Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENYAIR W.S. Rendra punya istilah yang tepat untuk menggambarkan tragedi lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Katanya, inilah tragedi kebudayaan: peristiwa besar yang tak hanya menenggelamkan desa dan membuat tutup pabrik-pabrik, tapi juga merusak lingkungan, mendangkalkan delta sungai yang pembentukannya memakan waktu berabad-abad, melebihi usia peradaban manusia.
Pekan ini setahun sudah lumpur Lapindo menyembur. Berawal dari kegagalan pengeboran gas di blok Brantas, Jawa Timur, oleh Lapindo Brantas Inc.—perusahaan di bawah kelompok usaha Bakrie—usaha perusahaan itu berubah menjadi malapetaka. Lumpur panas menyembur, meluber ke mana-mana tanpa bisa dikendalikan lagi. Hasilnya, ribuan orang mengungsi dan kehilangan pekerjaan, jalan putus, transportasi macet. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional memperkirakan kerugian akibat prahara itu mencapai Rp 27,4 triliun.
Setahun berlalu, tak ada kemajuan berarti yang dicapai. Upaya menyetop semburan lumpur seperti menggantang asap. Pelbagai skenario dijalankan—menjatuhkan bola beton, menyiapkan bendungan raksasa—tapi hasilnya masih harus kita tunggu. Sementara itu, dampak sosial dan ekonomi tak bisa dielakkan. Macetnya negosiasi ganti rugi antara Lapindo dan penduduk membuat orang mudah marah. Stres melanda para pengungsi. Sebagian menjadi gila. Tak sedikit rumah tangga yang rusak—setidaknya berpisah istri dan suami karena yang satu memilih terus bertahan, sementara yang lain lebih suka mengungsi ke rumah sanak keluarga.
Bahwa tragedi ini terjadi akibat kelalaian manusia, jangan lagi kita mungkiri. Pengeboran oleh Lapindo Brantas dilakukan tanpa menggunakan dinding pengaman yang bisa mencegah lumpur menyembur. Dicabutnya anjungan pengebor—yang mestinya dipertahankan setelah gas tak dapat dipompa keluar—membuat keadaan tambah runyam. Alih-alih menyelamatkan rig yang harganya ”tak seberapa”, keputusan itu malah membuat lumpur tambah deras menyembur.
Kepada pemilik kelompok usaha Bakrielah tanggung jawab mesti ditagih. Ganti rugi tanah penduduk tak boleh lagi dipenuhi kongkalikong. Mengganti tanah warga, berapa pun harganya, sejatinya tak sepenuhnya bisa ”mengganti”. Tetap ada yang hilang: lingkungan, kekerabatan, sejarah, kenangan.
Pemerintah harus pula turun tangan. Mereka yang didera stres harus diobati dengan saksama. Jangan menganggap remeh penyakit-penyakit yang seolah tak tampak seperti ini. Sekali ”meledak”, runyam akibatnya. Lapindo harus membayar semua biaya.
Di atas semua itu, Lapindo jangan pula lari dari tanggung jawab. Tak boleh lagi ada manipulasi simbolik, misalnya, dengan mempopulerkan istilah lumpur Sidoarjo dan bukan lumpur Lapindo. Percayalah, cara ini sungguh tak kesatria.
Jangan pula ”diam-diam” mengalihkan saham perusahaan itu kepada firma lain di luar negeri. Tahun lalu, Bakrie pernah berniat melepas Lapindo ke Freehold Group Limited—perusahaan di British Virgin Islands yang tak jelas pemiliknya. Untunglah upaya ini dapat dicegah otoritas pasar modal Indonesia.
Aburizal Bakrie, bekas bos kelompok usaha Bakrie yang kini jadi menteri, dan adiknya, Nirwan Bakrie, mestinya ingat bahwa nama mereka tengah dipertaruhkan. Kata-kata almarhum Achmad Bakrie, orang tua mereka dan pendiri bisnis keluarga itu, patut dicamkan. Kata Achmad Bakrie suatu ketika, ”Mulut mesti bisa dipegang, janji harus bisa ditepati.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo