Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Sekali Merpati Sudah Itu Mati

Sudah selayaknya maskapai negara itu dibiarkan bangkrut. Bukan penyangga penerbangan perintis.

10 Februari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah harus menutup Merpati Nusantara Airlines. Kerugian perusahaan penerbangan milik negara ini sudah terlalu besar dan membebani keuangan negara. Langkah-langkah penyelamatan yang tengah dilakukan Kementerian Badan Usaha Milik Negara kecil kemungkinan mampu membuat Merpati kembali sehat. Dengan utang yang menumpuk, tak ada alasan mempertahankannya.

Pekan lalu, Menteri BUMN Dahlan Iskan menutup sementara Merpati untuk mencegah kerugian lebih parah. Penutupan ini merupakan langkah terakhir setelah dalam setahun belakangan Merpati semakin limbung: utangnya mencapai Rp 6,7 triliun, manajemen perusahaan amburadul, dan beban operasionalnya lebih besar daripada pemasukan. Dua bulan sebelumnya, Merpati menjual anak perusahaannya, Merpati Maintenance Facility, kepada PT Perusahaan Pengelola Aset.

Dahlan berharap, dalam tiga bulan ke depan, maskapai penerbangan ini mampu beroperasi kembali setelah dibenahi. Salah satu solusi yang diajukan Dahlan adalah menggandeng swasta untuk menyuntikkan modal dan memperbaiki manajemen. Namun, dengan utang segunung, perusahaan ini tak menawan buat kalangan swasta. Karena itu, Dahlan mengusulkan pembentukan anak perusahaan. Dengan berbagi saham di anak perusahaan itu, swasta tidak akan dibebani utang perusahaan induk.

Masalahnya, apakah solusi ini bisa menjadi jalan keluar. Sulit meyakininya. Negara sudah berkali-kali menggelontorkan modal tambahan untuk menyelamatkan Merpati yang hampir tenggelam, pada 2005, 2006, 2008, dan 2011. Injeksi modal baru diyakini akan mengulang kesalahan tahun-tahun sebelumnya.

Yang kita pertanyakan justru keinginan pemerintah mempertahankan Merpati. Memakai hitungan ekonomi apa pun, Merpati sudah seharusnya dinyatakan bangkrut. Penutupan Merpati mesti dilakukan karena dengan demikian negara tak harus terus menambal kerugian. Pada saat ini, biaya operasional Merpati mencapai Rp 150 miliar per bulan. Sedangkan pendapatan dari empat pesawat jet yang dimilikinya hanya Rp 20 miliar per bulan. Pemasukan dari pesawat-pesawat kecil yang melayani jalur "kurus" tak banyak. Tiap bulan kurang-lebih perusahaan ini harus nombok Rp 60 miliar.

Tugas Merpati sebagai penyangga penerbangan perintis juga tidak ada lagi. Kini, menurut catatan Asosiasi Maskapai Komersial Indonesia (INACA), hanya 10 persen jalur yang dimiliki Merpati merupakan jalur perintis ke daerah terpencil. Sedangkan 90 persen adalah jalur komersial yang seharusnya menguntungkan. Jalur-jalur perintis yang ditinggalkan Merpati kini digarap maskapai swasta, seperti Trigana dan Susi Air.

Jika Merpati tutup, pemerintah justru bisa membuat perusahaan baru yang sehat dan kembali menjalankan fungsi sebagai penyangga penerbangan perintis. Komposisinya boleh saja 50-50: separuh beroperasi di jalur gemuk, separuh lagi di jalur perintis. Sekarang banyak jalur perintis yang menghasilkan uang.

Membiarkan uang negara dipakai untuk menalangi Merpati sama artinya dengan memaksa rakyat Indonesia-termasuk orang miskin yang tak naik pesawat-"urunan" menyelamatkan maskapai yang dikelola dengan amburadul.

berita terkait di halaman 86

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus