasenya menurun meski surat pengaduan dan jumlah hakim kena sanksi bertambah. Sampai Mei 2011, hakim yang dijatuhi sanksi 21 orang. Saya berharap hingga akhir tahun ini tak sampai 50 kasus. Jadi apa yang kita lakukan dua tahun lalu ada peningkatan.
Data itu menunjukkan pengawasan memang berjalan, tapi orang sering melihat kasus hakim nakal tetap muncul sehingga muncul pernyataan reformasi peradilan telah gagal. Bagaimana tanggapan Anda?
Ini orang berbicara kadang tak punya data. Kalau ada pimpinan lembaga negara menyatakan hal seperti itu kan dampaknya luas. Pernyataan seperti itu pantas dilakukan oleh pimpinan LSM. Kalau dikatakan gagal total, berarti tak ada lagi hakim bersih di negeri ini. Ini sangat menghina lembaga peradilan. Survei LDF dari Australia menunjukkan 70 persen orang yang pernah beperkara di pengadilan negeri dan pengadilan agama merasa puas terhadap pelayanannya. Ini orang luar lho yang melakukan survei. Tak mungkin bohong.
Bila lembaga peradilan dianggap gagal, berarti pimpinannya juga....
Iya. Kalau disebut kegagalan pengadilan, artinya kegagalan pimpinan. Padahal, pada awal 2010, di Palembang, Mahkamah Agung mendapat penghargaan sebagai institusi yang punya komitmen perlindungan terhadap pers. Pada tahun yang sama, Komisi Informasi Publik memberikan penghargaan kepada Mahkamah Agung sebagai institusi yang mensponsori keterbukaan informasi. Kalau dikatakan gagal, mana ada orang mau memberi penghargaan?
Bagaimana Mahkamah Agung melakukan proses rekrutmen untuk mencegah membiaknya hakim nakal?
Kami melakukan rekrutmen dengan saringan ketat. Kami menggunakan outsourcing perguruan tinggi yang membuat soal umum. Sedangkan substansi hukum dibuat oleh hakim agung. Sesudah lulus, ada psikotes dan wawancara. Jadi ini untuk menghindari calon tak kompeten. Paling tidak, inilah proses awal untuk mengurangi hakim melakukan perbuatan tercela.
Hakim Syarifuddin Umar sebelumnya dilaporkan membebaskan 29 anggota DPRD Luwu, Sulawesi Selatan, tapi Mahkamah Agung tak melakukan penindakan. Apakah Mahkamah Agung kecolongan?
Mahkamah Agung tidak kecolongan. Kami menerima semua laporan. Di Makassar, dia mengadili dan membebaskan 29 anggota DPRD. Saya selalu mengatakan putusan bebas bukan menjadikan hakim cacat. Putusan bebas bagian dari proses. Kalau hakim membebaskan terdakwa karena menerima suap, itu baru persoalan. Kalau dia membebaskan dengan argumentasi hukum dan tak ada intervensi, hakim tak bisa disalahkan.
Putusan kasus DPRD Luwu akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Agung....
Kasus itu sekarang masih kasasi. Ada satu yang diputus dan membatalkan putusan pengadilan Jeneponto.
Artinya, putusan hakim Syarifuddin salah?
Memang. Tapi itu satu prosedur. Kita tak bisa menganggap putusan keliru dinilai salah secara hukum. Tak bisa menghukum putusan. Karena itu adalah keyakinan dan pendapat sehingga tak boleh diadili. Yang bisa diadili adalah perbuatan, misalnya menerima suap, mengadakan pertemuan dengan pihak, dan lain-lain.
Bagaimana Anda menilai hakim Syarifuddin?
Dia dinilai cukup tegas. Misalnya ketika menjadi Ketua Pengadilan Negeri Jeneponto, daerah keras di Sulawesi Selatan. Sebelumnya perkara eksekusi di sana tak ada yang jalan mulus. Setelah menjadi ketua pengadilan Jeneponto, dia mampu menyelesaikan eksekusi yang tadinya berat. Saya kebetulan masih menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan.
Apakah eksekusi merupakan prestasi bagi hakim?
Bukan prestasi, tapi kewajiban. Tapi, kalau dilihat, sebelumnya tak mampu menyelesaikan sehingga bisa dikatakan hakim ini bisa menyelesaikan tugas dengan baik. Kami sudah punya rekam jejaknya. Setelah beberapa tahun di Makassar, dia berhak promosi dengan melihat track record. Tak ada laporan dia menerima suap karena perkara. Di Jeneponto berhasil. Dia juga mampu meredam gejolak yang terjadi di pengadilan, maka dipindah ke Jakarta Pusat.
Mengapa Syarifuddin gagal menjadi hakim pengadilan tindak pidana korupsi pada 2009?
Ketika itu ada usul mengangkat hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Semua persyaratan dipenuhi dan sudah setuju semua. Tapi banyak yang protes, seperti dari LSM, karena tak diumumkan siapa saja yang diangkat. Mestinya direktur jenderal mengumumkan ke publik pengangkatan hakim itu. Mahkamah Agung menyadari kekeliruan itu sehingga dibatalkan karena dianggap cacat. Lalu kita angkat orang lain.
Hakim Syarifuddin disebut-sebut sebagai anak emas Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Syahrial Sidik. Apakah Mahkamah Agung melihat adanya kemungkinan keterlibatan ketua pengadilan?
Biasanya kalau orang sudah jatuh itu muncul bermacam tuduhan. Itu hal lumrah. Karena ada tuduhan itu, kami turunkan tim yang menyelidiki apakah betul Syarifuddin mendapat keistimewaan. Ternyata merata. Tim tak melihat ada keistimewaan dari ketua pengadilan negeri terhadap hakim Syarifuddin.
Ada kabar Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat diganti?
Rotasi bukan dilakukan karena ada kasus ini. Lagi pula, bukan hanya Jakarta Pusat. Ketua-ketua pengadilan kelas IA yang sudah hampir tiga tahun akan dirotasi. Tak ada kaitannya dengan kasus ini.
Mengapa hakim Syarifuddin bisa bertindak seperti itu? Apakah ada celah di sistem atau hanya kenakalan individu?
Sudah saya katakan, seperti punya anak, ada yang baik dan nakal. Tapi orang tua mempunyai kewajiban membina. Kami melakukan pembinaan, sosialisasi kode etik. Kami melarang hakim bertemu dengan pihak yang beperkara. Tidak boleh menerima tamu. Tapi kami tak mungkin mengikuti sampai kamar mandi atau tempat tidur. Jadi memang terpulang pada keimanan masing-masing.
Padahal para hakim sudah menikmati kenaikan remunerasi....
Remunerasi baru berjalan 70 persen. Gaji hakim sesudah remunerasi sekarang Rp 8-9 juta. Tapi sering saya katakan bahwa gaji kecil tak bisa dijadikan alasan melakukan perbuatan tercela. Apabila seseorang menerima profesi hakim, tentu harus siap menanggung segala risikonya. Kalau menerima gaji kecil berarti pilihan.
Dengan gaji sebesar itu, apakah lazim hakim Syarifuddin memiliki uang senilai Rp 3 miliar di rumahnya?
Menurut saya menjadi pertanyaan, tapi harus dibuktikan. Mahkamah Agung tak akan melindungi hakim Syarifuddin. Silakan buktikan apakah memang uang itu dari perkara atau bukan.
Bekas Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie menyebut ada indikasi peradilan sesat dalam perkara Antasari Azhar. Apa tanggapan Anda?
Kalau dikatakan sesat, tunjukkan kesesatannya di mana. Jangan dia mengambil bagian-bagian yang dianggap benar seperti forensik dan SMS saja. Dia tidak melihat ada proses dan bukti lain yang lebih kuat untuk mendukung putusan itu. Jadi, kalau dikatakan peradilan sesat karena hanya melihat sebagian yang dianggap benar, hancurlah proses ini.
Apa yang akan Anda lakukan setelah pensiun? Akan mengikuti jejak Bagir Manan yang menjadi Ketua Dewan Pers?
Saya sudah cukup. Malah menghitung hari sampai Maret 2012 itu kok rasanya makin lama. Saya ingin pensiun tenang dan lembaga yang saya tinggalkan kukuh. Saya sedih kalau saat saya terakhir ini ada hakim yang melakukan perbuatan tercela.
Harifin Andi Tumpa |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo