Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Tantangan Perdagangan Internasional Indonesia

4 Januari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kiki Verico

Tahun 2015 adalah tahun yang penuh kejutan bagi ekonomi dunia. Kejutan yang terjadi di pasar uang dunia, seperti devaluasi yuan Cina dan kenaikan suku bunga dolar Amerika Serikat, berdampak pada nilai tukar di hampir semua negara, termasuk Indonesia. Akibatnya, sektor riil harus mengalami beberapa kali penyesuaian.

Salah satu bidang ekonomi yang sangat sensitif terhadap perubahan dunia adalah perdagangan internasional. Pertama, perdagangan internasional menyangkut aliran barang dan jasa lintas negara. Kedua, aktivitas perdagangan internasional sangat bergantung pada mata uang asing.

Pelemahan rupiah yang cukup signifikan pada semester kedua 2015 berdampak terhadap perdagangan internasional Indonesia—setidaknya hingga awal 2016. Hal ini terjadi karena pembayaran impor dan penerimaan ekspor membutuhkan waktu sehingga dampak pelemahan nilai tukar baru dirasakan pada periode berikutnya.

Semakin mahal dolar Amerika Serikat, semakin membuat produsen—terutama lokal—memilih "menunggu", baik untuk membeli bahan baku dan mesin produksi maupun untuk melakukan investasi baru atau perluasan usaha. Ketika produsen menunggu, penciptaan lapangan kerja dan penerimaan pajak pemerintah melambat. Dalam kondisi seperti ini, pemerintah harus meningkatkan anggaran pengeluaran untuk menggenjot perekonomian nasional. Sesuatu yang tak mudah karena salah satu sumber anggaran pemerintah untuk mendorong perekonomian adalah pajak, yang penerimaannya justru bergantung pada sektor riil.

Lingkaran ini perlu diputus agar ekonomi dapat tumbuh dan ekspansi anggaran dapat dilakukan. Dari sisi ekonomi internasional, salah satu tantangan ke depan adalah bagaimana menghasilkan devisa secara optimal. Sebab, hingga saat ini Indonesia masih mengandalkan surplus perdagangan barang.

Lalu apa catatan mengenai hal tersebut pada 2016?

Dalam neraca transaksi berjalan yang terdiri atas perdagangan barang dan jasa serta pendapatan primer dan sekunder, Indonesia mencatat surplus pada perdagangan barang dan pendapatan sekunder. Namun surplus ini tidak mampu menutupi defisit transaksi berjalan akibat ada defisit perdagangan jasa dan defisit pendapatan primer yang di dalamnya terdapat selisih kompensasi pendapatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang jumlahnya sekitar 3,75 juta pekerja terhadap kompensasi tenaga kerja asing di Indonesia yang jumlahnya hanya sekitar 83 ribu.

Surplus neraca perdagangan Indonesia disebabkan penurunan impor beberapa tahun terakhir lebih cepat daripada penurunan ekspor. Penurunan impor belum tentu baik. Sebab, impor Indonesia yang turun lebih cepat adalah impor bahan baku yang akan mempengaruhi proses produksi pada periode berikutnya. Selain itu, proporsi impor bahan baku yang mencapai 75 persen dari total impor Indonesia tentu akan berdampak bagi ekonomi nasional. Namun ada catatan positif pada 2015, yakni surplus neraca perdagangan barang di Indonesia periode Januari-Oktober 2015 lebih baik dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.

Ekspor Indonesia masih didominasi oleh komoditas primer, seperti minyak sawit, minyak dan gas, batu bara, karet alam, tembaga, serta timah. Dilihat dari pertumbuhan periode Januari-September 2015 dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, ekspor komoditas primer Indonesia—kecuali tembaga—cenderung menurun. Pada periode ini, peningkatan ekspor datang dari hasil industri nonmigas, seperti ekspor kendaraan bermotor, alas kaki, perhiasan, serta produk tanaman perkebunan, seperti kopi dan cokelat.

Upaya mendorong ekspor industri nonmigas perlu terus dilakukan karena harga komoditas primer dunia belum membaik, bahkan berpotensi menurun seiring dengan anjloknya harga minyak dunia. Dengan menggunakan indikator selisih perdagangan (ekspor minus impor) serta perbandingan harga domestik dan harga impor, terlihat 35 persen produk ekspor Indonesia memiliki neraca perdagangan negatif—meski harga domestiknya lebih rendah ketimbang harga impor. Adapun 25 persen produk Indonesia lainnya memiliki neraca perdagangan negatif dengan tingkat harga domestik yang lebih tinggi daripada harga impor.

Artinya, sekitar 60 persen produk Indonesia perlu ditingatkan pangsa pasar ekspor dan daya saingnya. Upaya ini perlu dukungan penuh dari jajaran pemerintah—baik pusat maupun daerah—dan koordinasi yang baik antar-kementerian, seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan kementerian terkait lainnya.

Dari sisi kerja sama antarnegara, salah satu tantangan Indonesia adalah masuk jaringan produksi, termasuk jaringan produksi ASEAN. Kerja Sama Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang dimulai pada awal 2016 memberi peluang terciptanya jaringan produksi kawasan sepanjang investasi negara ASEAN meningkat. Peningkatan investasi di kawasan ASEAN akan meningkatkan arus pergerakan orang dan jasa. Harmonisasi standar pelayanan jasa di kawasan menjadi syarat penting bagi kelancaran arus modal dan orang.

ASEAN membutuhkan aliran investasi jangka panjang dari luar anggota, seperti melalui perluasan kerja sama ASEAN Plus One (APO), ASEAN Plus Three (APT), dan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Kerja sama kawasan plus ini lebih aman, kendati lebih lambat dibandingkan dengan kerja sama bilateral langsung di antara dua negara. Perbandingan kontribusi kawasan terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB) dunia dengan kontribusi kawasan terhadap jumlah penduduk dunia menunjukkan bahwa ketiga kerja sama kawasan plus ini lebih banyak menyumbangkan jumlah penduduk ketimbang nilai tambah.

Kerja sama APT, misalnya, menyumbang 24 persen pada PDB dunia dan menyumbang 30 persen pada populasi dunia. Namun APT tetap lebih produktif dibandingkan dengan kerja sama ASEAN, yang menyumbang masing-masing 3 persen dan 9 persen, dan RCEP, yang menyumbang 29 persen dan 48 persen. Dalam APT, Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok sangat berperan dalam menciptakan integrasi ekonomi ASEAN. Hingga saat ini indeks integrasi ASEAN yang paling signifikan masih dengan Jepang, diikuti Korea Selatan dan Tiongkok.

Dalam proses integrasinya, ASEAN akan menghadapi tantangan yang akan mempengaruhi ekonomi negara anggotanya, termasuk Indonesia. Salah satu tantangan itu adalah Kemitraan Trans-Pasifik (TPP). Empat negara ASEAN lebih dulu masuk. Kerja sama ini lebih progresif dibanding kerja sama ASEAN Plus. Produktivitasnya jauh lebih tinggi dibanding produktivitas APT karena dengan jumlah penduduk yang hanya 11 persen populasi dunia mampu menyumbang nilai tambah PDB dunia hingga 37 persen.

Namun terdapat potensi diskriminatif dalam tubuh ASEAN karena perbedaan perlakuan hubungan dagang dalam TPP antara negara anggota ASEAN yang telah bergabung dan negara yang masih berada di luar TPP. Hal ini akan berdampak pada Indonesia mengingat dua negara anggota TPP terbesar, yakni Jepang dan Amerika Serikat, merupakan negara tujuan utama ekspor Indonesia. Dampak terbesar ada di pasar Amerika Serikat karena Indonesia belum memiliki kerja sama bilateral dengan Amerika. Sedangkan untuk pasar Jepang dampaknya tidak akan sebesar dampak di pasar Amerika Serikat karena Indonesia memiliki dua kerja sama dengan Jepang, yakni kerja sama bilateral dan kerja sama ASEAN-Japan FTA.

Selain dua pasar utama ini, upaya meningkatkan ekspor Indonesia di pasar terbesar ketiga dan keempat TPP—yakni Kanada dan Meksiko yang memang belum menjadi negara tujuan utama ekspor Indonesia—akan semakin berat. Sebab, pesaing terdekat Indonesia di ASEAN, Vietnam dan Malaysia, sudah berada di dalam TPP.

Itu sebabnya pada 2016 ini, selain faktor kestabilan makroekonomi dunia yang berdampak pada nilai tukar dan suku bunga, Indonesia diharapkan mampu meningkatkan manfaat di dalam MEA dan memperkecil biaya selama di luar TPP. l

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) serta Peneliti Senior LPEM FEB UI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus