TELAH muncul di Surabaya, koran lama berwajah baru: Surya, yang terbit perdana 10 November lalu. Koran yang biasa terbit sebagai mingguan kini tampil tiap hari, berkat suntikan dana dan manajemen yang diulurkan koran Kompas. Perwajahan Surya yang terbit 12 halaman tampak memikat. Halaman I tampil dengan foto berwarna, seolah tak mau kalah dengan koran pesaingnya yang sudah lebih dulu berjaya di Jawa Timur seperti Jawa Pos dan Surabaya Post. Maka, dalam upaya menembus pasar, koran itu menerjunkan pasukan pengecer ke jalan-jalan, lengkap dengan kaus dan topi berlogo Surya. Lahir pada 1986, Surya semula dikelola oleh kelompok Pos Kota, beroplah 50.000 eksemplar. Belakangan, oplahnya merosot. Kemudian masuk Kompas. "Kami memang berkeinginan agar koran-koran daerah berkembang. Lebih dari itu, ini kan medan latihan buat wartawan Kompas," tutur August Parengkuan, Kepala Humas Kelompok Kompas-Gramedia. Buat Surya, uluran Kompas tampaknya bagaikan bala bantuan yang muncul pada saat yang tepat. "Bagi saya, tak ada salahnya kalau Pos Kota dan Kompas bisa bekerja sama. Lagi pula saya anggap Kompas memang sudah berpengalaman dalam bidangnya," kata Ivans Harsono, Pemimpin Redaksi Surya. Maka, sejumlah persiapan pun dilakukan. Sebuah sumber di Surya menyebut-nyebut dana yang disuntikkan Kompas berkisar Rp 6 milyar. Sepertiganya untuk biaya promosi, sisanya antara lain untuk membeli percetakan baru Rp 1,2 milyar. Betulkah itu? "Tak ada pengalihan dana ke sana. Kami hanya membantu manajemennya, termasuk mengelola redaksionalnya," jawab August. Kini di jajaran redaksi Surya bekerja 10 wartawan Kompas, dan 5 tenaga untuk bagian sirkulasi dan administrasi. Surya dipersiapkan untuk dicetak 280.000 eksemplar, tapi yang diserap dipasar hanya 160.000 eksemplar. Itu pun sebagian besar dibagikan gratis. Masuk akal. Sebagai koran 'baru', Surya tentunya butuh waktu untuk mencari pembeli. Apalagi dalam jumlah yang ratusan ribu. Hal itu sampai terjadi, menurut Pamudji -- orang Kompas yang menangani Divisi Umum Surya, semula tercatat sekitar 160 agen yang bakal menunjang pemasaran koran itu, tapi belakangan tinggal 80-an agen. Tapi, kehadiran Surya nampaknya akan lebih menyemarakkan suasana perdagangan koran di Jawa Timur. Jawa Pos, misalnya, menyambut kehadiran koran baru itu dengan membagikan rompi dan topi berlogo Jawa Pos. Bahkan, kepada para pengecer, koran terbesar di Jawa Timur itu menghadiahi uang saku Rp 1.000 per orang/hari, untuk meramaikan pekan promosinya. Dan Surya segera menyusul dengan melansir siasat promosi serupa. Koran ini menaikkan uang saku buat para pengecer dengan imbalan Rp 2.000 per orang/hari. Syaratnya, mereka diabsen setiap hari, persis anak sekolah. Para pengecer, ya, senang saja. Bak kejatuhan durian runtuh. Dalam sehari, mereka setidaknya bisa mengantungi uang Rp 3.000. Caranya: kaus, rompi, dan topi yang diberikan oleh dua koran tadi dipakai secara bergantian. Toh ada saja suara yang menyayangkan siasat berpromosi seperti itu. "Koran kan dikelola para cendekiawan, dan bukan usaha kaki lima. Jadi, seyogyanya usaha pers itu bisa dikelola secara lebih berbudaya dan etis," tutur Agil H. Ali, Ketua PWI Ja-Tim. Suatu imbauan yang terdengar bijak memang, sekalipun, barangkali, tak sejalan dengan budaya orang dagang. Namun "perang" Surya vs Jawa Pos tak berlangsung lama. Selasa pekan lalu, seperti kata seorang pengamat di Surabaya, terjadi semacam "gencatan senjata". "Ternyata, Surya bukan ancaman secara langsung," kata Dahlan Iskan, Pemimpin Redaksi Jawa Pos. Diakuinya, semula kubunya sempat waswas. Kini terbukti, Surya tak mengganggu oplah Jawa Pos, yang hampir mematok 300.000 eksemplar setiap hari. Menurut August Parengkuan, Surya tak bermaksud berebut pasar dengan Jawa Pos. Namun, "Lebih menekankan pada berita-berita daerah. Prinsipnya, berita daerah untuk daerah. Kalau Jawa Pos kan koran nasional yang terbit di daerah," kata August menirukan iklan Jawa Pos, salah satu penerbitan kelompok PT Grafiti Pers. Surabaya Post, sebagai koran sore di Jawa Timur, juga tak merasa tersaingi dengan kehadiran koran baru yang kini dikelola grup Kompas. "Kami sudah punya pasar sendiri. Terutama pada gaya pemberitaan kami yang menggunakan bahasa yang lugas," ujar Tjuk Suwarsono, Redaktur Pelaksana Surabaya Post. Oplahnya kini sekitar 75.000 eksemplar, dan 90% pembacanya berada di Surabaya. Dalam pandangan Tjuk, pasar yang hendak dikejar Surya adalah kelas menengah ke atas dan kaum remaja. Itu terlihat dari gaya bahasa koran itu yang, katanya, "terkesan genit, seperti gaya orang Jakarta." Genit atau lugas, potensi pasar di Jawa Timur, provinsi yang tahun ini diperkirakan paling tinggi tingkat pertumbuhannya, yakni 7 persen, masih terbuka cukup lebar. "Koran yang beredar di provinsi ini rata-rata baru mencapai 500.000 eksemplar per hari. Ini artinya kemampuan membaca koran di Jawa Timur masih rendah. Satu koran dibaca 40 orang," kata Agil, yang sehari-hari adalah Pemimpin Redaksi harian Memorandum di Surabaya. Ahmed K. Soeriawidjaja, Zed Abidien, Herry Mohammad, Ardian T. Gesuri, dan Moebanoe Moera
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini