Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERATURAN Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Mahkamah Konstitusi terbit untuk menyelamatkan wibawa lembaga itu yang sudah runtuh. Dengan peraturan ini, bukan hanya mekanisme pemilihan hakim konstitusi, pengawasannya juga menjadi lebih ketat. Perpu yang kemudian disahkan Dewan Perwakilan Rakyat pada Desember lalu itu telah menambal bolong-bolong yang terdapat pada Undang-Undang Mahkamah Konstitusi sebelumnya.
Karena itu, terasa ganjil jika ada yang menggugat Undang-Undang Mahkamah "baru" ini, yang dibuat justru demi menjadikan Mahkamah lebih baik. Lebih mengherankan jika yang mempermasalahkannya kelompok pengacara dan dosen, mereka yang paham hukum dan semestinya mafhum dalam sistem demokrasi tidak boleh ada kekuasaan yang demikian besar sehingga sulit diawasi.
Pekan-pekan ini Mahkamah Konstitusi memasuki tahap akhir melakukan uji materi atas undang-undang yang mengatur diri mereka. Para pemohon menuding sejumlah pasal undang-undang tersebut melanggar konstitusi. Mereka mempersoalkan peran Komisi Yudisial yang terlibat dalam pemilihan hakim konstitusi, termasuk keterlibatan komisi tersebut dalam pengawasan para hakim.
Kita tahu, perpu itu lahir setelah tertangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Mantan anggota DPR itu ternyata selama ini "memproyekkan" gugatan sengketa pemilihan kepala daerah. Uang bermain di balik putusan sengketa kepala daerah yang panel hakimnya dipimpin Akil. Keguncangan publik atas "kejahatan putusan Mahkamah Konstitusi" ini yang mendasari Presiden mengeluarkan Perpu Nomor 1 Tahun 2013 tentang Mahkamah Konstitusi.
Sejumlah lubang dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah ditambal. Perpu mensyaratkan calon hakim konstitusi harus diseleksi oleh tim panel yang dibentuk Komisi Yudisial. Para calon berlatar belakang partai politikus mesti "pensiun" dari partai selama tujuh tahun sebelum bisa mencalonkan diri. Untuk mengawasi para hakim, dibentuk majelis kehormatan oleh Komisi Yudisial bersama Mahkamah Konstitusi.
Dengan segala pembenahan itu, kita bertanya mengapa para penggugat mempersoalkan UU Mahkamah tersebut. Tidakkah mereka paham, aturan baru ini tidak hanya akan menghasilkan hakim berintegritas, tapi juga, pada akhirnya, putusan yang berkualitas, yakni putusan yang bisa dipertanggungjawabkan? Apalagi jika mengingat posisi putusan Mahkamah yang demikian tinggi: final dan mengikat. Jika alasan mereka adalah Komisi Yudisial tidak memiliki kewenangan dalam pemilihan dan pengawasan hakim konstitusi, itu pun keliru. Pertama, kedudukan Komisi Yudisial sudah diatur dalam konstitusi. Kedua, dalam Pasal 24-C Undang-Undang Dasar 1945, disebutkan pengangkatan hakim konstitusi dan ketentuan lain tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang. Nah, undang-undang yang mengatur hal itu kini adalah UU Mahkamah "baru" itu. Lalu di mana pelanggaran konstitusinya?
Kini semua terpulang pada delapan hakim konstitusi yang akan memutus uji materi UU Mahkamah itu. Majalah ini pernah berpendapat, demi mengembalikan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi setelah kasus Akil, lebih baik delapan hakim tersisa itu mengundurkan diri.
Kini mereka dihadapkan untuk menguji undang-undang yang menyangkut kepentingan mereka. Atas dasar prinsip imparsialitas hakim, mereka tidak pantas mengadili perkara yang menyangkut diri mereka. Karena itu, gugatan ini mesti mereka tolak. Setelah itu, sebaiknya mereka mengundurkan diri.
berita terkait di halaman 66
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo