KELIHATANNYA tak akan pernah ada harga mati bagi NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Lembaga yang dipasang pemerintah melalui Menteri P & K Daoed Yoesoef sejak 1978 untuk menormalisasi (depolitisasi) kehidupan kampus itu, sejak Sabtu pekan silam, mulai diperbincangkan lagi. Soalnya, kata Dirjen Pendidikan Tinggi Sukadji Ranuwihardjo, rapat koordinasi para rektor se-Indonesia yang berakhir hari itu sudah bersepakat mengenai kelahiran Senat Mahasiswa di tingkat fakultas dan universitas. Sukadji kepada wartawan memang mengelak bahwa kehadiran Senat Mahasiswa itu akan secara langsung menghapus NKK/BKK. Diingatkannya, kebijaksanaan itu sudah dimasukkan dalam rancangan peraturan pemerintah mengenai kebebasan akademik, otonomi pengelolaan perguruan tinggi -- didasarkan pada pasal 22 Undang-Undang No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dan, kata Sukadji, "Semua organisasi yang tidak sesuai dengan keputusan menteri itu tidak berlaku lagi." Sebenarnya rencana penghapusan lembaga NKK/BKK sudah jauh hari disiapkan. Aba-abanya sudah terlihat melalui kata-kata Menteri P & K Fuad Hassan, ketika membuka Rakernas Pembimbing Kemahasiswaan PTN dan Swasta di Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Kemang, Jakarta, Januari lalu. Di situ Fuad memang tak tegas akan menghapus NKK/BKK. Namun, dari cara-caranya memberikan definisi mengenai kebebasan kampus dan otonomi keilmuan, serta pernyataannya tentang kualitas kepemimpinan yang tidak dimiliki mahasiswa, boleh disebut semacam aba-aba akan ditinggalkannya NKK/BKK. Apalagi, jauh hari Fuad Hassan sudah membentuk tim yang meneliti efektivitas NKK/BKK. Tim ini, setelah bekerja selama dua tahun, menyimpulkan sebuah usulan agar NKK/BKK diganti dengan lembaga yang lebih mandiri. Alasan tim tersebut, selama ini pihak administratur perguruan tinggi justru lebih berperan dibanding mahasiswa. "Akibatnya, wawasan mahasiswa tak berkembang. Dengan diubahnya NKK/BKK, diharapkan akan ada angin segar dalam kehidupan akademis" (TEMPO, 21 Januari 1989). Langkah awal menuju pengorganisasian kehidupan mahasiswa antara lain dilakukan dengan meluruskan istilah civitas akademika. Menurut Fuad, seperti yang kemudian dituturkan Sukadji, civitas akademika adalah dosen dan mahasiswa, yang hendaknya memiliki kedudukan paralel. Selama ini ada Senat Fakultas yang anggotanya para dosen. Di atasnya ada Senat Guru Besar Universitas, beranggotakan rektor, para guru besar, purek (I, II, III), dan pimpinan fakultas. Maka, perlu ada wadah yang sejajar untuk mahasiswa. Selama ini Senat Mahasiswa Fakultas sudah ada. Diharapkan di tingkat universitas juga ada. Melalui pembentukan senat mahasiswa tingkat universitas, para mahasiswa boleh lebih bergairah. "Organisasi mahasiswa selama ini formulasinya tidak begitu jelas," kata Sukadji. Sumber TEMPO menyebutkan, nama resmi untuk lembaga tingkat universitas itu sudah disepakati, yakni Senat Mahasiswa Tingkat Perguruan Tinggi (SMPT). Jika Dewan Mahasiswa betul-betul merupakan student government, SMPT terdiri dari unsur Senat Mahasiswa Fakultas ditambah Unit Kegiatan. "Ketuanya mereka sendiri yang memilihnya," kata sumber di P & K tersebut. Beda SMPT dengan BKK? "SMPT seluruhnya mahasiswa, sedangkan BKK unsur-unsurnya dari purek III dengan staf dosen ditambah beberapa mahasiswa," jawabnya. Pada BKK, yang paling mengesalkan mahasiswa adalah karena para dosen itu ternyata lebih bersikap sebagai birokrat. Menurut Fuad, di atas Senat Mahasiswa dan Senat Guru Besar terdapat rektor. Keduanya bergabung pada Senat Paripurna," katanya. Kebijaksanaannya kali ini, tambah Menteri, "Saya merasa tidak mencabut apa-apa dan tidak menghidupkan yang lain." Dan kepada wartawati TEMPO Linda Djalil, Fuad menambahkan bahwa dirinya tidak melihat NKK/BKK salah pengetrapan. "Para rektor selama ini sudah berprestasi. Dan janganlah mereka direpotkan. Supaya kampus tetap menjadi kampus, bukan sirkus," katanya. Dan kampus pun juga bukan sebuah teater, tempat para aktor politik memanfaatkan statusnya sebagaimana mahasiswa melaksanakan segala aspirasi golongannya, karena memang mustahil mengatasnamakan seluruh mahasiswa Indonesia yang tak pernah memberinya mandat. Maka, harapan para aktivis mahasiswa dan para bekas tokoh mahasiswa terhadap SMPT, seperti yang diberitakan media massa, tak bisa tidak perlu diimbangi dengan kesiapan mental. Karena maksud SMPT, seperti kata sumber TEMPO, "Adalah agar mahasiswa bukan sekedar jadi tukang. Tapi juga jadi pemimpin." Kata Dekan FISIP-UI Prof. Dr. Juwono Sudarsono kepada Sri Pudyastuti dari TEMPO, "Hadirnya Senat Mahasiswa di kampus adalah kesempatan baik bagi mahasiswa melakukan latihan pemerintahan mahasiswa. Kesempatan ini hendaknya dipakai dengan tanggung jawab keilmuan." Tapi proses menuju ke sana masih berkelok jalannya. Sebelum sampai pada keputusan menteri, rencana SMPT tersebut masih harus didukung oleh rancangan peraturan pemerintah yang tengah disiapkan. Rancangan ini, yang akan menentukan konsep tentang organisasi kemahasiswaan, masih perlu disahkan oleh Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN). Nah, BPPN itu sendiri belum terbentuk, maka bersabarlah. Pembicaraan penghapusan NKK/BKK dan menyambut lahirnya lemhaga kemahasiswaan tingkat universitas agaknya terlalu bersemangat. Mohamad Cholid, Sri Indrayati, dan Muchsin Lubis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini