Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kampanye berbau seksisme ini dengan jelas menunjukkan kualitas para calon pemimpin daerah.
Dalam konteks kebijakan, seksisme tidak dibenarkan dan melanggar Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 13 Tahun 2024.
Praktik seksisme merupakan manifestasi cara berpikir patriarki yang menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua sekaligus sebagai obyek seksual.
TEMUAN Komisi Nasional Perempuan mengenai maraknya ujaran dan tulisan bernada seksisme dalam kampanye pemilihan kepala daerah atau pilkada 2024 cukup mengejutkan. Kampanye berbau seksisme ini dengan jelas menunjukkan kualitas para calon pemimpin daerah, terutama mengenai isu perempuan dalam penghapusan diskriminasi, stigmatisasi, dan kekerasan terhadap perempuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Simak saja sederet pernyataan bernada seksisme itu. Seperti kalimat “agar janda kaya menikahi pengangguran" yang diucapkan calon wakil gubernur Jakarta nomor urut 1, Suswono. Lalu, calon gubernur DKI nomor urut 2, Dharma Pongrekun, pernah menyebutkan "guru-guru perempuan sengaja ditempatkan di taman kanak-kanak untuk menyiapkan anak-anak menjadi bagian dari komunitas LGBT sejak dini".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari pilkada Banten, calon wakil gubernur Banten nomor urut 2, Dimyati Natakusumah, pernah bilang "perempuan jangan diberi beban berat, apalagi menjadi gubernur". Kemudian pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Maluku, Murad Ismail-Michael Wattimena, membuat pernyataan "tusuk di tengah yang sedap" dalam sesi debat terbuka.
Selain secara lisan, ada narasi pada alat peraga kampanye, seperti tampak dalam baliho pasangan calon bupati dan wakil bupati Sleman, Harda Kiswaya-Danang Maharsa. Dalam baliho mereka tertulis "Milih Imam (Pemimpin) Kok Wedok. Jangan Ya Dik Ya! Imam (Pemimpin) Kudu Lanang", yang artinya "memilih imam (pemimpin) kok perempuan. Jangan ya Dik, ya! Imam (pemimpin) harus pria".
Dalam konteks kebijakan, seksisme tidak dibenarkan dan melanggar Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2024. Pasal 17 aturan itu menyatakan para peserta pemilu, dalam kampanyenya, harus menggunakan bahasa Indonesia dan/atau bahasa daerah dengan kalimat yang sopan, santun, patut, serta pantas disampaikan, diucapkan, dan/atau ditampilkan kepada umum.
Tak hanya melanggar ketentuan, aneka pernyataan bernada seksisme itu juga merupakan bentuk kekerasan dalam proses pemilihan umum. Seperti yang dinyatakan Komnas Perempuan pada 2021, bahwa seksisme dalam kampanye bertujuan membatasi, menghalangi, dan melemahkan perempuan sehingga tidak setara dalam memilih, dipilih, mencalonkan diri, berkampanye, berserikat, berkumpul, berekspresi, atau berpendapat atas dirinya sendiri.
Praktik seksisme merupakan manifestasi cara berpikir patriarki yang menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua sekaligus sebagai obyek seksual. Cara pandang ini mengalami reproduksi melalui berbagai mitos dalam kehidupan sosial.
Todd D. Nelson dalam bukunya yang berjudul Handbook of Prejudice, Stereotyping, and Discrimination (2009) menyatakan terdapat tiga mitos yang melanggengkan seksisme terhadap perempuan. Pertama, anggapan seksisme tidak berbahaya. Misalnya, pelecehan seksual merupakan kebiasaan, kekerasan dalam rumah tangga sepele, kekerasan emosional itu normal, dan seksisme hanya dibesar-besarkan.
Kedua, perempuan menikmati perannya dalam norma gender tradisional. Misalnya, bersedia melakukan pekerjaan rumah tangga dan mampu hidup dengan pelaku kekerasan. Mitos ini menuntut totalitas kepatuhan perempuan terhadap berbagai aturan mengenai dirinya. Tidak sedikit ajaran tafsir kitab suci dan perkataan leluhur yang memberikan penghargaan kepada perempuan yang menerima peran gender normatifnya. Proses penaklukan menempatkan perempuan dalam penindasan terus-menerus.
Ketiga, mitos bahwa tindakan seksisme jarang terjadi. Seksisme tersembunyi dan makin rapat karena berkaitan dengan relasi kuasa. Sering kali pelaporan seksisme dianggap mengada-ada dan berbalik kasusnya ke perempuan pelapor. Akibatnya, penyintas enggan atau tidak melaporkan kasusnya.
Tindakan seksisme dalam semua tahapan pilkada tidak bisa dibiarkan dan tidak boleh dianggap sebagai kelumrahan dalam konteks candaan semata. Sebab, seksisme merupakan tindakan yang melukai dan berdampak traumatis pada korbannya. Upaya menghapuskan tindakan seksisme dalam proses pencalonan kepala daerah tentu saja mesti melibatkan banyak pihak, dan dalam kerangka pemahaman yang sama.
Partai politik, misalnya, secara sistematis harus mendidik para kadernya melek pemahaman akan isu gender serta berbagai bentuk tindakan seksisme. Partai politik juga harus selalu mengingatkan para kandidat kepala daerah yang diusungnya untuk tidak melakukan tindakan-tindakan seksisme dan selalu menghargai perempuan serta hak-hak perempuan.
Bagi tim pemenangan, perlu selalu mempertimbangkan perspektif gender saat memberikan advis kepada para calon kepala daerah. Hal yang tak kalah penting tentu saja proses pengawasan kampanye oleh Badan Pengawas Pemilu.
Bawaslu perlu mengenali berbagai bentuk seksisme dalam wujud tindakan, ujaran, dan tulisan. Lembaga pengawas pelaksanaan pemilu ini perlu menyusun indikator pengawasan pada semua tahapan pemilihan umum. Meski sanksi terhadap pelanggaran semacam ini tak sampai mendiskualifikasi kandidat, setidaknya dengan adanya teguran, para kandidat akan tahu bahwa tindakan, ujaran, dan tulisan seksisme dalam berbagai tahapan pemilu ataupun pilkada tidak bisa dibenarkan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.