Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun belum tentu setiap guru honorer menerima sejumlah itu. Engkus Kusuma, guru SD Sukarasa, Bandung, harus pasrah menerima Rp 50 ribu sebulan karena ia berstatus honorer. Padahal, bujangan lulusan IKIP tahun 1997 itu sudah punya ijazah diploma-2 sebagai syarat untuk bisa menjadi pegawai negeri. Ironisnya, honor yang cuma bisa untuk hidup seminggu itu pun baru diterimanya setiap tanggal 10. Dananya diambil dari sumbangan para orang tua murid. "Cuma itu saja honornya. Tak ada tunjangan lain," tutur Engkus kepada Rinny Srihartini dari TEMPO.
Dengan penghasilan yang lebih rendah dari gaji pembantu rumah tangga, Engkus, 25 tahun, mesti menyiasati hidup pas-pasan. Ia selalu tidur di sekolah bersama penjaga sekolah. Selebihnya, Engkus hanya bisa merenda mimpi.
Ternyata, di Jawa Barat ada 56 ribu orang guru SD yang bernasib seperti Engkus. Mereka hanya diberi honor karena tak kunjung diangkat menjadi pegawai negeri.
Menurut Kepala Hubungan Masyarakat di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Barat, Dedi Herawan, kenaikan status dari guru honorer menjadi guru tetap alias pegawai negeri selalu berdasarkan tahun kelulusan sang guru. Jadi, urut kacang, diprioritaskan pada yang lebih tua.Padahal di Jawa Barat masih banyak guru honorer lulusan 1990. Itu berarti baru tujuh tahun lagi nasib Engkus akan bisa berubah.
Kisah Ali Masyuri, guru di SD Negeri Samirejo 05, Kudus, Jawa Tengah, lebih menyayat hati. Sudah dua tahun lulusan IKIP tahun 1996 itu menjadi guru piket, meski berstatus guru tidak tetap. Tugasnya memang ringan, yakni hanya mengajar di kelas bila ada guru yang berhalangan hadir. Toh, Ali mesti masuk setiap hari.
Honornya? Ternyata, Guru Ali mengaku belum pernah menerima honor sepanjang kariernya. Jadi, biaya hidup, termasuk ongkos dari rumah ke sekolah, sebagaimana juga dilakukan 3.822 guru yang bernasib serupa di Jawa Tengah, ditalangi oleh mereka sendiri. Janggalnya, Ali nrimo. "Dapat pengalaman kerja saja sudah senang," ucapnya kepada Bandelan Amarudin dari TEMPO.
Masih banyak lagi cerita mengenaskan tentang guru SD seperti Engkus dan Ali. Di Lampung, berdasarkan hasil penemuan Prof. Dr. Engkoswara, Wakil Ketua Komisi VII di DPR, akhir Oktober lalu, ada sekitar enam ribu guru SD berstatus honorer. Itu karena mereka dianggap belum memenuhi syarat minimal untuk menjadi pegawai, yakni punya ijazah diploma-2. Akibatnya, mereka harus berani hidup dengan pendapatan tak lebih dari Rp 100 ribu per bulan.
Dengan penghasilan di bawah kebutuhan minimal itu, tidak mengherankan bila kualitas murid SD di daerah selalu mengecewakan. Dari seorang guru yang tidak menerima penghargaan yang layak dan senantiasa hidup dalam kekurangan, tidak mungkin diharapkan mutu pendidikan sesuai standar. Apakah ini disadari oleh Direktur Jenderal Pendidikan Dasar? Wallahualam. Jangankan guru honorer, tenaga pendidik yang sudah diangkat menjadi pegawai negeri pun kembang kempis menghadapi biaya hidup yang semakin berat.
Saelan, 48 tahun, guru SD Negeri Samirejo, Kudus, mewakili gambaran keprihatinan yang pahit itu. Bapak empat anak ini sudah 17 tahun menjadi guru. Dengan pangkat Pegawai Negeri Golongan IIIC, ia bergaji Rp 386.500 sebulan. Namun, setiap hari, seusai beduk magrib, Saelan terpaksa menjadi pengojek sepeda motor, dengan pendapatan antara Rp 5.000 dan Rp 10 ribu.
Hanya ada satu alasan untuk itu, yaitu gajinya tak cukup untuk menambal hidup. "Saya pernah juga menjual sebidang tanah pada tahun 1987 untuk mencukupi kebutuhan hidup," ujar Saelan.
Beratnya beban hidup guru memang diakui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Juwono Soedarsono. Penyebabnya tak lain karena anggaran pemerintah untuk gaji dan honor guru tak pernah cukup. Untuk membayar sekitar dua juta orang guru di seluruh Indonesia, instansinya hanya memperoleh 2,5 persen dari APBN, atau sebesar Rp 5,5 triliun.
Itu sebabnya, "Saya akan meyakinkan Menteri Keuangan dan Ketua Bappenas agar memberi kelonggaran anggaran," kata Juwono. Andaikata kenaikan gaji guru dan pengangkatan guru honorer bisa diprioritaskan, tentu kualitas pendidikan bisa meningkat. Dengan begitu, ancaman "generasi yang hilang", karena banyak murid SD putus sekolah, tidak akan terlalu menyeramkan.
Ma'ruf Samudra dan Mustafa Ismail
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo