Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Susanto Pudjomartono Wartawan, mantan Dubes RI untuk Federasi Rusia
SEWAKTU menghadiri jamuan malam kenegaraan yang diselenggarakan Presiden Vladimir Putin di Istana Kremlin, Moskow, 1 Desember 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, atas permintaan Presiden Putin, menyanyikan lagu Rayuan Pulau Kelapa. Sejumlah hadirin, termasuk pejabat Rusia, ikut komat-kamit mendendangkan lagu itu.
Rayuan Pulau Kelapa, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia, memang, lagu yang cukup dikenal di Rusia, terutama buat mereka yang berusia di atas 50-an tahun. Lagu itu pernah menjadi salah satu lagu wajib bagi para pelajar Rusia di era 1960-an.
Rayuan Pulau Kelapa mungkin menjadi salah satu ”peninggalan” hubungan yang mesra antara Indonesia dan Rusia (Uni Soviet waktu itu) pada 1960-an yang masih tersisa di Rusia. Sedang kita di Indonesia masih mempunyai banyak ”warisan” hubungan erat masa itu, antara lain Ge lora Bung Karno dan Rumah Sakit Persahabatan di Jakarta yang dibangun oleh Rusia. Di samping itu masih ada beberapa monumen atau patung bergaya realisme sosialis yang menghiasi Jakarta, termasuk patung Dirgantara (di Pancoran) serta patung Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia.
”Warisan” lain, sekitar 180 pesawat terbang buatan Rusia (antara lain Mig-15 sampai Mig-21 dan Tu-16) serta 80-an kapal berbagai jenis yang waktu itu dibeli dari Rusia, sekarang mungkin sudah berubah wujud karena hampir seluruhnya telah dipreteli menjadi besi tua.
Pekan lalu Presiden Vladimir Putin berkunjung ke Jakarta selama sekitar 20 jam. Ia datang dengan membawa beberapa hal. Pertama pujian (”Martabat Indonesia di gelanggang internasional semakin tinggi”). Lalu kesepakatan kerja sama (delapan kerja sama disepakati, antara lain di bidang energi dan pertambangan). Selain itu Putin juga membawa duit (berupa state credit sebesar US$ 1 miliar dan janji investasi yang bisa mencapai sekitar US$ 8–10 miliar).
Sementara itu, secara resmi juga diumumkan bahwa dari pinjaman tersebut Indonesia akan membeli sejumlah persenjataan untuk TNI, termasuk helikopter, kapal selam, dan tank. Di samping itu, Indonesia juga akan membeli lagi sejumlah pesawat tempur Sukhoi untuk menggenapkan armada Sukhoi kita menjadi satu skuadron. Lalu ada juga penandatanganan kesepakatan pembangunan air launch system di Biak yang nantinya akan dioperasikan secara komersial oleh swasta.
Suatu hal penting lain dari kunjungan Putin adalah telah makin berkembangnya hubungan pribadi antara kedua presiden. Dalam hubungan internasional, hubungan pribadi antarkepala negara atau kepala pemerintahan sangatlah penting.
Ada persamaan di antara kedua negara. Indonesia dan Rusia sama-sama sedang menjalankan reformasi. Perbedaannya, bila Indonesia kini sedang melaksanakan demokrasi yang bebas, ribut dan gegap gempita, Rusia sedang mencari bentuk demokrasi yang lebih ketat, semacam managed democracy yang dianggap cocok buat sebuah super centralized state di mana berlaku suatu dictatorship of law. Banyak kalangan di Barat, antara lain lembaga Freedom House, yang menuding bahwa tidak ada demokrasi di Rusia dan peme rintah Rusia di bawah Putin makin bersikap otoriter.
Apa pun yang terjadi, kunjungan Putin punya arti penting buat Indonesia maupun Rusia. Buat Indonesia, pernyataan Putin merupakan pengakuan bahwa Indonesia kini dianggap suatu global player. Di saat kita di mana-mana kehilang an kebanggaan dan martabat, pengakuan ini bisa dianggap suatu hiburan yang menyejukkan. Hubungan yang lebih erat dengan Rusia menunjukkan bahwa politik luar negeri kita sekarang lebih seimbang dan tidak terus berkiblat ke Barat. Pengadaan senjata dari Rusia juga menunjukkan bahwa kita kini lebih ”berani” dan tidak takut pada ancaman embargo Amerika Serikat dan NATO.
Buat Rusia sendiri, terjalinnya suatu kemitraan dengan Indonesia jelas melengkapi serangkaian kemitraan strategis yang telah dikembangkannya dengan sejumlah negara, termasuk RRC dan India. Para pengamat Barat boleh jadi akan melihat pembangunan ALS di Biak sebagai semacam beach head Rusia di Asia Tenggara yang bisa dianggap awal dari perluasan pengaruh Rusia..
Namun, teriakan The Russian are coming mestinya tidak perlu membuat kita takut. Rusia yang datang ke Indonesia kali ini tidak lagi mengusung ideologi komunis seperti Uni Soviet dulu. Partai Komunis memang masih ada di Federasi Rusia. Dalam pemilihan presiden pada 2004, Putin mengumpulkan 71,31 persen suara, sedang pesaingnya dari Partai Komunis, Nikolai Kharitonov, memperoleh 13,74 suara.
Suatu hal yang nyata adalah bahwa Rusia kini memiliki banyak duit dan menguasai teknologi tinggi yang mesti nya bisa kita manfaatkan. Terutama berkat harga migas yang tinggi, sekitar US$ 60 per barel, Rusia yang menghasilkan 9,5 juta barel minyak per hari, kini bergelimang uang. Saat ini Rusia memiliki cadangan devisa sekitar US$ 400 miliar dan menempati urutan ketiga dalam daftar negara-negara dengan cadangan devisa terbesar. Rusia juga memiliki Dana Stabilisasi lebih dari US$ 76 miliar (2006).
Peluang untuk meningkatkan volume perdagangan, yang sekarang cuma US$ 700 juta setahun, sangatlah besar. Meningkatnya jumlah kelas menengah di Rusia juga bisa kita manfaatkan. Jumlah turis Rusia yang datang ke Indonesia, khususnya Bali, terus bertambah dan kini mencapai sekitar 34 ribu per tahun. Kalangan pariwisata di Bali mengatakan, turis Rusia adalah big spender dan mereka tidak takut dan tidak peduli dengan isu teror atau bom.
Memang, tidak semua hal di Rusia hebat dan bagus. Korupsi dan kriminalitas masih sangat tinggi. Mafia Rusia berada di mana-mana. Pengangguran masih di sekitar 20 per sen. Orang yang hidup di bawah garis kemiskinan jumlahnya juga sekitar itu. Jumlah penduduk terus menurun dengan rata-rata 700 ribu setahun.
Sebetulnya, dalam beberapa tahun terakhir sudah ada beberapa pengusaha Indonesia yang mulai memanfaatkan teknologi Rusia, antara lain penggunaan teknologi vibroseismic (teknik getaran) untuk secondary exploitation sumber-sumber minyak yang sudah tua. Namun, kebanyakan pengusaha Indonesia tampaknya masih malu-malu untuk berniaga langsung di Rusia, dan lebih suka menjadi perantara dalam pembelian persenjataan.
Kini telah menyala lampu kuning buat mereka. Menurut Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, proses pengadaan senjata dari Rusia ini akan lebih disederhanakan, dipercepat dan dipermurah. ”Tidak lagi mengandalkan pialang-pialang,” ujarnya pekan lalu. Pembelian langsung itu diperkirakan akan bisa menghemat anggaran hingga 40 persen.
Salah satu teknologi Rusia yang sangat menjanjikan adalah pemanfaatan batu bara untuk gas. Sayangnya, teknologi Underground Coal Gasification (UCG) ini lisensinya (yang dimiliki Gazprom) cukup mahal, sekitar US$ 10 juta, yang menyulitkan pengusaha Indonesia. Teknologi ini dianggap pas buat Indonesia karena tidak mencemarkan lingkungan. Tahun lalu, secara lisan Presiden SBY telah sepakat bahwa pemerintah yang akan menanggung biaya lisensi ini dan para penggunanya cukup membayar royalti kepada peme rintah. Namun, kini belum jelas bagaimana pelaksanaan ketentuan ini.
Sejumlah kalangan di Rusia sebetulnya sangat berharap hubungan kedua negara bisa lebih dekat. Ada sejumlah indonesianis dan pakar yang sangat cinta Indonesia yang rasa nya kurang mendapat dukungan dan bantuan kita. Ada pakar yang menyusun kamus bahasa Bugis walau belum pernah ke Sulawesi Selatan. Ada yang menerjemahkan dan menerbitkan sajak-sajak Rendra dengan biaya sendiri. Memang, ada program Darmasiswa buat segelintir mahasiswa Rusia untuk belajar kebudayaan Indonesia, namun jumlahnya tidak cukup bila kita memang ingin mempererat hubungan kedua bangsa.
Para pakar Indonesia itu , juga beberapa perpustakaan umum di Rusia, umumnya tidak memiliki buku tentang Indonesia mutakhir, sementara minat belajar di Rusia masih kecil. Jumlah mahasiswa Indonesia di Rusia saat ini kurang dari seratus orang. Padahal, biaya pendidikan di Rusia cu kup rendah, mungkin hanya sepertiga atau separuh dari ongkos bersekolah di Jerman atau Amerika, tapi kualitasnya cukup tinggi.
Sebetulnya kita sendiri kurang serius meningkatkan pe ngetahuan kita tentang Rusia masa kini. Siapa pakar Indonesia yang menguasai masalah Rusia masa kini? Jika pada masa 1950-an dan awal 1960-an kita bisa membaca terjemahan karya sastrawan Rusia seperti Dostoyesky, N. Gogol, dan Tolstoy, praktis sekarang kita tidak tahu tentang sastra Rusia mutakhir, atau yang agak mutakhir. Siapa di Indonesia yang pernah membaca karya Mikhail Bulgakov atau sajak-sajak Osip Mandelstam?
Salah satu ”peluang” lain buat Indonesia ”masuk” ke Rusia adalah dengan membantu perkembangan Islam di Rusia. Sekitar 15 sampai 20 juta penduduk Rusia beragama Islam. Tapi perkembangan Islam di Rusia agak lamban dan sejumlah pemimpin Islam di sana mulai menoleh ke Indonesia. Sebuah ukiran kaligrafi kayu (surat Al-Fatihah) sumbangan Presiden Megawati Soekarnoputri kini terpasang di Masjid Biru di St. Petersburg. Namun, rencana perluasan dan pembangunan masjid di St. Petersburg dan Moskow terhalang kendala dana. ”Kalau di Bosnia dulu pemerintah Indonesia bisa membantu membangun masjid, mengapa tidak juga di Rusia?” tanya beberapa pemuka Islam Rusia kepada saya.
Rasanya juga sudah tiba waktunya buat kalangan perguruan tinggi di Indonesia untuk mengkaji Rusia masa kini dengan lebih serius, misalnya dengan membuka Pusat Kajian Wilayah Rusia. Yang ada kini kebanyakan baru Fakultas Sastra jurusan Rusia yang, setahu saya, kebanyakan mahasiswanya tidak pernah diwajibkan membaca Dostoyesky atau Tolstoy. Apalagi Bulgakov.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo