Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Penegakan Hukum Jangan Bikin Ramai

4 Januari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI menjadi sorotan karena kinerja penyidiknya dinilai serampangan. Pasalnya, lembaga Ombudsman RI menilai penanganan kasus Novel Baswedan oleh Bareskrim Polri banyak mengandung rekayasa. Sebelumnya, Ombudsman telah menyelidiki proses penyidikan oleh polisi yang akhirnya menetapkan Novel sebagai tersangka.

Novel adalah penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi yang menangani kasus dugaan korupsi Komisaris Jenderal Budi Gunawan—yang sekarang menjabat Wakil Kepala Polri. Novel dituduh dalam kasus penganiayaan pencuri sarang burung walet ketika bertugas di Kepolisian Resor Bengkulu, 11 tahun lalu.

Komisaris Jenderal Anang Iskandar, yang menduduki jabatan Kepala Bareskrim sejak 7 September tahun lalu, menepis penilaian tersebut dan menegaskan penyidikan sudah sesuai dengan aturan. "Kalau tidak, maka tidak akan diterima oleh kejaksaan," katanya. Anang tetap pada pendirian bahwa penyidik Bareskrim telah menyelesaikan kewajibannya ketika kejaksaan menerima berkas penyidikannya.

Selama sekitar satu setengah jam, Anang menerima wartawan Tempo Anton Aprianto, Tito Sianipar, Yuliawati, Syailendra Persada, fotografer Aditia Noviansyah, dan videografer Ridian di ruang kerjanya, Selasa pekan lalu. Selain soal rekomendasi Ombudsman, mantan Kepala Badan Narkotika Nasional ini menjelaskan sejumlah hal lain seputar Bareskrim dengan hati-hati. Anang kerap meminta mengulang pertanyaan dan selalu ada jeda sebelum menjawab.

* * * *

Hasil Ombudsman mengatakan banyak rekayasa dalam kasus Novel Baswedan ini. Tanggapan Anda?

Saya kira itu perlu diklarifikasi. Silakan saja, yang jelas bukan tugas polisi untuk mengklarifikasi. Tugas polisi adalah menyidik. Dan penyidikan itu sudah dinyatakan lengkap. Soal ada upaya hukum lain, itu sah-sah saja.

Anda sudah melihat salinan hasil Ombudsman?

Sudah. Silakan saja. Kacamata penyidik dalam menangani kasus berdasarkan fakta. Kalau tidak, maka tidak akan diterima oleh kejaksaan.

(Berkas perkara Novel sudah diserahkan dan diterima oleh Kejaksaan Tinggi Bengkulu pada 10 Desember tahun lalu.)

Beberapa kasus masa lalu memang menunjukkan ada rekayasa yang dilakukan polisi, misalnya Sengkon dan Karta. Kini hasil Ombudsman dalam kasus Novel menyatakan ada rekayasa.

Yang begitu itu jangan ditanyakan kepada kami. Penyidik itu sudah menangani dengan bagus. Nilai penyidiknya sudah bagus ketika sudah dinyatakan P21.

Ada evaluasi internal terhadap kinerja penyidiknya?

Buat apa, wong sudah dinyatakan jempol, kok?

Evaluasi kinerja penyidikan ditentukan oleh apa?

Secara hukum, termasuk kuantitas dan kualitas hasil penyidikan. Secara kuantitas, melihat dari berapa jumlah kasus yang disidik, jumlah P21. Secara kualitas, melihat dari adakah penyidikan yang tidak sesuai dengan aturan.

Untuk kasus Novel, apakah rekomendasi Ombudsman termasuk bagian dari evaluasi kualitas?

Kan, begini, lihat tupoksi. Dia (Ombudsman) bagian dari pengawasan atau pengaduan. Saya sebagai orang yang duduk di tengah, di antara dua pihak yang sedang berantem. Si A bilang dia bener, dan si B bilang dia salah. Itu yang terjadi (dalam kasus Novel). Kami harus di tengah. Nanti yang memutuskan pengadilan.

Dalam kasus Novel, polisi terkesan buru-buru melempar bola panas ke kejaksaan. Tanggapan Anda?

Itu semua ada aturannya. Polisi menyidik berdasarkan aturan hukum, panduannya KUHAP. Penyidikan sudah dinyatakan lengkap. Kalau yang nilai Ombudsman, tidak pernah ada (aturannya). Karena Ombudsman itu bukan penyidik.

Jadi hasil Ombudsman itu dianggap apa oleh Bareskrim?

Itu merupakan informasi, karena penyidikan sudah dinyatakan selesai, dan menurut evaluasi saya bagus. Tapi kan bisa saja penyidik dianggap bagus di satu sisi dan dianggap kurang bagus di sisi lain.

Ada penilaian, kasus Novel ini semacam balas dendam Budi Gunawan karena dulu sempat dijadikan tersangka di KPK. Apakah ada arahan tertentu dari Wakil Kapolri Komisaris Jenderal Budi Gunawan?

Tidaklah. Kenyataannya itu memang terjadi, tokh? Kecuali tidak ada kasusnya. Biarkan saja bertarung di pengadilan.

Bagaimana perkembangan dugaan korupsi PT Pelindo II?

Ibarat seorang penyidik menggali, kami lakukan pendalaman terus karena membutuhkan ketelitian karena menyangkut banyak institusi. Misalnya kerugian negara butuh Badan Pemeriksa Keuangan, kemudian untuk (menelusuri) aset butuh PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan). Untuk follow suspect itu harus penyidik yang melakukan.

(Bareskrim Polri menyidik dugaan korupsi kasus pengadaan sepuluh unit mobile crane pada 2010 yang tidak sesuai dengan perencanaan. Polisi menemukan adanya dugaan penggelembungan harga dan ditaksir merugikan negara hingga Rp 45 miliar.)

Tampaknya penyidik sangat berhati-hati dalam kasus ini.

Benar hati-hati. Yang pasti, kami tidak menghiraukan kecepatan. Tidak pakai target waktu, tapi harus tetap hati-hati.

Sudah meminta bantuan ke BPK dan PPATK?

Sudah. Proses untuk mengaudit keuangan negara butuh waktu. Termasuk kerja sama dan sharing data dengan KPK. Itu bagian dari tukar informasi juga. Proses masih jalan, beberapa saksi sudah diperiksa berkali-kali. Itu bagian dari pendalaman.

Kenapa tersangka tidak ditahan?

Ya, enggak apa-apa, tokh? Pokoknya barang bukti sudah disita. Menangani kasus korupsi ini butuh waktu yang panjang. Sedangkan menahan itu waktunya terbatas.

(Polisi menetapkan Direktur Teknik PT Pelindo II Ferialdy Noerlan sebagai tersangka pada November tahun lalu.)

Richard Joost Lino, saat itu Direktur Utama Pelindo, sudah diperiksa setidaknya tiga kali. Apakah itu indikasi statusnya akan meningkat dari sekadar saksi?

Jangan terlalu dalam. Itu sudah bagian dari tugas penyidik, ha-ha-ha.... Sekarang sedang pendalaman kasus. Itu yang terus kami lakukan.

KPK sudah menetapkan Lino sebagai tersangka. Apakah nanti harus ke sana untuk memeriksa jika ditahan KPK?

Itu kasusnya berbeda.

(Pada 15 Desember tahun lalu, KPK menetapkan Lino sebagai tersangka untuk kasus yang berbeda, yakni pengadaan quay container crane pada 2010.)

Apakah modusnya sama?

Itu yang harus dibuktikan (melalui penyidikan).

KPK menjerat dengan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kalau yang ditangani Bareskrim bagaimana?

Ya, memang itu pasalnya. Kalau korupsi memang pakai itu.

Kasus seperti ini biasanya bukan pelaku tunggal. Bagaimana temuan polisi?

Ya, itu tadi. Kami follow the suspect. Itu yang dilakukan penyidik. Melakukan pendalaman. Apa yang diomongkan suspect-nya, itu yang kami ikuti dan telusuri. Saya ini Kepala Bareskrim, di bawah saya ada direktur, baru ujungnya penyidik. Memang jauh jaraknya. Ya, pokoknya kami butuh waktu. Sabar dulu. Kalau ada hasilnya, nanti akan disampaikan. Beri mereka kesempatan bekerja. Saya tidak boleh mendahului (kerja) mereka.

Ada sharing barang bukti dengan KPK?

Kalau barang bukti, enggak; tapi kalau informasi, iya, sebagai sesama penegak hukum.

Ada rencana ke Cina juga?

Kalau dibutuhkan, iya. Sejauh ini on track. Berjalan, kok. Kami tidak bisa mempercepat, tidak juga bisa memperlambat. Berjalan secara alami.

Pelindo ini termasuk kasus panas. Ketika Komjen Budi Waseso sebagai Kepala Bareskrim, kasus ini membuat kegaduhan. Bagaimana Anda melihatnya?

Saya juga tidak tahu persis (yang terjadi saat itu). Orang-orang bilangnya ada intervensi, tapi sampai sekarang enggak pernah ada yang mengintervensi saya.

Di era Budi Waseso, pernah ada penggeledahan. Bagaimana hasilnya?

Ya, itu memang salah satu langkah (penyidikan), untuk mendapatkan gambaran secara utuh. Dan itu sudah sesuai dengan prosedur.

Apakah kasus Pelindo ini menjadi prioritas Bareskrim?

Iya. Atasan saya juga menanyakan itu.

Budi Waseso pernah bilang ada kasus lain di Pelindo. Apakah kasus saham JICT masuk radar Bareskrim?

Iya, sedang pendalaman semua. Ada yang masuk radar tapi belum bisa dibuka. Kami juga sudah berkoordinasi dengan KPK.

Apakah Anda terganggu dibandingkan dengan Budi Waseso?

Itu kan masalah kepemimpinan. Tidak bisa dilihat dari satu sisi, tapi harus dilihat dari banyak sisi. Ya, saya kadang-kadang (merasakan) itu, karena manusia kan enggak suka kalau dibanding-bandingkan. Manusia punya kelebihan dan kekurangan. Kalau dicari, pasti ketemu kekurangannya.

Setelah Anda masuk, apa yang perlu dibenahi di Bareskrim?

Saya ingin membangun penyidik yang profesional sesuai dengan aturan hukum. Memiliki keterampilan, etika, dan kompetensi juga. Ada yang sudah bagus dan ada yang belum.

Apa pesan Kepala Polri ketika menunjuk Anda sebagai Kepala Bareskrim?

Saya lupa apa arahan Kepala Polri ketika pelantikan. Tapi saya kira itu adalah (bagian dari) ilmu yang saya dapat saat sekolah, bahwa penegakan hukum harus memperhatikan ketertiban masyarakat. Penegakan hukum tidak bisa sembarangan dilakukan. Jangan sampai penegakan hukum menimbulkan keramaian. Misalnya kalau kita menilang orang di jalan terus bikin macet, itu yang salah polisinya.

Ketika dilantik, Anda bilang akan mengevaluasi kasus peninggalan Budi Waseso. Sudah dilakukan sejauh mana?

Saya kira itu perlu diluruskan. Jadi setiap pemimpin pasti melakukan audit kesehatan organisasi. Gunanya untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan organisasi. Yang lemah ditingkatkan dan yang tinggi bisa menularkan kepada yang lain. Saya cenderung membangun sisi profesionalitas penyidik.

Apa perbedaan penanganan kasus di Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Bareskrim?

Sama saja, karena saya hanya sebagai pengawas. Penyidiknya mereka (anak buah saya), bukan saya. Model kepemimpinannya juga tidak terlalu berubah.

Dari Kepala Bareskrim, biasanya jalurnya tinggal menjadi Kepala Polri. Tanggapan Anda?

Saya juga pernah menjadi calon (Kepala Polri). Di koran-koran ditulis begitu.

Ketika itu Anda didukung PDI Perjuangan. Punya kedekatan dengan PDI Perjuangan?

Jangan tanya yang aneh-aneh, rek. Saya tidak pernah dicalonkan oleh partai. Saya dicalonkan lewat Kompolnas. Saya bukan orang partai. Polisi itu profesional.

Bagaimana perasaan Anda ketika disebut sebagai calon Kepala Polri?

Ya, senang saja. Tentu berharap juga. Namanya dicalonkan jadi Kepala Polri, kalau tidak berharap, ya, aneh.

Soal koordinasi internal, Anda lebih banyak berkoordinasi dengan Wakil Kapolri Budi Gunawan?

Lihat struktur organisasi, Wakapolri dan Kapolri itu satu kotak. Sedangkan kami kotak-kotak yang ada di bawahnya. Wakapolri dan Kapolri itu satu kotak, artinya satu bagian. Sebagai Kepala Bareskrim, saya melapor ke atasan, yakni Wakapolri dan Kapolri.

Setelah menjabat tiga bulan ini, lebih banyak melapor ke mana?

Saya melapor ke Kapolri. Kalau beliau tidak ada, saya melapor ke Wakapolri. Laporan tiap pekan sekali. Semua tanggung jawab ke Kapolri.

Kasus yang menarik perhatian publik seperti Pelindo juga dilaporkan?

Iya, setiap minggu. Sebagai Kepala Bareskrim, saya punya kewajiban melaporkannya karena bertanggung jawab kepada atasan.

Saat Anda menjabat, ada 67 kasus korupsi yang sedang ditangani Bareskrim. Seperti apa perkembangannya?

Iya, ada beberapa kasus yang sudah P21 (sudah lengkap berkasnya dan dilimpahkan ke kejaksaan). Kasus korupsi Denny Indrayana (sewaktu menjadi Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia) itu masih proses.

Kasus dua komisioner Komisi Yudisial bagaimana?

Masih proses. Ada di tangan penyidik.

(Dua pemimpin Komisi Yudisial ditetapkan sebagai tersangka atas laporan hakim Sarpin Rizaldi dengan tuduhan mencemarkan nama. Mereka adalah Taufiqurrahman Syahuri dan Suparman Marzuki.)

Untuk kasus dua pemimpin KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto?

Sekarang masih pendalaman.

Bagaimana hasil audit Anda atas kasus-kasus ini?

Ya, tetap berjalan. Kasus-kasus yang sudah diwariskan dan sudah ditetapkan sebagai tersangka tidak bisa dihentikan sembarangan. Lalu kami dalami, muaranya selesai atau dihentikan. Dihentikan itu apabila tidak cukup bukti, tidak ada pidana, atau tersangka mati. Itu ada aturan KUHAP.

Apakah ketertiban publik dan kepentingan publik tidak bisa jadi syarat menghentikan perkara?

Tidak ada. Itu hanya ilmu, pelajaran sekolah. Tapi secara formal mengacu pada undang-undang.

Menurut Anda, kasus-kasus itu kuat?

Kalau tidak kuat, ya, akan dihentikan. Kalau tidak memenuhi unsur, tidak bisa dibawa ke pengadilan. Berdasarkan hukum acara, itu bisa dihentikan.

Apakah ada rencana menghentikan penanganan kasus-kasus tadi?

Kalau kasus sudah kriminal, tidak ada dasarnya (untuk dihentikan). SP3 itu aturan hukum acara. Kami menyidik, pendalaman sudah dilakukan, muaranya nanti dilanjutkan atau dihentikan.

Pada 2014, banyak gebrakan Bareskrim, seperti kasus Pertamina dan Dahlan Iskan. Kenapa sekarang senyap?

Semua jalan, penyidik di Bareskrim itu jumlahnya ratusan. Jadi semua kasus ditangani secara simultan. Ada direktur yang menangani dan bukan Kepala Bareskrim yang memeriksa. Kabareskrim bertugas mengkoordinasi semua kasus di situ.

PPATK melansir banyak laporan hasil analisis tidak ditindaklanjuti kepolisian. Tanggapan Anda?

Laporan hasil analisis tersebut sifatnya data intelijen keuangan. Pasti kami klarifikasi. Banyak yang dilaporkan juga ada unsur (pidananya), khususnya yang ditangani korupsinya. Tindak pidana pencucian uang sangat membutuhkan informasi intelijen keuangan. Untuk kasus korupsi dan pencucian uang, PPATK adalah mata dan telinga penegak hukum. Itu banyak membantu kami.

Bagaimana sikap Anda kalau ada penyidik polisi yang ingin pindah ke KPK?

Kami yang penting berdasarkan aturan saja. Saya saja sebagai Kepala Bareskrim bisa berhenti kapan pun, mengundurkan diri. Jadi bisa saja.

Kejaksaan punya kebijakan baru mengenai penempatan sumber daya manusia penyidik korupsi. Kepolisian juga akan menarik mereka seperti kejaksaan?

Kami sharing saja apa yang mereka perlu. Di sana proses belajar dan di sini juga proses belajar. Direktur Penyidikan dan Deputi Penindakan KPK sekarang berasal dari polisi. Mereka kan sumber daya juga, sama dengan saya, di mana pun sama. Saya pernah jadi Kepala BNN, pernah jadi Direktur Advokasi BNN, pernah juga bertugas di Mabes TNI.

Anda akan pensiun pada 2016. Apa rencana Anda?

Yang saya siapkan: saya ingin jadi guru. Mengajar di lembaga pendidikan.

Anda juga punya blog pribadi. Itu tulisan sendiri?

Iya. Kalau bukan saya, mana mungkin orang tahu seperti itu? Lihat saja, itu kan rasanya rasa saya. Mana bisa orang lain masuk ke diri saya? Sekarang lagi sibuk, tidak sempat lagi (menulis). Nanti setelah pensiun mungkin dilanjutkan lagi.

Sebagai Kepala Bareskrim, Anda sudah melaporkan harta?

Belum. Jadi Kepala Bareskrim baru tiga hari, ha-ha-ha.... Saya sudah melaporkan tiga kali sebelumnya.

Melaporkan harta itu, menurut Anda, merepotkan?

Itu mengisinya sangat susah. Perlu waktu. Kalian belum pernah, kan?

Komisaris Jenderal Anang Iskandar
Tempat dan tanggal lahir: Mojokerto, Jawa Timur, 18 Mei 1958 Istri dan keluarga: Budi Triyuliarti, 5 anak dan 2 cucu Pendidikan: Akabri 1982, Sespim 1997, Sespati 2005, Sarjana Hukum Universitas Pancasila, Pascasarjana Universitas 17 Agustus Surabaya, Doktor Ilmu Hukum Universitas Trisakti Karier: Kepala Bareskrim (sejak 2015), Kepala Badan Narkotika Nasional (2012-2015), Kepala Divisi Humas Polri (2012), Kepala kepolisian Daerah Jambi (2011-2012)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus