Saya selalu membeli setangkai mawar di kios tepi jalan Lapangan Vaclavske untuk saya letakkan di tempat Jan Palach mati. Saya selalu melakukan itu tiap kali saya ke Praha—sebuah kota yang kini saya ingat seperti sebuah foto dalam warna sepia, sayu: sesuatu yang indah dan pelan-pelan memudar. Saya tak tahu di mana ia melipur dan di mana ia menorehkan melankoli. Kota ini sendiri telah melupakan kesedihannya yang lama. Gedung-gedung kusam, polisi rahasia, partai komunis, patung kepahlawanan Soviet, Mala Strana yang seperti hantu. Untuk mengusir sihir buruk itu, Jan Palach mengorbankan diri.
Mahasiswa jurusan filsafat itu tewas hangus, sehari setelah ia menjadikan tubuhnya seunggun api protes yang bernyala di musim dingin 1969, di tanjakan ke Museum Nasional. Ketika itu tank-tank Uni Soviet menggerus Cekoslowakia kembali, begitu kemerdekaan memekik sebentar….
Tapi siapa kini yang ingat? Tahun lalu di Vsetaty, kota kelahirannya, kematian Palach dikenang. Tapi hanya sedikit orang datang. Di tempat saya letakkan kembang, memang masih ada sebuah tanda seperti silang dari kayu mentah, bunga kusut, dan batu berserak. Tapi Praha tiap tahun menenggak jutaan pelancong. Sinar terang menawarkan kasino, dan remang-remang menjanjikan pelacur. Pagi menebarkan komoditi dan senja kelelahan. Etalase di seluruh Staré Mìsto kini dipajang cawan kristal Bohemia, marionette Don Giovanni, keramik cenderamata, dan iklan konser. Warna pastel di tembok-tembok kini tak memerlukan permainan gelap dan cahaya lagi untuk membuat kita terpesona.
Saya teringat kata-kata Havel, 20 tahun setelah Jan Palach mati: "Sang pembangkang… tak hendak membuat publik terpesona…. Jika ada yang ditawarkannya, itu hanya jangatnya—dan ia menawarkannya karena ia tak punya jalan lain untuk mengukuhkan kebenaran yang ia pertahankan. Tindakannya hanya untuk mengungkapkan harga dirinya sebagai seorang warga negara, apa pun yang harus ia korbankan."
Jan Palach bukan seorang pembangkang sebenarnya, kecuali pada momen itu, ketika ia melawan penindasan Soviet dengan membakar tubuhnya. Saya ingat potret parasnya yang rapi—yang kemudian jadi arang pada umur 20 tahun. Hilangkah momen yang heroik seperti itu kini, ketika anak-anak muda hanya berdebar-debar ketika berjalan di jenjang karir, dan sedikit nekat di pasar modal?
Saya berjalan menyeberangi Jembatan Karlov, sendiri melintasi patung orang-orang suci yang telah jadi hitam oleh cuaca berabad-abad: jangan-jangan selalu ada masokhisme pada ingatan. Nostalgia adalah ketika yang nikmat jadi menyakitkan, dan yang menyakitkan jadi nikmat, karena kenyataan telah jadi masa lalu. Apakah orang kota ini mengatakan apa yang pernah dikatakan Tatyana Tolstoya di Rusia: "Bagi kami, masa paling indah selalu kemarin"?
Pernah, dari sebuah kehidupan yang muram dan ungu, dari Praha yang seperti penjara buruk, orang membayangkan sebuah masa depan yang bebas dan bernilai, seperti sebuah sajak. Ketika di tahun 1989 Václav Havel, sang sastrawan pembangkang itu, dipilih jadi presiden, harapan itu semakin berpendar-pendar. Tapi 12 tahun kemudian, di City University, New York, presiden yang tampak kehilangan élan itu berkata: "..Kita tak dapat mengharapkan bahwa dunia—di tangan para penyair—akan mendadak berubah jadi sebuah sajak."
Mungkin ia capek. "Selamat Tinggal kepada Politik", itulah judul pidatonya hari itu, yang saya baca dalam The New Review of Books bulan ini. Ia akan berhenti jadi presiden Februari 2003. Adakah ia jera, hidup di dalam proses politik yang akhirnya hanya seperti giliran posisi antara orang-orang yang tak ingin melakukan tindakan besar? Adakah ia merasa malu, terhanyut dalam demokrasi macam itu, politik yang cuma mengikuti prosedur menghitung suara—yang di Amerika membuat seorang Bush jadi presiden dan di Indonesia seorang Sutiyoso jadi gubernur?
Havel tak menjawab. Ia hanya mengemukakan petuah-petuah yang tak baru—mungkin karena seorang presiden (berbeda dengan seorang penyair) harus tidak mengemukakan statemen yang selalu baru. Saya kira ia juga ingin melupakan Jan Palach. Palach menandai kedaruratan, bukan kehidupan yang normal. Sang Presiden merasa aman dengan yang normal. Dari kantornya nun di bukit, yang bila malam, di antara cahaya dan gelap, tampak seperti sebuah istana khayalan, Havel menemukan bahwa demokrasi bukanlah sebuah negeri dongeng. Demokrasi membutuhkan kebajikan yang lain, seperti dikatakannya di New York: "kerja keras, penafian-diri, kesabaran, pengetahuan, sebuah tinjauan luas yang tenang, kesediaan untuk disalahpahami".
Tapi bukankah itu kebajikan "borjuis" yang lazim? Bukankah itu persis yang dicemooh mereka yang menampik demokrasi "prosedural", tempat para politisi berlaku ibarat penjaja, dan warga pemilih ibarat pelanggan, hingga seorang anggota parlemen tak akan berani mengungkapkan harga diri, "apa pun yang harus ia korbankan"?
Mungkin, Tuan Havel, kita perlu semangat "agonis". Demokrasi "prosedural" hanya akan membikin manusia jadi Ordnungmensch (kata Weber), warga yang dicocok hidungnya oleh tertib politik yang rutin, yang akhirnya hanya meraih keadilan sepotong-sepotong.
Tapi mungkin Havel akan menjawab: kapan keadilan tak diperoleh sepotong-sepotong? Jangan lupa: semangat "agonis" mustahil akan berlangsung terus-menerus; kalau tidak, ia bukan lagi "agonis". Pahlawan mati hanya satu kali. Palach tak bisa diulang, dan tak sepatutnya diulang. Sebab repetisi dan kebosanan akan membasmi sebuah drama. Maka persoalan demokrasi dewasa ini adalah membuat bagaimana semangat "agonis" tidak hilang, tapi politik tak bergerak dari tragedi ke tragedi.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini