Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Babad Tsunami di Tanah Rencong

Sejarah tsunami besar di Aceh membentang 7.500 tahun ke belakang. Tidak mustahil terulang di masa mendatang.

10 Februari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam kurun sejarah Indonesia modern, tsunami 2004 bisa dibilang merupakan bencana terdahsyat yang pernah menghantam Aceh. Namun gelombang laut raksasa yang merenggut ratusan ribu jiwa dan meluluh-lantakkan lanskap itu rupanya bukan tsunami besar perdana di Tanah Rencong. "Setidaknya sebelas tsunami besar telah terjadi di Aceh sejak 7.500 tahun lalu," kata Nazli Ismail, peneliti dari Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), kepada Tempo, Selasa tiga pekan lalu.

Ketua Jurusan MIPA Fisika Unsyiah ini mendasarkan ucapannya pada hasil analisis lapisan sedimen Gua Lhoong di Desa Meunasah Lhok, Kecamatan Lhoong, Aceh Besar. Bak kotak pandora, gua yang oleh warga setempat disebut Ek Gleuntie alias kotoran kelelawar itu menyimpan misteri paleotsunami atau tsunami purba dari Samudra Hindia. Jejaknya terekam dengan sangat baik pada lapisan sedimen di dalam gua.

Penelitian di Gua Lhoong bermula pada 2010. Kala itu, Nazli dan tim peneliti-gabungan dari Unsyiah, National University of Singapore, University of Pennsylvania, Bri­tish Geological Survey, James Cook University, Nanyang Technological University, dan Earth Observatory of Singapore-menyusuri gua-gua di sepanjang pantai barat Aceh. Mereka mencari gua yang sedimennya merekam jejak tsunami purba. Pencarian mereka berujung pada gua yang berjarak sekitar 60 kilometer dari Banda Aceh tersebut.

Siang itu Tempo menyambangi Gua Lhoong ditemani Fachrul dan Fauzi, dua mahasiswa semester akhir Fakultas MIPA Unsyiah yang ikut membantu tim peneliti. Dari luar, mulut gua tampak menganga selebar gawang sepak bola. Tingginya sekitar 15 meter. Cukup sulit menemukan gua yang tertutupi pepohonan dan semak belukar ini.

Di dalam gua terdapat ruangan seluas hampir tiga kali lapangan voli. Tingginya beragam, antara 10 dan 20 meter. Semakin ke dalam, gua horizontal ini semakin gelap. Hanya ada puluhan ekor kelelawar yang terbang lalu-lalang. Lantainya, berupa tanah bercampur guano atau kotoran kelelawar, benyai saat dipijak. Kami pun menghentikan langkah sekitar 20 meter dari mulut gua. "Di sini kami menggali," ujar Fachrul menunjuk ke sebuah lubang yang tertutup tumpukan kayu.

Lubang itu bukanlah sembarang lubang. Sedalam dua meter, lubang itu berukuran sedikit lebih luas dari liang makam. Dinding tanahnya berlapis-lapis warna. Dari cokelat muda sampai cokelat tua, dengan ketebalan yang berbeda-beda. Sekilas tampak seperti kue lapis. "Ini adalah titik penggalian paling sempurna yang merekam sedimen jejak tsunami purba di Aceh," kata Nazli.

Pola lapisan sedimen Gua Lhoong menggambarkan endapan yang tumpang-tindih. Ada yang berwarna cokelat terang, ada cokelat gelap, tertumpuk bergantian. Menurut Nazli, endapan cokelat terang merupakan pasir bercampur fosil cangkang biota laut. Pasir itu berasal dari dasar laut yang terangkat dan tersapu ke dalam gua oleh tsunami besar di masa lampau. Endapan itu lantas tertutup guano-berwarna cokelat gelap-dari kawanan kelelawar yang hinggap di dinding dan atap gua.

Setiap kali tsunami besar mengempas daratan, materi dasar laut, termasuk cangkang biota, terangkat dan terseret hingga masuk ke dalam gua. Endapan pasir yang tertumpuk di dasar gua itu di kemudian hari tertutup oleh guyuran guano. Proses itu berulang sampai endapan pasir dan guano saling tumpuk dan mengeras selama ribuan tahun. "Ada 7-11 lapisan yang terlihat," ujar Nazli.

Materi sedimen dari tiap lapisan itulah yang lantas dicuplik dan dibawa ke laboratorium untuk diteliti umurnya dengan analisis radiokarbon. Hasilnya, 11 tsunami besar pernah melanda Aceh pada 7.500-4.000 tahun lalu. Pemimpin penelitian Charles Rubin, seperti dikutip di situs Earth Observatory of Singapore, mengatakan masih ada beberapa tsunami besar sesudah itu. Hanya, jejaknya tidak terekam jelas pada sedimen akibat terkena erosi.

Tsunami 1393 dan 1450 termasuk yang "tidak tercatat" dalam sedimen Gua Lhoong. Padahal dua bencana besar itu berdasarkan catatan sejarah diyakini bertanggung jawab atas lenyapnya beberapa kerajaan di Aceh. "Yang ini sementara belum tampak di materi sedimen," kata Nazli. Lalu ada pula tsunami besar pada 1907, berpusat di Pulau Simeulue, yang jejaknya juga tidak terekam di sedimen gua.

Yang menjadi urusan rumit adalah menakar kekuatan tsunami purba. Sebab, jarak bibir pantai menuju gua mencapai 100 meter. Ditambah posisi mulut gua menyamping, tidak menghadap lurus ke laut, dan berada satu meter di atas air pasang setinggi lutut. Akibatnya, lantai gua terlindung dari sapuan ombak serta terjangan angin. "Hanya tsunami besar yang mampu menyemburkan pasir hingga ke dalam gua," katanya, memperkirakan tsunami itu hanya bisa dipicu oleh gempa berkekuatan di atas 8 skala Richter.

Hal lain yang masih agak kabur adalah mengenai interval antar-tsunami besar di Aceh. Menurut Nazli, jangka waktunya tidak dapat dipetakan secara pasti. Namun, dari hasil analisis sedimen, tim peneliti dapat mengetahui adanya tsunami besar sekitar 2.800 tahun sebelum gempa 2004. Dalam periode 500 tahun sebelum itu juga ada empat tsunami raksasa yang menerjang Tanah Rencong.

Lalu bagaimana dampak tsunami-tsunami besar itu? Rubin dan Nazli belum tahu pasti. Kue lapis geologi dari dalam Gua Lhoong tidak mengungkap fakta sejauh itu. Namun, dengan kekuatan gempa yang memicu tsunami besar pada saat itu, mereka memperkirakan dampaknya setidaknya sedahsyat tsunami 2004. "Dari temuan satu lapisan sedimen yang terdiri atas arang kayu, wilayah itu dulunya berupa hutan bakau," ujar Nazli.

Merekonstruksi kondisi Aceh di masa lampau, terutama pasca-tsunami, memang bukan perkara gampang. Pakar gempa dan tsunami Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Danny Hilman Natawijaya, mengatakan data lapisan sedimen saja tidak cukup untuk memperkirakan kekuatan gempa dan tsunami purba. Apalagi data itu diambil dari satu lokasi. Untuk mereka ulang kondisi lanskap masa lampau Aceh akibat tsunami, diperlukan data akurat tentang waktu dan kekuatan gempa saat itu.

Data paleoseismik atau gempa purba dapat diperoleh dari hasil analisis endapan pasir, pengangkatan koral, dan pergerakan lempeng melalui Global Positioning System. Jika magnitudo gempa sudah diketahui, kata Danny, tsunami yang ditimbulkan bisa dipelajari melalui pemodelan. "Termasuk dampak yang diakibatkan," ujarnya.

Lewat metode analisis pengangkatan koral mikroatol dan pemetaan pergerakan lempeng, misalnya, Danny dapat mengetahui sejumlah gempa besar di pesisir barat Sumatera sebelum 2004. Gempa-gempa itu berpusat di lokasi yang sama, pernah terjadi pada 960, 1390, dan 1450. Gempa 2004 memicu pengangkatan koral hingga 1,5 meter. Bandingkan dengan pengangkatan 3 meter akibat gempa 1450. "Kekuatan gempanya bisa lebih besar daripada gempa 2004," ucapnya.

Fakta itu terkonfirmasi dengan sejarah Aceh yang menyebutkan, sekitar 1450, Kerajaan Samudra Pasai hilang secara tiba-tiba. Lalu muncul Kerajaan Aceh Darussalam sekitar 1500. Menurut Danny, mengutip keterangan para ahli sejarah Aceh, Kerajaan Aceh Darussalam bukanlah penerus Samudra Pasai. "Tapi kerajaan yang baru sama sekali," ujarnya. Nah, lenyapnya kerajaan Islam pertama di Aceh tersebut diyakini akibat tsunami besar pada masa itu.

Gempa megathrust satu dasawarsa lalu di Aceh memang mengagetkan banyak ilmuwan. Sebab, zona tumbukan lempeng pemicu gempa berkekuatan 9,1 skala Richter itu tidur panjang selama ratusan tahun. Lhakadalah, begitu bangun langsung menyentak Bumi Nanggroe. Tak tanggung-tanggung, tsunami setinggi 30 meter menyapu rata provinsi di ujung utara Pulau Sumatera itu. Bekas sapuan gelombang laut raksasa itu masih membekas di dinding luar Gua Lhoong.

Baik Rubin beserta timnya maupun Danny tidak dapat memprediksi apakah gempa 2004 di Aceh bakal terjadi lagi. Namun mereka sepakat bahwa gempa adalah proses geologi yang berulang. "Gempa itu kan siklus. Di Aceh siklusnya sekitar 500 tahun," ucap Danny. Berkaca pada gempa besar yang mendahuluinya sekitar lima abad lalu, "Bukan mustahil gempa dan tsunami 2004 kembali terulang dalam 500 tahun," kata Rubin senada.

Mahardika Satria Hadi, Adi Warsidi (Aceh Besar)


Tsunami 2004
- Gempa Aceh pada 26 Desember 2004, pukul 06.58
- Kekuatan: 9,1 skala Richter
- Pusat: Zona subduksi lempeng Eurasia dan Indo-Australia di Samudra Hindia, kurang-lebih 160 kilometer sebelah barat Aceh, pada kedalaman 20 kilometer
- Tsunami: hingga setinggi 30 meter
- Daerah terkena dampak: Pantai Aceh, Sumatera Utara, Semenanjung Malaysia, Thailand, Bangladesh, Sri Lanka, India, Maladewa, serta pesisir timur Afrika (Somalia dan Kenya)
- Korban: 250-300 ribu jiwa

Tsunami Purba
Lini masa tsunami purba berkekuatan besar di Aceh:
7.500 tahun lalu (tahun 5500 sebelum Masehi)
7-11 lapisan sedimen --> 11 tsunami
4.000 tahun lalu (tahun 2000 sebelum Masehi)
3.200 tahun lalu (tahun 1200 sebelum Masehi)
--> 4 tsunami
2.800 tahun lalu (tahun 800 sebelum Masehi)
'1 tsunami
960 Masehi
1390
1450 --> Tsunami menyapu Kerajaan Samudra Pasai
4 Januari 1907 --> Tsunami dipicu gempa 7,6 skala Richter
2004
???

Mahardika Satria Hadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus