Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Geger Riyanto
Seumur-umur, saya mengaku, saya bukanlah orang yang mudah mengatakan tidak. Sebelum sampai pada kata "tidak", saya akan menggelandang perbincangan menyambangi tempat-tempat lain dan terkadang tersasar pula.
Namun, sewaktu meneliti di Pulau Seram, saya cukup heran atas dampak pembelajaran bahasa Melayu-Ambon terhadap diri saya sendiri. "Seng", yang berarti "tidak", setelah beberapa minggu saya berada di sana, menjadi salah satu kata yang paling mudah terapal oleh lidah saya.
"Mas mau pi [pergi] petik cengkehkah besok?"
"Seng! Beta ada pi ke kebun kelapa sama La Jadin besok."
"Mas ada datang cari siapa?"
"Seng! Beta lagi ronda-ronda [jalan-jalan] sa [saja]."
Dan seterusnya.
Seandainya percakapan tersebut dilangsungkan dalam bahasa ibu saya, saya sulit membayangkan akan menjawab dengan terjemahan kalimat-kalimat tersebut dalam bahasa Indonesia. Saya, jauh lebih mungkin, menimpali dengan gaya bertele-tele saya yang melelahkan. Mungkin, untuk percakapan pertama, semacam ini: "Wah, saya ingin juga. Sayang, saya sudah ada janji sama La Jadin besok."
Pada percakapan kedua, saya tampaknya memang akan langsung menjawab "tidak". Tapi agaknya saya tak akan seenteng dalam bahasa Melayu-Ambon mempergunakan nada eksklamasi. Sangat mungkin tanggapan saya akan seperti ini: "Oh, enggak kok. Saya lagi jalan-jalan saja." Perhatikan pula, saya tak lupa memperhalusnya dengan membubuhkan "oh" dan "kok".
Ada ungkapan bahwa pada saat kita bercakap-cakap dengan bahasa yang berbeda, kita menjadi insan yang berbeda. Pergunakan bahasa Inggris yang akrab merujuk pada lawan bicara dengan kata "you", alih-alih "mas," "adik," "bapak", atau "ibu", maka Anda katanya akan menjadi pribadi yang lebih memperlakukan pihak lain secara setara.
Namun, dalam ilmu kejiwaan, ungkapan ini diperlakukan lebih serius ketimbang sekadar sebuah ungkapan. Ia menggugah berbagai studi untuk membuktikannya. Salah satu studinya bereksperimen dengan mencatat persepsi sejumlah orang Arab-Israel yang menguasai bahasa Arab sekaligus Ibrani terhadap nama-nama Arab dan Yahudi.
Ketika eksperimen dilangsungkan dalam bahasa Ibrani, para subyek melekatkan nama-nama Arab dengan perilaku positif dan nama-nama Yahudi dengan perilaku negatif. Namun, ketika eksperimen dilangsungkan dalam bahasa Arab, nama-nama Arab jauh lebih terkonotasi positif dan kecenderungan serupa dialami nama-nama Israel—mereka dipersepsikan jauh lebih negatif.
Shai Danzinger, peneliti yang menerbitkan hasil kajian tersebut, menganggap hal itu menunjukkan bahwa bahasa yang berbeda memantik orang-orang untuk menghadirkan diri yang berbeda. "Saya rasa dalam bahasa Inggris," kata Danzinger, "saya lebih santun ketimbang dalam bahasa Yahudi."
Apakah dengan demikian kita dapat mengatakan kesadaran adalah tanah liat dan bahasa tangan-tangan yang membentuknya? Mungkin. Namun satu penandasan yang lebih mudah saya terima selaku ilmuwan sosial datang dari filsuf bahasa, Ludwig Wittgenstein. "Membayangkan bahasa adalah membayangkan satu bentuk kehidupan."
Ketika memasuki percakapan-percakapan Melayu-Ambon, saya memasuki satu ranah kehidupan di mana ketegasan menolak atau menampik bukan lagi ekspresi mencolok. "Seng" dipertukarkan dengan sangat ringan di antara para penuturnya, dan saya cukup yakin andai ada upaya menginventarisasi frekuensi penggunaan kata di masyarakat yang saya mukimi itu, "seng" akan tercatat sebagai kata yang paling banyak dituturkan (baca: diserukan).
Kini, bandingkan apabila kita mendengar kata "tidak" di sini—katakanlah dalam sebuah kesempatan rapat kerja perusahaan atau instansi. Pada saat seseorang menyatakan secara gamblang "tidak", terlebih tanpa menyertakan ekspresi penghalus, semua mata akan tertuju kepadanya. Apakah ia tahan dengan segala perhatian tersebut? Kalaupun demikian, apakah ia siap menerima segala konsekuensi dipandang tak mau bekerja, tak santun, gemar drama?
Di sebuah desa di mana penolakan gamblang tak condong berlanjut pada situasi menyebalkan, segala keburukan kata "tidak" itu tak pernah ada pada kata "seng". "Seng", selain itu, adalah salah satu kata paling ekonomis yang pernah saya dengar. Ia tak lebih dari satu suku kata. Untuk melafalkannya, mulut pun hanya perlu bergerak sangat sedikit selain bunyinya mudah menancap di pendengaran. Ia adalah satu kata yang tak mengherankan memiliki banyak penggemar.
Namun, betapapun saya senang merapal satu kata ini, yang saya tahu, saya tetap mengenal diri saya sendiri. Saya, yang jauh lebih lancar menampik karenanya, tak serta-merta menjadi seorang sanguinis, apalagi pandai mengungkapkan diri. Baik di tempat asal saya maupun di sebuah dusun Seram Utara yang saya tinggali beberapa bulan itu, saya sama-sama dikenal sebagai pribadi yang pelit kata-kata.
Belajar bahasa dan latihan kepercayaan diri rupanya tetap dua hal yang tak bisa disamakan. "Seng!" l
Esais, peneliti sosiologi, bergiat di Koperasi Riset Purusha
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo