Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Rumitnya Serapan Bahasa Arab

Ketidakkonsistenan dalam menyerap kata bahasa Arab menimbulkan kerumitan dan perbedaan makna. Tak semua huruf ada padanannya.

14 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Serapan Arab

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KITA menyerap banyak kosakata bahasa Arab, seperti adil, makmur, musyawarah, khidmat, dan wakil. Namun beberapa kata serapan bisa menimbulkan masalah dalam hal konsistensi, ketepatan, dan ketaksaannya sehingga jadi “pertengkaran” di kalangan yang memahaminya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Memang ada aturan dalam proses penyerapan, tapi ada ketidakajekan dalam penggunaan huruf, seperti huruf qaf (ق) yang kadang diganti dengan q dan k, misalnya Al-Quran dan takwa. Secara fonologis, takwa semestinya ditulis taqwa. Tak dapat dielakkan, banyak santri kemudian menulis istiqomah ketimbang istikamah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada pula kata kalbu, yang kemudian menjadi tidak memiliki arti sebagaimana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yakni pangkal perasaan batin, hati yang murni, dan hati. Semestinya ia ditulis qalbu karena diawali dengan huruf qaf, bukan kaf (ﻙ), lantaran kalbun bermakna anjing dalam bahasa rumpun Semitik tersebut. Itulah mengapa Aa Gymnastiar memilih “manajemen qalbu”, bukan “manajemen kalbu”.

Serapan beberapa kata yang berasal dari kata yang sama, shalla, seperti pada salat, musala, dan selawat, jelas makin menunjukkan ketidakkonsistenan kita. Semestinya kata yang terakhir ditulis salawat. Namun kebanyakan pengguna kata ini akan menulis sholat, musholla, dan sholawat karena pengucapannya lebih dekat dengan pelafalan asal. Sejauh ini, saya belum pernah mendengar mahasiswa saya menyebut musala untuk musholla.

Kita menggunakan konsonan rangkap, seperti kh dan sy, pada kata khalifah dan syukur. Tapi mengapa sh untuk shalat dan shabar tidak juga digunakan? Anehnya, dalam khalifah dan khotbah yang berasal dari huruf kha' (ﺥ) dan tanda fathah (ــَـ) yang sama dalam bahasa Arab, kita menggunakan huruf vokal yang berbeda, yakni a dan o? Lebih pelik lagi, orang yang menyampaikan khotbah disebut khatib, yang semestinya khotib, bukan? Kalau lidah Indonesia tidak mengenal bunyi huruf ṣad (ص) sehingga direpresentasikan dengan konsonan s, mengapa kita menyerap kh dan sy?

Pelafalan huruf qaf dan kaf dalam bahasa Indonesia memang hampir serupa, meskipun ada penekanan yang berbeda. Qaf dilafalkan dari bagian belakang lidah yang mendekati tenggorokan, lebih tepatnya dari daerah yang bersentuhan dengan anak tekak (uvula). Santri biasanya mengucapkan huruf ini secara fasih dalam bacaan salat, tapi penggunaannya dalam sehari-hari seperti bunyi kaf.

Huruf kaf diucapkan dari bagian tengah lidah yang menyentuh langit-langit mulut bagian tengah (daerah velar). Posisi pengucapan kaf lebih ke depan dibandingkan dengan qaf, yang disebut huruf halqi atau tenggorokan. Karena itu, hampir semua serapan Arab yang menggunakan huruf qaf diucapkan dengan kaf, meskipun penulisannya dengan qaf. Seperti serapan kalbu di atas, ada banyak kata yang mengalami hal serupa, misalnya kiblat (قبلة), kiamat (قيامة), kurban (قربان), dan kanun (قانون).

Selain itu, tanda vokal bahasa Arab terdiri atas fathah (a), kasrah (i), dan dhammah (u) serta tidak mengenal bunyi e (baik terbuka, tertutup, ataupun tegak) sehingga tartib (ترتيب) menjadi tertib dan shadaqah (صدقة) menjadi sedekah. Hal ini makin menegaskan tidak adanya aturan baku dalam penulisan bahasa sasaran secara fonologis. 

Salah satu aturan dalam penyerapan bahasa Arab adalah penyesuaian bunyi seturut aturan fonologis bahasa Indonesia. Namun ada huruf-huruf Arab yang tidak punya padanan langsung dengan alfabet Indonesia, seperti 'ayn (ع) dan ghain (غ), sehingga kata bid'ah diserap sebagai bidah dan maghrib disebut dengan magrib. Lagi-lagi, pengucapan kata ini sering tidak dilafalkan sebagaimana tulisan, tapi disesuaikan dengan fonologi asal. 

Meskipun demikian, kita sering menemukan orang tidak menulis dan mengucapkan kata serapan itu secara baku karena bunyi kata baku tidak sama dengan tulisan. Kita memiliki aturan dalam penyerapan bunyi, seperti asimilasi, disimilasi, dan modifikasi vokal, tapi saya belum pernah mendengar orang menyebut musala untuk musholla.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Serapan Arab"

Ahmad Sahidah

Ahmad Sahidah

Dosen Program Pascasarjana Universitas Nurul Jadid, Probolinggo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus