Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dilema Bisnis Thrifting Pakaian Bekas

Bisnis pakaian bekas atau thrifting kian marak. Menggerakkan ekonomi masyarakat menengah ke bawah, tapi membunuh industri lokal.

14 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Bisnis pakaian bekas di Bogor mampu menghidupkan kembali mal yang sudah mati.

  • Pedagang pakaian bekas meraup penghasilan belasan juta rupiah per bulan.

  • Impor pakaian bekas menggerus 15 persen pangsa pasar industri lokal.

BERSAMA dua rekannya, Amran Sihabuddin melihat-lihat pakaian bekas di Banoen Store, sebuah gerai di gedung bekas Mal Matahari, Jalan Kapten Muslihat, Kota Bogor, Jawa Barat, pada Kamis siang, 11 Juli 2024. Lantai dasar bekas pusat belanja yang tutup di masa pandemi Covid-19 itu kini padat oleh toko yang menjajakan kemeja, kaus, sepatu, hingga jaket bekas. Pakaian bekas impor itu dibanderol sepertiga dari harga barunya. "Saya mencari celana, merek terkenal dan murah harganya," kata pegawai bank swasta 23 tahun itu kepada Tempo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Amran dan rekannya adalah "aktivis" thrifting atau belanja barang bekas. Selain di gedung bekas Mal Matahari di Bogor, dia biasa berburu pakaian bekas di Pasar Baru dan Blok 3 Pasar Senen, Jakarta Pusat. Amran mengaku belum mampu membeli pakaian bermerek ternama yang harganya selangit sehingga thrifting menjadi pilihan. Walhasil, dia dan teman-temannya cukup puas mengenakan pakaian hasil thrifting yang merupakan keluaran merek besar meski bekas. Sekali berbelanja, Amran mengeluarkan Rp 350-500 ribu untuk empat potong pakaian, dari celana, baju, hingga jaket. “Dua bulan sekali thrifting."  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penjaga toko Banoen Store, Anisa Rahmawati, mengatakan bukan hanya anak muda seperti Amran, banyak pula orang tua yang doyan thrifting. “Kalau ibu-ibu atau bapak-bapak biasanya berbelanja untuk anaknya,” ucapnya. Barang di Banoen Store yang paling laris adalah kaus polo, hoodie atau jaket yang dilengkapi tutup kepala, serta celana jins. Banoen Store juga menjajakan sepatu dan parfum. “Setiap dua pekan kami open bal sehingga ada barang baru terus,” tutur Anisa. Open bal yang dia maksud adalah membongkar karung kemasan pakaian bekas impor yang kemudian dipajang di gerai.

Anisa mengungkapkan, Banoen Store beroperasi sejak 2022 di gedung bekas Mal Matahari di Bogor. Di gedung itu ada 14 blok berisi puluhan pedagang pakaian bekas. Toko-toko itu buka mulai pukul 09.00 hingga pukul 21.00. Semua pedagang membayar sewa lapak kepada pemilik gedung secara bulanan. “Dulu ini punya Matahari, lalu dijual dan kepemilikannya berganti,” ujarnya.

Pemilik toko Thrifting 2nd Branded, Bram Hanger, mengatakan, seperti di kota-kota lain, tren thrifting memang sedang naik daun di Kota Hujan. Terbukti, jumlah pengunjung atau konsumen di tokonya terus meningkat. Bram biasa kulakan atau berbelanja pakaian bekas impor setiap dua pekan guna memperbarui stok gerainya. Biasanya dia membeli barang-barang itu di Jakarta, Bandung, hingga Batam, Kepulauan Riau. 

Sekali berbelanja, Bram mengeluarkan modal Rp 6-11 juta per bal atau karung. Harga bal berisi kaus paling murah, sementara yang termahal jins dan hoodie. Satu bal berbobot 1 kuintal berisi ratusan potong pakaian. Menurut dia, satu bal pakaian anak berisi 500-700 potong karena ukurannya kecil. Adapun satu bal kemeja berisi 250-350 potong dan satu bal kaus memuat 300-500 potong. "Yang isinya sedikit bal celana dan jaket,” ucap pria 50 tahun ini. Meski begitu, pakaian dengan merek ternama biasa dijual satuan dengan minimum pembelian 50 potong. Harga jualnya Rp 150-200 ribu per potong.

Bram juga memperkaya koleksi tokonya dengan sepatu dan sandal bekas impor dari Amerika Serikat, Singapura, Korea Selatan, dan beberapa negara lain. Dia mengakui thrifting menawarkan peluang keuntungan besar. Karena itu, dia berani meninggalkan bisnis travel yang telah ia tekuni puluhan tahun demi berjualan pakaian impor bekas. 

Meski Kementerian Perdagangan berkali-kali menyatakan adanya larangan impor baju bekas, Bram mengatakan efek ekonomi yang dihasilkan bisnis thrifting tak bisa diabaikan. “Setiap hari omzet bisa jutaan, paling kecil bisa bawa pulang Rp 500 ribu per hari atau Rp 15 juta sebulan,” tuturnya. Bahkan uang sewa kios Rp 30 juta per tahun bisa ia kumpulkan di bulan keempat. “Pelanggan selalu kembali karena mereka puas dengan kualitas pakaian bekas.” Karena itu pula gedung Matahari di Bogor yang sebelumnya mati kini hidup kembali.

Hal yang sama dirasakan Rio Saputra, pedagang pakaian impor bekas di Pasar Senen. Pria 30 tahun itu dulu bekerja sebagai pramusaji restoran ayam goreng dan terkena pemutusan hubungan kerja di masa pandemi Covid-19. Dia sempat bekerja serabutan sebelum melakoni usaha thrifting. Rio menyewa satu kios yang khusus menjajakan baju anak impor dari berbagai usia. “Pelanggan saya kebanyakan ibu-ibu. Ada yang untuk keperluan sendiri, ada juga yang dijual lagi,” katanya. Harga baju anak Rp 10-100 ribu per potong. 

Dalam sebulan, Rio meraup penghasilan bersih Rp 12 juta. Adapun modal belanja per bal Rp 4-7 juta berisi 300-600 potong pakaian anak. Rio mengaku tidak semua pakaian di dalam karung itu laku terjual. “Paling banyak hanya setengahnya, tapi tetap untung,” ujarnya. Baju bekas itu diimpor dari Singapura, Malaysia, Thailand, dan negara-negara Eropa.

Dengan kondisi tersebut, bisnis thrifting menimbulkan dilema. Di satu sisi, berjualan pakaian bekas bisa menggerakkan perekonomian terutama di lapisan masyarakat kelas menengah ke bawah. Bahkan bisnis ini menciptakan lapangan kerja dan menghidupkan kembali aset yang mangkrak seperti gedung Matahari di Bogor. Tapi, di sisi lain, penjualan pakaian bekas hasil impor mengganggu industri tekstil dan garmen dalam negeri. Apa merek lokal yang sanggup bersaing dengan barang branded impor berharga murah?

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance Esther Tri Astuti mengatakan impor pakaian bekas menggerus 15 persen pangsa pasar produsen tekstil domestik. "Sehingga merugikan perekonomian nasional,” ucapnya pada Rabu, 10 Juli 2024. Impor pakaian bekas juga memicu persoalan lain, yaitu bertambahnya tumpukan sampah. Pakaian bekas yang dibuang, Esther menjelaskan, adalah sampah yang sulit dimusnahkan karena mengandung bahan kimia tertentu yang sulit terurai.

Karena itu, Esther menambahkan, diperlukan upaya serius untuk menahan impor pakaian bekas yang masuk secara legal ataupun ilegal. Perbaikan menyeluruh perlu dilakukan pemerintah untuk menjadikan produk pakaian lokal murah, berkualitas, serta mengikuti tren mode yang diminati pasar. “Sekolah tinggi tekstil bisa diperbanyak, dari sisi bahan baku hulu ke hilir." 

Staf khusus Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Fiki Satari, mengatakan budaya thrifting sejatinya tidak menjadi masalah. “Yang jadi persoalan adalah ketika yang diperjualbelikan pakaian bekas impor ilegal,” katanya. Menurut Fiki, pada 2023, pemerintah membuat perjanjian dengan pedagang pakaian bekas untuk mengizinkan mereka beroperasi hingga stok terakhir habis. “Tapi sampai sekarang sudah beberapa kali mereka menambah stok.”  

Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Kementerian Perdagangan (Kemendag) Moga Simatupang. Antara/Maria Cicilia Galuh

Pelaksana tugas Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kementerian Perindustrian, Reni Yanita, juga mengatakan pemerintah pernah membentuk tim untuk menekan impor pakaian bekas, tapi upaya ini menguap di tengah jalan. Kini, Reni melanjutkan, ada Satuan Tugas Pemberantasan Impor Ilegal yang digagas Kementerian Perdagangan. “Kami berharap tim ini bisa segera bekerja,” tuturnya.

Kementerian Perdagangan telah melarang impor pakaian bekas melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51 tahun 2015 dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021. Larangan itu didasari fakta bahwa pakaian bekas membahayakan kesehatan dan keamanan lingkungan serta merugikan perekonomian. Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan Moga Simatupang mengatakan sudah membentuk Satuan Tugas Thrifting untuk menekan impor sandang bekas. Upaya pencegahan lain adalah melacak sumber barang dari pasar thrifting, distributor, hingga importirnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Han Revanda Putra dari Jakarta dan M.A. Murtadho dari Bogor berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Simalakama Sandang Usang"

Ghoida Rahmah

Ghoida Rahmah

Bergabung dengan Tempo sejak Agustus 2015, lulusan Geografi Universitas Indonesia ini merupakan penerima fellowship Banking Journalist Academy batch IV tahun 2016 dan Banking Editor Masterclass batch I tahun 2019. Pernah menjadi juara Harapan 1 Lomba Karya Jurnalistik BPJS Kesehatan di 2016 dan juara 1 Lomba Karya Jurnalistik Kategori Media Cetak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2021. Menjadi Staf Redaksi di Koran Tempo sejak 2020.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus