Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SI Tempur, kuda putih itu, buta. Tambang batu bara itu telah meniadakan kemampuannya membedakan bidang yang terang dan sudut yang gelap. Semua hitam pekat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Si Tempur kehilangan penglihatannya karena sejak baru dilahirkan—sekitar 10 tahun sebelumnya—ia harus hidup di ruang-ruang bawah tanah itu. Baginya, apa artinya terang? Ia hanya menyesuaikan hidupnya dengan lorong dan tikungan yang mengelilinginya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi ia menyintas, dengan sisa-sisa naluri dan kecerdasan hewan yang ada padanya—sampai ia tewas ketika akhirnya tambang runtuh.
Nasib Si Tempur seakan-akan sebuah ibarat yang pahit: gambaran hidup para buruh yang bekerja menggali batu bara di sumur tambang Le Voreux dalam novel termasyhur Émile Zola, Germinal.
Dari karya tentang kesengsaraan yang terbit di tahun 1885 ini, tak bisa disimpulkan bahwa Zola seorang yang muram memandang kemajuan zamannya. Ia pengagum positivisme, ketika kemajuan ilmu berkibar-kibar di Prancis abad ke-19. Ia menulis novel yang, dengan mengikuti metode keilmuan, ditopang penelitian. Karyanya ia sebut le roman expérimental. Ia bilang ia tak menampilkan tokohnya sebagai “manusia metafisik”. Manusia seperti itu sudah punah. Bagi Zola, yang ia lihat adalah manusia sebagai wujud jasmani, “manusia fisiologis”.
Saya kira ia berlebihan. Para sastrawan umumnya memandang hidup, juga alam, bukan semata-mata fisik, bukan hanya satu sisi. Bahasa puitik dan metafora membawanya ke pesona yang serba mungkin. Dalam Germinal, Si Tempur (nama aslinya “Bataille”) bukan hanya makhluk yang sepenuhnya hewani atau cuma robot.
Zola menampilkan kuda buta yang dengan panik menyelamatkan diri dari bencana tambang itu seakan-akan mengisahkan seseorang dengan harapan, ingatan, dan sejarah. Si Tempur berlari, terus berlari, di bawah tanah itu. Ke mana?
“Mungkin ke sana, ke dunia jauh yang dulu dilihatnya di masa mudanya [là-bas peut-être, à cette vision de sa jeunesse], ke gubuk kincir angin tempat ia dilahirkan, di tepi sungai Scarpe, dengan ingatan samar tentang cahaya matahari yang menyala di langit bagaikan lampu raksasa.”
Si Tempur akhirnya tewas, setelah mencoba lepas bebas. Seperti para buruh tambang batu bara yang akhirnya kalah dan ditindas. Zola—meskipun kadang-kadang perilaku tokohnya terlalu mudah diduga—berhasil membawa pembacanya terpukau oleh apa yang dirasakan mereka yang kalah.
Novel ini dimulai dengan malam dingin tanpa bintang di satu hari di abad ke-19. Étienne Lantier, berumur 21 tahun, berjalan kaki sendirian, dan tiba di Kota Montsou. Ia melihat tiga tungku yang berapi—tanda sebuah sumur tambang batu bara. Sumur Le Voreux.
Dan di sana ia, yang memang butuh pekerjaan, diterima bekerja sebagai penggali.
Ia berkenalan dengan Souvarine, buruh tambang lain, yang dulu aktif dalam gerakan bawah tanah Rusia melawan kekuasaan Tsar. Mereka berdiskusi panjang tentang masa depan pekerja yang selama bertahun-tahun hidup di dalam lorong gelap dan beracun, “nyaris tanpa sisa napas di rongga dada mereka yang rasanya terbakar”.
Akhirnya Étienne membentuk cabang gerakan “Internasional”. Keluh kesah yang bertahun-tahun diutarakan kini punya organisasi—semacam kekuatan. Maka ketika pemilik tambang (para kapitalis yang hidup nyaman dan mewah di Montsou) menurunkan upah lebih jauh, para buruh mogok. Ketika tuntutan mereka tak diterima, para penambang yang compang-camping itu terus mendesak, menuntut upah yang pantas—dan pembagian roti sehari-hari.
Kerusuhan pun terjadi. Juga perusakan. Tentara dipanggil. Tembakan dilepaskan. 14 buruh tewas. Ketika para pemogok surut, Souvarine melakukan sabotase. Air memenuhi lorong-lorong Sumur Le Voreux.
Semua terancam tenggelam, bukan hanya Si Tempur. Étienne dan Catherine, gadis penambang yang menjadi kekasihnya, terjebak. Setelah sembilan hari, Catherine mati kecapekan.
Étienne akhirnya dapat diselamatkan; ia dirawat, tapi beberapa hari kemudian, begitu sehat kembali, ia meninggalkan Montsou selama-lamanya.
Zola menulis Germinal setelah ia meriset kehidupan di tambang batu bara di Valenciennes. Ada yang menyentuh dan membuatnya geram: kapitalisme, “gergasi yang tak henti-hentinya lapar”, telah membuat sesama manusia jadi kuda buta yang terjebak, seperti Si Tempur—“selalu di bawah tanah, dengan kuping dan mata terputus dari kejadian di luar”. Dalam keadaan itu, “orang-orang yang kaya, yang memerintah, dengan gampang menjual dan membeli mereka, mengerkah tubuh mereka...”.
Seraya dengan gampang pula membikin dalih “kebaikan”....
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo